Uskup Sanggau, Mgr. Giulio Mencuccini, CP: Beriman yang Kreatif di Tengah Prahara

328
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – Minggu, 20 Juni 2021 Hari Minggu Biasa XII Ayb. 38:1, 8-11; Mzm. 107:23-24, 25-26, 28-29, 30-31; 2Kor. 5:14-17; Mrk. 4:35-40

LITURGI Sabda pada hari Minggu ini pada dasarnya memiliki tema yang sama, yaitu: situasi bahaya (pelepasan kekuatan laut), kebingungan dan ketakutan, doa yang penuh kepercayaan kepada Tuhan, campur tangan Tuhan yang ajaib, serta ucapan syukur.

Kekuatan Allah tampak dalam Bacaan Pertama dari Kitab Ayub, yang berbicara tentang gelombang laut yang dihentikan oleh Allah dengan berfirman, “Sampai di sinilah gelombang-gelombangmu yang congkak akan dihentikan.” (Ayb. 38:11). Pemazmur juga mengatakan hal yang sama, “Maka berseru-seru  mereka kepada TUHAN dalam kesesakan mereka, dan dikeluarkan-Nya mereka dari kecemasan  mereka, dibuat-Nyalah badai itu diam, sehingga gelombang-gelombangnya tenang.” (Mzm. 107:28-29).

Kekuatan Allah tampak nyata dalam diri Yesus Kristus, yang merangkul unsur-unsur alam yang paling megah dan kuat, yaitu laut. Dalam simbolisme Alkitab, laut meskipun tunduk di bawah kekuasaan Tuhan, tetap menjadi dunia yang penuh misteri dan bahaya, karena kedalamannya, kepahitan airnya, kedahsyatan gelombangnya, dan kekuatannya yang menghancurkan. Oleh karena itu, laut juga menjadi citra yang paling tepat dan efektif dari kekuatan jahat yang sombong dan mengancam, yang terwujud secara populer dalam imajinasi tentang hantu mistis. Namun laut sebagai realitas yang kuat dan penuh gejolak ini tetap tunduk kepada Tuhan.

Manusia purba secara naluriah memiliki rasa sakral terhadap laut dan alam sekitarnya. Mereka menjalin hubungan dengan alam seolah-olah sebagai makhluk ilahi yang memimpin tanpa henti setiap peristiwa hidup mereka. Karena itu, mereka mencoba mendamaikan unsur keilahian ini dengan upacara magis. Sedangkan, manusia modern telah mencapai dominasi yang besar atas kekuatan alam, dan meningkatkannya dari hari ke hari. Alam tidak lagi membuatnya takut. Mereka merasa nyaman di dalamnya, dan menjadikannya sebuah objek untuk dikerjakan dengan kekuatannya sendiri. Dengan demikian, berbagai peristiwa alam dijelaskan secara ilmiah dan tidak lagi beralih kepada Tuhan.

Inilah perubahan, sekaligus pemurnian dari gambaran tentang Allah itu sendiri. Tuhan tidak lagi dilihat semata-mata atau secara prinsip sebagai dasar, penjamin, dan pemenang tatanan alam. Allah yang diimani adalah “Yang di luar” dunia. Dia berada di luar hukum alam, dan tidak dapat dijangkau hanya dari dunia dan kejadiannya. Tetapi, Dia adalah Tuhan yang berkomitmen dalam iman. Tuhan yang benar bukanlah dewa bagi keamanan manusia yang palsu. Kepercayaan kita kepada-Nya bukanlah sebuah pelarian dari kesulitan hidup. Mungkin perlu dicurigai bila seseorang memiliki iman yang tenang, mudah, dan tanpa kesulitan apapun. Iman adalah komitmen yang berkelanjutan, dan tetap percaya, walaupun di tengah badai prahara yang terus-menerus mengujinya.

Injil Markus dengan menekankan ketuhanan Yesus di atas laut, menyarankan kita untuk berdoa dengan penuh kepercayaan kepada Tuhan dalam segala bahaya, kebingungan, dan ketakutan. Kepercayaan yang penuh harapan dalam pencobaan menjadi inti dari Bacaan Injil. Setelah meredakan badai di tengah danau, Yesus mengajukan pertanyaan yang mencela kepada para rasul: “Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?” (Mrk. 4:40). Sungguh aneh, Yesus mencela mereka kurang beriman justru ketika mereka berpaling kepada-Nya dengan penuh kepercayaan. Jelas, bahwa di sini Yesus tidak mencela kepercayaan mereka, melainkan sikap egois mereka, karena kepercayaan itu semuanya bertujuan untuk memperoleh sesuatu. Iman seperti ini tidak sempurna.

Dalam Bacaan Kedua Rasul Paulus mengingatkan dan mengajak jemaat untuk berpikir dan bertindak seturut Kristus yang telah mengangkat dan melahirkan jemaat menjadi baru. “Barangsiapa ada dalam Kristus ia adalah ciptaan baru” (2Kor. 5:17). Pembaruan ini tidak akan mengisolasi kita dari dunia dan segala permasalahannya, karena kita tahu bahwa rencana Tuhan adalah untuk membebaskan dunia dari kejahatan. Dalam proses pembebasan ini kita dipanggil untuk bekerja sama dengan Tuhan dalam perjuangan untuk menangani semua masalah dunia dengan serius dan berani.

Tahun ini Paus Fransiskus mencanangkan “Tahun St. Yosef”. Untuk itu, marilah kita meneladani “keberaniannya yang kreatif”, yakni mengubah masalah menjadi kesempatan untuk berpartisipasi dalam karya keselamatan Allah dengan selalu menaruh kepercayaan kepada penyelenggaraan Ilahi (Bdk. Patris Corde, No. 5).

St. Yosef, Pelindung Gereja Semesta, doakanlah kami.

Kepercayaan kita kepada-Nya bukanlah sebuah pelarian dari kesulitan hidup.

HIDUP, Edisi No. 25, Tahun ke-75, Minggu, 20 Juni 2021

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here