web page hit counter
Jumat, 11 Oktober 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

PERAYAAN MARIA ALLELUYA DI KONGA BUKAN SEKADAR PERAYAAN SUKACITA

5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – KONGA, desa kecil terletak di sudut Timur Indonesia, tepatnya di Kecamatan Titehena, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Desa ini berada di tepi pantai, dalam sebuah teluk yang tenang. Konga bisa dicapai lewat kendaraan roda empat atau roda dua dari Kota Larantuka selama kurang lebih 1,5 jam. Jika dari Maumere perjalanan sekitar 2,5 jam, sedangkan dari Desa Boru, Kecamatan Wulanggitang bisa ditempuh hanya 15 menit.

Sepanjang jalan melintasi desa ini, tampak areal persawahan yang membentang. Warna hijau pohon kelapa melambai-lambai setiap orang yang mengunjungi Konga. Tepat di depan desa, sebuah pulau mungil dengan panorama perairan biru yang memesona. Savana, perairan biru, batu pirus, hingga bayang-bayang pegunungan yang tampak jelas adalah simbol keindahan Konga. Saat siang hari, mata para pelancong disegarkan dengan warna hijau rerumputan dan lautan biru. Namun waktu terbaik menikmati panorama Pulau Konga adalah menjelang senja. Kita bisa melihat cahaya jingga matahari yang mulai bersembunyi di balik pulau itu.

Walau terpencil, Konga kental dengan tradisi Kekatolikan. Selain prosesi Semana Santa dengan perarakan patung Tuan Ma (Bunda Maria), juga ada tradisi Maria Alleluya. Masyarakat semi tradisional berbalut agama Katolik yang kental, menjadi lahan subur bagi tumbuhnya tradisi Maria Alleluya.

Regína Caeli

Disebut tradisi Maria Alleluya, karena pada hari Minggu Paskah malam, setelah Jumat Agung dan Sabtu Suci, umat Katolik Konga akan mengarak patung Bunda Maria peninggalan Portugis mengelilingi kampung. Sambil mengarak patung itu, lantunan lagu Alleluya dikumandangkan dalam bahasa Latin. Bunyinya, “Regína Caeli, laetare, Alleluia!…” Doa ini bukan doa yang biasa. Dalam tradisi Katolik ada kalimat lengkapnya yaitu Regina caeli, laetare, alleluia; Quia quem meruisti portare, alleluia, Resurrexit, sicut dixit, alleluia: Ora pro nobis Deum, alleluia.

Regína Caeli adalah doa Ratu Surga, sebuah doa penghormatan kepada Bunda Maria yang menurut legenda diciptakan oleh St. Gregorius Agung (450-604). Paus dan Pujangga Gereja ini pada suatu ketika pernah mendengar lantunan suara para malaikat menyebutkan lagu ini pada hari Paskah dalam sebuah prosesi agung. Regína Caeli adalah empat antifon Maria yang mana dalam Ibadat Harian (Ofisi) biasanya didaraskan atau dinyanyikan baik pada doa sore (vesper) dan doa malam (completorium) di biara-biara selama masa Paskah.

Baca Juga Artikel:  Renungan Harian 10 Oktober 2024 “ Mintalah, Carilah, Ketoklah"

Kini Gereja juga menggunakan doa ini sebagai pengganti doa Angelus (Malaikat Tuhan) selama masa Paskah dengan tiga kali waktu pendarasan pagi (06.00), siang (12.00), dan sore (18.00). Doa ini juga bisa dibaca pada buku Puji Syukur nomor 16.

Perarakannya dimulai hari Minggu Paskah. Saat matahari terbenam, warga Konga berbondong keluar rumah. Dalam perarakan itu hanya satu lagu saja yang dinyanyikan. Mengikuti Paskah Maria Alleluya di Konga, umat akan melupakan semua kor Paskah terindah dengan lagu-lagu Alleluya yang cetar membahana. Di Konga hanya dinyanyikan satu lagu oleh semua orang tanpa pembagian suara. Sambil bernyanyi, umat menari-nari di bawah bulan purnama serta dikitari cahaya lilin.

Tradisi Portugis

Menurut Benediktus Pedo Ena da Cunha selaku Maestri Confreria (kelompok pengiring) Konga, kedatangan Portugis di Larantuka pada abad ke-16 berhasil membuat masyarakat di Kerajaan Larantuka menganut agama Katolik. Kehadiran mereka disertai dengan beberapa benda-benda rohani yang dibawa salah satunya patung Tuan Ma (biasanya digunakan pada prosesi Semana Santa), patung Tuan Tido yang oleh umat Konga biasa diusung pada Jumat Agung, lalu ada patung Maria Alleluya dan sebuah meriam yang masih ada di Konga.

Jadi perayaan ini, kata Benediktus, tidak lahir dari kreativitas umat Konga dalam menghayati pesta Kabangkitan Kristus. Bukan juga ada karena penghayatan iman seorang tokoh yang kemudian dipertahankan sampai saat ini. Sebaliknya tradisi ini diperkenalkan turun-temurun dari Portugis hingga saat ini masih tetap dilestarikan umat Konga. “Tepatnya tahun 1890 diadakan prosesi Semana Santa di Larantuka pada Jumat Agung, kemudian pada hari Minggu tahun yang sama diadakan prosesi Maria Alelluya di Konga,” ujar Benediktus.

Baca Juga Artikel:  Renungan Harian 11 Oktober 2024 “Berpikir Positif"

Hal senada ditambahkan Uskup Larantuka, Mgr. Fransiskus Kopong Kung. Menurutnya, Larantuka memang memiliki banyak peninggalan Portugis, khususnya kapela-kapela. Hampir di setiap kampung terdapat kapela dengan pelindung yang berbeda-beda. Kapela terbesar dan menjadi pusat Semana Santa adalah Kapela Tuan Ma dan Kapela Tuan Ana. Selain itu, ada lagi dua kapela di ujung Timur dan Barat Larantuka yang menjadi perhatian ketika Semana Santa yaitu Kapela Tuan Menino dan Kapela Misericordia.

“Ketika prosesi Jumat Agung, kapela-kapela kecil di kampung-kampung pun ikut memanjatkan doa dan menyalahkan lilin tepat ketika prosesi di mulai. Lilin tersebut baru boleh dimatikan tepat ketika prosesi selesai dilaksanakan,” ujar Mgr. Kopong Kung.

Ladang Misi

Sementara itu, Pastor Marselinus Moi, MSF menjelaskan Desa Konga masuk dalam wilayah pelayanan Paroki St. Maria Imaculata Lewolaga, Larantuka. Sebagai Kepala Paroki Lewolaga, ia menyebutkan pesan kegembiraan sangat kental dalam perayaan ini. Dalam perarakan itu, setiap orang bisa menunjukan sukacita dengan menari dan berdendang bersama.

Pastor Marselinus Moi, MSF

Walau begitu, paling penting bukan sekadar sukacita dengan menari-menari semata. Tidak juga sekadar memukul gendang dengan perasaan yang berlebihan sehingga tak terkontrol. Ada aturan-aturan yang hendaknya diperhatikan oleh umat beriman. Betul umat bersukacita, tetapi harus menunjukan kekhusyukan menghormati Bunda Maria dan Yesus yang telah bangkit.

Selain karena Kristus telah bangkit mengalahkan maut dan dosa, juga ada intensi-intensi yang bisa disampaikan kepada Kristus. Maka dalam lagu Alleluya dan pujian kepada Bunda Maria, ada doa yang terselip. Doanya pun bermacam-macam sesuai intensi dan harapan setiap umat beriman. Itulah kenapa setiap petugas yang memikul arca Maria Alleluya adalah mereka yang dipilih khusus atau mereka yang mempunyai intensi dan niat di masa Paskah, termasuk para peziarah dari luar Konga. “Para peziarah bisa ambil bagian dalam memikul patung Maria Alleluya. Pada kesempatan itu, mereka bisa menyampaikan ujud-ujud kepada Bunda Maria,” sebutnya.

Baca Juga Artikel:  Mengapa Bapa Suci Menambah Kardinal Baru untuk Indonesia: Ada Dua Kardinal Elektor

Pastor Marselinus menyebutkan, Maria memiliki posisi sentral dalam membawa doa-doa umat kepada Puteranya. Bunda Maria adalah bunda penolong dan perantara bagi umat yang ingin berjumpa dengan Kristus. Setelah diangkat ke surga, Bunda Maria tetap menyertai manusia sebagai ibu rohani. Maka Bunda Maria selalu menyampaikan doa-doa umat kepada Yesus. Kepekaan Bunda Maria akan kebutuhan kita, sebagaimana yang dilakukan kepada pasangan suami-istri di Kana (Yoh. 2:1-11). Hal yang sama dibuat Bunda Maria kepada umat manusia dengan membawa kita kepada Kristus, Puteranya.

Umat Konga menyadari betul bahwa Maria adalah perantara (mediatrix) setiap doa kepada Putranya. Istilah per Mariam ad Jesum (melalui Maria kita sampai pada Yesus) adalah ungkapan iman yang mau hendak disampaikan kepada umat beriman lewat perayaan ini.

Kini, jumlah umat Katolik Konga adalah 204 kepala keluarga dengan 830 jiwa di antara 892 jiwa masyarakat penduduk Desa Konga. Sebagian besar masyarakat Konga adalah petani dengan satu dua orang sebagai nelayan. Ada juga sebagian masyarakat sejak dahulu telah membanjiri pasar-pasar lokal dengan menjual garam tradisional dengan sistem barter. Selain itu ada juga satu dua warganya menjadi karyawan di perusahaan mutiara milik Jepang.

“Selalu ada intensi agar Bunda Maria terus hadir menemani umat Konga sebagai ibu perantara khususnya dalam setiap pekerjaan baik sebagai petani atau pun pekerjaan lainnya,” demikian Pastor Marselinus.

Yusti H. Wuarmanuk

(HIDUP, No. 14/Tahun ke-75, 4 April 2021)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles