USKUP AGUNG MAKASSAR, MGR. JOHN LIKU ADA: JANGAN TAKUT, KALIAN TIDAK SENDIRI

193
Uskup Agung Makassar, Mgr. John Liku Ada (keempat dari kiri), Ketua Umum PB NU, K.H. Said Aqil Siradj (ketiga dari kanan) berfoto bersama para korban bom bunuh diri di gerbang Katedral Makassar, 28/3/2021.
5/5 - (1 vote)

HIDUPKTOLIK.COM – AKSI bom bunuh diri di depan gerbang Gereja Hati Yesus Yang Mahakudus Katedral Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu, 28/3/2021 membuktikan bahwa terorisme masih menjadi ancaman serius bagi Indonesia. Banyak orang berpendapat terorisme telah mencabik-cabik persatuan dan kesatuan antarumat beragama. Tapi bagi Uskup Agung Makassar, Mgr. Johannes Liku Ada’, terorisme justru melahirkan komitmen bersama untuk merawat persaudaraan.

“Para teroris berpikir dengan bom bunuh diri, mereka telah menang melawan persatuan dan kesatuan. Saya tegaskan tidak! Sebaliknya lewat aksi brutal di Katedral Makassar, banyak orang bangkit melawan terorisme. Di Indonesia, masih banyak orang yang cinta damai,” ujar Mgr. Liku Ada’ dalam wawancara dengan HIDUP, Senin, 12/4/2021. Berikut petikan:

Setelah bom bunuh diri, apakah Gereja Keuskupan Agung Makassar (KAMS) saat ini berada dalam ketakutan?

Saya tegaskan tidak! Gereja KAMS justru memiliki semangat baru untuk bangkit, seperti Kristus yang mengalami hidup baru bangkit dari kematian. Kita bisa bertanya kepada 21 orang yang menjadi korban bom di Makassar, dan mereka akan memberi kesaksian bahwa “kami tidak takut”. Dari 21 orang itu, lima orang beragama Islam yang kebetulan lewat pada saat kejadian. Mereka juga memberi kesaksian bahwa tidak takut terhadap ancaman bom bunuh diri. Dalam beberapa video kesaksian para korban, pesan utama yang disampaikan adalah tidak takut terhadap usaha-usaha dari kaum ekstremis untuk menghancurkan persaudaraan di tengah bangsa dan negara ini. Kalau mereka tidak takut, apa alasan utama supaya Gereja KAMS harus takut?

Ketua Umum PB NU, K.H. Said Aqil Siradj (kiri) saat berkunjung ke Katedral Makassar pascabom bunuh diri di gerbang Katedral, 28/3/2021.

Mengapa para korban dan umat KAMS tidak merasa takut?

Dalam permenungan kami dan kesaksian para korban, kami membuat kesimpulan bom bunuh diri yang harusnya menewaskan lebih banyak orang lagi, justru gagal, kecuali yang meninggal adalah pelaku sendiri. Sebagai orang beriman, kami meyakini bahwa Gereja baik dalam pengertian bangunannya maupun persekutuan umat, tak akan pernah ditinggalkan oleh Yesus . Yesus Raja Damai yang saat itu dirayakan Gereja universal, melindungi para korban dan peziarahan Gereja-Nya. Saya bisa menyebutkan ini mukzijat kecil dari Tuhan. Ambil contoh Bapak Cosmas Balalembang, penghadang pelaku bom bunuh diri justru dalam keadaan selamat. Beberapa ahli bom menyebutkan kekuatan bom di Katedral harusnya memakan korban, khususnya Bapak Cosmas. Tapi syukur bahwa Bapak Cosmas hanya luka bakar ringan dan sudah sembuh. Saya merasakan iman para korban ledakan ini yang menyelamatkan mereka.

Meski selamat, tetapi sebagai orang Katolik kita merasa sakit oleh tindakan kekerasan itu. Apa komentar, Monsinyur?

Pada Minggu, 11/4/2021, Prof. K.H. Said Aqil Siradj, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama mengunjungi kami dan memberi kekuatan kepada kami. Dalam pertemuan itu, Prof. Said memberi pesan peneguhan yang bisa menyembuhkan luka hati kami di KAMS. Ia mengatakan, “jangan takut, kalian tidak sendiri.” Kemudian, dukungan datang dari Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas sehari setelah ledakan bom itu. Menteri menegaskan, “Bapak Uskup, jangan kita kalah dari teroris. KAMS harus terus beribadah selama Masa Paskah. Jangan berhenti beribadah karena justru membuat para teroris menang melawan kita.” Dua tokoh ini begitu menginspirasi kami dan membangkitkan lagi semangat kami untuk terus merajut persaudaraan. Betul Gereja Katolik sakit karena aksi kekerasan ini. Dalam hati kami ada rasa pedih, tapi kami tidak membenci para pelaku. Kami mengampuni dan memohon agar Tuhan juga mengampuni dosa para pelaku.

Uskup Agung Makassar, Mgr. John Liku Ada (kanan) berbincang dengan Ketua Umum PB NU, K.H. Said Aqil Siradj saat berkunjung ke Makassar, Sulawesi, Selatan.

Apakah ajaran kasih mendominasi sikap KAMS saat ini?

Kasih sebagai hukum tertinggi dalam iman mengajarkan untuk kita melihat sesama sebagai saudara. “Kasihilah sesamamu manusia seperti diri sendiri,” menjadi ajaran Kristus yang begitu kental dalam iman kita. Sesama kita adalah orang-orang yang harus dirangkul, diterima, dimaafkan, dan diberi jalan agar bisa mengalami pertobatan. Kasih yang kita pahami harus berasal dari lubuk hati umat beriman, digerakan oleh Roh Kudus dan bisa berdaya guna kepada sesama manusia. Konsekuensi dari ajaran kasih adalah kita harus membuka diri seluas-luasnya memaafkan setiap orang yang membuat kesalahan pada kita. Dalam hal ini, saya mengajak kita untuk memaafkan para tersangka dan mereka yang melakukan aksi bom bunuh diri.

Menurut Monsinyur, kesadaran seperti apa yang hendak menjadi keutamaan dalam hidup bersama di Indonesia?

Harus diingat bahwa membangkitkan dan memprovokasi perpecahan di antara umat beragama tidak akan memutuskan semangat persaudaraan. Nyatanya, aksi bom bunuh diri di Katedral justru melahirkan semangat baru. Begitu banyak simpati datang dari berbagai unsur baik pemerintah, para tokoh agama, para aktivis, dan sebagainya. Terbukti bom ini tidak melebarkan perpecahan, tetapi mempererat persaudaraan. Refleksi saya berangkat dari pernyataan Prof. Said bahwa untuk membangun persaudaraan, kita memiliki landasan pertama yaitu sebelum orang beragama, kita terlebih dahulu adalah menjadi manusia. Sebagai manusia, kita memiliki kehendak baik yang berbeda dengan makhluk lainnya. Salah satu kehendak baik adalah berusaha cinta damai. Melihat sesama manusia sebagai saudara.

Apa yang perlu dibuat Gereja agar bisa terjalin lagi relasi yang baik dengan Agama Islam?

Islam dan Katolik memiliki akar yang sama. Memiliki Bapak Segala Umat Beriman yaitu Ibrahim (Islam) dan Abraham (Katolik). Mungkin dalam ajaran dan akidah kita berbeda, tetapi semangat humanisme itu sama sebagai manusia. Sejak Konsili Vatikan II Gereja bersikap terbuka terhadap agama lain termasuk saudara seiman beda Gereja atau beda agama dalam hal ini Islam. Dasar refleksinya adalah Allah menciptakan manusia dari perbedaan antara satu dengan yang lain dengan tujuan saling melengkapi. Keterbukaan tersebut muncul dari kesadaran bahwa Allah berkehendak menyelamatkan umat manusia tanpa perbedaan suku, agama, ras, budaya, dan bahasa. Gereja katolik juga mendukung upaya pemulihan antar segenap umat beragama dengan berperan aktif sebagai agen perdamaian dalam kehidupan sehari-hari.

Bagaimana konkretisasi upaya pemulihan dari Gereja agar terciptanya perdamaian?

Hal penting yang bisa kami buat selanjutnya setelah peristiwa ini adalah terus membangun semangat kesadaran sebagai manusia. Caranya adalah menguatkan kembali orang-orang muda Katolik yang bergabung dalam organisasi masyarakat (Ormas) seperti PMKRI, Vox Point, ISKA, Pemuda Katolik, dan WKRI agar terlibat bersama Ormas-ormas lintas agama lainnya untuk menggalang persaudaraan. Tapi dialog itu tidak sekadar dialog, maksudnya adalah dialog yang utama adalah dialog karya di mana ada aktivitas sosial untuk bergerak bersama.

 Harapan Monsinyur terkait semangat persaudaraan?

Peristiwa ini akan menjadi suatu motif yang kuat untuk mengembangkan semangat persaudaraan di Indonesia. Jangan hanya menolak terorisme tetapi membiarkan bibit radikalisme tumbuh subur. Sebagai orang Katolik, kita harus lawan terorisme dengan aksi damai. Semoga ada nada-nada kasih sebagai kekuatan utama kita untuk hidup bersama.

Yusti H. Wuarmanuk

(HIDUP, No. 16, Tahun ke-75, Minggu, 18 April 2021)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here