40 Tahun Imamat,Pastor Pius Banda: Tak Ada Kata Mundur

464
Pastor Pius Banda (Foto: Helen Yovita Tael/Komsos KAMe)
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – PERAYAAN syukur imamat selalu memiliki makna tersendiri bagi Pastor Pius Banda. Imam diosesan tertua di Keuskupan Agung Merauke (KAMe), Papua ini merayakan 40 tahun imamatnya bersama umat paroki St. Maria Fatima, Kelapa Lima, Papua, Minggu, 20/6/2021.  Ia mengatakan bahwa hidup panggilannya sampai pada usia ke-40 hanya karena penyelenggaran Ilahi.

Putra kedelapan dari sembilan bersaudara kelahiran Wolojita, Ende Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), 7 Februari 1946 dari pasangan Titus Tiro dan Sisilia Soro, menamatkan Sekolah Rakyat di Wolojita, Ende; SMP Katolik Ndao, Ende; Seminari Menengah St.Yohanes Berchmans Mataloko; Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero; dan Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret.

Ia ditahbiskan pada usia yang agak lanjut, yakni 35 tahun padahal biasanya untuk menjadi imam rata-rata usia 28-29 tahun. Tentu ada alasannya, kenapa sampai tertunda begitu jauh. Latar belakang panggilannya menjadi imam begitu berliku-liku. Sehingga ia ditahbiskan tujuh tahun lebih lama daripada teman-teman seangkatan, karena tujuh tahun ia berada di luar seminari tinggi.

Dengan alasan itu maka ia memilih moto tahbisan, “Ya Tuhan, ke mana aku dapat lari dari hadapan-Mu…juga di sana tangan kanan-Mu menuntun aku” (Mazmur 139:7,10). Selama pengembaraan tujuh tahun di luar seminari, ia mengalami sejumlah tawaran yang cukup menjanjikan. Namun ia tetap memilih menjadi imam. Ia merasakannya, tangan Tuhan yang membimbingnya.

Ia ditahbiskan menjadi imam  tanggal 21 Juni 1981 di Kampung Wolojita bersama 18 imam lainnya. Setelah ditahbiskan, ia berkarya selama 12 tahun 6 bulan di Keuskupan Agung Ende dan dua puluh tujuh lebih di KAMe.

“Tahun 1993 ada tawaran dari KAMe untuk menjadi imam kontrak kerja. Saya menawarkan diri dan diterima. Tanggal 20 Januari 1994 saya mendarat di Bandara Mopah dan mulai berkarya di sini,” ujarnya.

Saat tiba di Merauke hanya empat orang imam diosesan kala itu. Pola pastoral waktu itu berbeda karena masih banyak pastor/missionaris dari belanda. Ia mengalami kepemimpinan dua uskup dengan cara kepemimpinan yang berbeda, namun baginya panggilannya tetap dijalaninya dengan rasa syukur.

Ia ditugaskan di Paroki Rasul-Rasul Kuper, Distrik Semangga (1994-1998), Paroki St. Yoseph Bambu Pemali (1998-2006), dua tahun non job tinggal di Paroki Bampel dan terakhir ini di Paroki St. Maria Fatima, Kelapa Lima (2008-2016). Sejak tahun 2016 pensiun sebagai Pastor Paroki Kelapa Lima.

Ia menyebutkan kesetiaan menjalani panggilan hidup imamatnya juga tak luput dari berbagai cobaan.  Dalam suatu refleksi iman, ia melihat imamat itu sebagai suatu panggilan hidup. Tugas imam adalah pelayanan sakramen dan pewartaan sabda Tuhan.

“Sekali kita ambil jalan ini tidak bisa kita undur lagi,” ujarnya. Menurutnya, banyak imam yang keluar dan berhenti, tetapi baginya sekali mengambil langkah untuk tetap menjalankan imamat dengan segala macam tantangan yang ada.

Ke depan di kala umurnya semakin menanjak dan kondisi fisiknya semakin rapuh, ia mengharapkan doa-doa dari umat untuk memperkenankannya memasuki usia imamat  yang ke-50 jika Tuhan berkenan.

Ia mengucapkan terima kasih kepada semua umat yang telah mendukungnya. Ia berdoa agar panggilan semakin tumbuh subur di tanah Papua secara khusus bagi anak-anak asli Papua agar dapat menjadi pelayan Tuhan di atas tanahnya sendiri.

Helen Yovita Tael (Merauke)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here