MENYAMBUT 40 TAHUN KMK UI: BIBIT ITU KINI TELAH JATUH DAN BERBUAH RANUM

369
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – MENGAPA menjadi dosen? Jika ini ditanyakan kepada banyak Dosen UI, maka kemungkinan besar jawabannya adalah ingin mengikuti jejak dosen pendahulu. Di UI, cukup banyak dosen piawai dan berkharisma sehingga membuat banyak mahasiswa terpincut untuk mengikuti jejaknya.  Tak luput pula para Dosen UI beragama Katolik. Kebanyakan dari mereka dulunya juga Mahasiswa UI, yang lalu jatuh cinta pada profesi ini.

Melalui situasi ini, berlakulah peribahasa ‘’buah jatuh tak jauh dari pohonnya”. Dari kampus yang baik dan dengan dosen yang juga baik, lahir mahasiswa-mahasiswa yang baik pula. Dari mahasiswa-mahasiswi yang baik itulah kelak akan lahir dosen-dosen yang baik pula.

Sejauh ini, terdapat 150 Dosen UI beragama Katolik yang tersebar di berbagai fakultas. 30 diantaranya berstatus guru besar, walau sudah banyak yang purna tugas alias pensiun. Jumlah 150 orang tersebut adalah yang terbesar dibanding perguruan-perguruan tinggi lain. Bahkan, perguruan tinggi yang menyandang nama Katolik pun tidak punya dosen sebanyak  itu.

Ada banyak nama-nama beken yang menjadi anggota Paguyuban Dosen UI Katolik. Sebutlah Prof. Maria Farida, Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi. Atau Prof. Rhenald Kasali, ahli pemasaran dari FEB UI dan juga Prof. Mari Pangestu, yang kini menjabat Managing Director ADB.

Rekoleksi Dosen Katolik (Foto: Ist.)

Apakah seluruh Dosen UI Katolik dulu pernah aktif di KUKSA atau KMK? Kelihatannya tidak semua. Status KUKSA atau KMK sebagai organisasi ekstra-kurikuler memang tidak bisa memaksakan semua Mahasiswa UI untuk aktif atau terlibat.

Saat UI masih berkampus di Rawamangun dan Salemba, misa kampus secara sporadis pernah diadakan. Namun saat Kampus Rawamangun pindah ke Depok pada 1987, aktivitas Kekatolikan padam. Wisma SY yang berjarak sepelemparan batu dari Kampus UI Depok lalu menjadi tempat dimana mahasiswa Katolik UI, demikian pula beberapa dosen, membentuk komunitas dan, sesekali, beribadat.

Pada tahun 2010, saya (Adrianus Meliala, Red.), yang biasa dikenal sebagai  Kriminolog FISIP UI, berinisiatif mengadakan Misa kampus. Pada awalnya, Misa diadakan di kandang sendiri yakni di FISIP UI, dan hanya dihadiri oleh 20 orang pengajar dan mahasiswa. Kala itu, semua diundang lewat panggilan SMS.

Berlanjut kemudian, Misa di kampus-kampus lain yang diadakan bergiliran searah jarum jam sebagai tuan rumah Misa. Bila awalnya misa berlangsung setiap tiga bulan, lama-lama menjadi dua bulan, bahkan sebulan sekali. Itu memungkinkan mahasiswa sering hadir di berbagai misa tersebut dan merasa terdampingi selama masa belajarnya.

Paguyuban ini dengan demikian mirip Gereja diaspora. Tidak memiliki bentuk formal namun senantiasa bergerak. Untunglah, tidak ada dekan yang (berani) menolak permohonan para dosen yang ingin mengadakan misa di fakultas. Walaupun demikian, ketika diminta membuat surat permohonan penggunaan ruangan, banyak dosen sering kebingungan. Mengapa? Itu mengingat paguyuban dosen tidak pernah membuat kop surat, tidak memiliki legalitas demikian juga tidak menetapkan struktur organisasi yang baku.

Setelah Misa secara ajeg dilakukan di Kampus Depok ataupun Salemba, di mana biasanya dihadiri ratusan mahasiswa dan dosen, Adrianus kemudian mengajak sejawatnya untuk melakukan aneka kegiatan lain. Sebut saja: rekoleksi tahunan,  diskusi rutin di Wisma SY serta melakukan berbagai penggalangan dana untuk menolong mahasiswa UI yang membutuhkan bantuan keuangan. Apakah sulit menggalang para dosen yang notabene pintar-pintar dan kritis? Tidak juga, mengingat semuanya memiliki kebutuhan yang sama yakni berkomunitas.

Komunikasi yang awalnya berbasis SMS dan kemudian berkembang menjadi Mailing List, kini berganti menjadi Grup WA. Belakangan, malah terdapat dua Grup WA untuk mengakomodir dosen-dosen yang cenderung bicara tentang topik-topik yang liturgis dan biblis serta yang cenderung bicara tentang isu sosial-politik.

Satu hal yang sama: paguyuban tetap saja dikendalikan oleh seorang koordinator. Alhasil, banyak sejawat menyebut saya dengan sebutan ”kepala suku”.

Saat pandemi mulai di awal 2020, paguyuban segera mengubah model kegiatannya menjadi berbasis digital. Dalam kaitan itu, puluhan kuliah daring bersama para romo sudah dilakukan, demikian pula misa online rutin dilakukan dari kampus ke kampus. Dengan itu, paguyuban bisa tetap eksis dan terasa manfaatnya. Saat UI memunculkan rencana pembangunan rumah ibadah di kampus, paguyuban juga berusaha berperan agar gereja dapat hadir secepat mungkin.

Sejak awal 2021, saya menganggap sudah waktunya untuk mundur dan memberi kesempatan kepada sejawat lainnya. Jika pada masanya paguyuban diurus secara one-man show, maka diharapkan ada situasi yang berbeda saat dipimpin oleh Dr. Teddy O.H. Prasetyono, seorang ahli bedah plastik FKUI. Paguyuban diharapkan bisa menjadi organisasi yang dilengkapi dengan jajaran pengurus.

Lain dosen, lain lagi alumni. Alumni Katolik UI (Alumnika UI)  yang kini berjumlah ribuan selama ini mirip anak ayam kehilangan induknya. Mereka ingin berinteraksi dengan almamater, khususnya komunitas Katolik, tapi bingung tidak tahu siapa yang harus dikontak. Tidak tahu pula wadah yang perlu diikuti. Kalaupun ada Alumni Katolik UI yang hadir saat acara Natalan KMK, misalnya, jumlahnya dapat dihitung dengan jari. Para alumni rata-rata kecewa, mereka hanya dianggap kalau KMK ingin mengadakan acara dan butuh dana.

Apakah saat kuliah semua alumni aktif di KUKSA atau KMK? Kemungkinan tidak. Ada banyak sekali unit kegiatan mahasiswa yang bisa diikuti oleh setiap mahasiswa UI, dimana KMK hanya salah satu saja. Namun, setelah beberapa saat meninggalkan kampus, nampaknya ada kerinduan diantara para alumni.

Alumni Katolik UI (ALUMNIKA UI)

Beberapa alumni, sebutlah Dr. M.F. Christiningrum yang Rektor Institut Bisnis Nusantara, Dr. Topo Suprihadi yang dosen fisika dan juga Della  Pradipta yang mantan Presidium DPP Wanita Katolik RI, sejak 2019 mulai menggagas perhimpunan alumni.  Untuk peresmian wadah ini, dibentuk Tim Pokja yang mempersiapkan Misa Natal dan sekaligus meresmikan ALUMNIKA UI pada 10 Januari 2021, oleh Romo Ignatius Swasono, SJ. Setelah peresmian, selanjutnya dibentuk Panitia Ad-hoc yang diketuai oleh Dr. A.G. Sudibyo, yang mempersiapkan platform organisasi, seperti AD-ART dan mekanisme pemilihan ketua organisasi. ALUMNIKA UI, sebagai kependekan dari Alumni Katolik UI, yang telah berdiri dan pertama-tama beranggotakan 125 alumni digapai secara snowballing melalui media sosial.

Walau berusia muda, Alumnika telah melakukan berbagai kegiatan di era pandemi ini. Mulai dari mengadakan misa, perayaan Natal, webinar hingga berbagai diskusi, dimana semuanya berlangsung secara online, dilakukan secara sukarela dan diikuti ratusan alumni.

Selanjutnya, setelah melalui pemilihan secara daring yang diikuti oleh alumni berbagai angkatan pada bulan Juni 2021, terpilihlah Mathilda AMW Birowo, FISIP 81 menjadi ketua terpilih yang pertama. Hilda, begitu panggilannya lumayan beruntung karena memimpin organisasi Alumni yang memiliki banyak ”buah yang ranum”. Hilda nampaknya akan memiliki pekerjaan rumah   membawa organisasi alumni ini untuk lebih banyak mendampingi dan menjadi mitra mahasiswa Katolik UI, untuk mempersiapkan mereka menjadi insan cendekia. Selain itu, mengusahakan silaturahmi antar anggota alumni dan menjadi bagian yang turut aktif berperan memberikan kontribusi pemikiran bagi kemajuan bangsa dan negara.

Dalam sambutannya saat Misa HUT ke-40 KMK UI, 16 Juli 2021, yang sekaligus merupakan acara pengukuhan Alumnika UI oleh Bapa Uskup Agung Jakarta, Ignatius Kardinal Suharyo, Ketua Alumnika UI terpilih ini menyatakan bahwa meski KMK, Paguyuban Dosen serta Alumnika memiliki program-program berbeda dan wilayah kerja yang lebih spesifik, namun ketiganya memiliki tujuan yang sama untuk almamater tercinta ini.  Meminjam istilah Romo Swasono tentang Kerasulan Perguruan Tinggi, Hilda menekankan, sebagai yang diutus, Alumnika UI siap bekerja sama memperkuat tiga pilar utama yakni intelektualitas, spiritualitas dan moralitas.  Sebagai 3 elemen yang terintegrasi, peran mereka tentu sangat diperlukan bukan hanya dalam lingkup UI, Gereja dan masyarakat, namun juga dalam usaha turut merawat NKRI melalui program-program inklusif berparadigma nasional.

Bagaimana hal tersebut dapat diwujudkan? Hilda dalam penyampaian visi dan misi di hadapan Panitia AdHoc yang diketuai oleh A.G. Sudibyo, mengusung tiga visi yakni menjadikan Alumnika center for knowledge and leadership; agen perubahan dalam kehidupan berbangsa; duduk berdampingan dengan Lembaga-lembaga Pendidikan internasional.  Visi ini diturunkan dalam  sebuah misi dengan langkah-langkah berikut. Pertama, menyusun kepengurusan yang solid. Kedua, membangun database dan keanggotaan Alumnika UI. Ketiga, menyosialisasikan Visi dan Misi, Peraturan Dasar Perhimpunan Alumni Katolik Universitas Indonesia, dan Nilai-nilai Bersama. Keempat, membuat program-progam strategis dan spesifik mengacu pada Ajaran Sosial Gereja dan Pembangunan Berkelanjutan. Kelima, membuat jejaring internal (komunitas Akademisi UI dan lembaga-lembaga Gereja) dan eksternal yang relevan. Keenam, pemetaan mitra kerja utama dan pendukung. Ketujuh, positioning Alumnika UI untuk ketepatan langkah ke depan.

”Buah-buah ranum” yang dihasilkan dari pohon-pohon subur di lingkungan UI ini, sebagaimana khotbah Bapa Kardinal pada Pelantikan Ketua Paguyuban Dosen UI Katolik dan Alumni Katolik UI, diharapkan dapat sejalur dengan komunitas Anavim yang merupakan komunitas alternatif untuk setia pada panggilan asali. Alumnika sebagai wadah yang terdiri dari para pemimpin yang kemudian menghasilkan pemimpin-pemimpin baru untuk negeri ini. Seratus persen Katolik, seratus persen Indonesia.

Adrianus Meliala
M.F. Christiningrum
Mathilda AMW Birowo

Adrianus Meliala/M.F. Christiningrum/Mathilda AMW Birowo

HIDUP, Edisi No. 31, Tahun ke-75, Minggu, 1 Agustus 2021 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here