Jalan Kecil Frank Duff, Pendiri Legio Maria

800
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM –  “Tampaknya sangat sulit bisa menjadi hebat melalui hal-hal remeh, bisa tampak perkasa dengan melakukan hal-hal yang biasa, namun tetaplah hidup ini adalah kehendak-Mu atas diriku..

BELUM banyak yang tahu bahwa pendiri Legio Maria, Frank Duff pernah menghadiri Konsili Vatikan II (KV II) sebagai pengamat awam. Ia diundang oleh Paus Paulus VI yang kini bergelar Santo.

Pastor Boniface Hanley, OFM dalam bukunya “Frank Duff: Biografi Pendiri Legio Maria” menulis, ketika itu Kardinal Heenan dari Britania Raya menyela pidatonya untuk memberitahu kepada 2.500 orang, yakni para patriark, kardinal, uskup agung, uskup, abbas, dan jenderal ordo religius yang berkumpul pada sesi keempat konsili bahwa Frank Duff, si jenius pembimbing Legio Maria akhirnya telah menjadi peserta dalam Konsili.

Bukan tanpa sebab kelahiran 7 Juni 1889 itu diundang. Dalam kurun waktu 91 tahun lima bulan, hidupnya padat dengan karya dan usaha bagi banyak orang.

Sejak pendirian Legio sampai hari wafatnya, ia bekerja dengan beban yang sulit ditandingi oleh siapa pun. Berbagai macam tantangan dan penolakan ia rasakan bersama anggota legioner. Namun dengan gagah berani bak pasukan Romawi, sejak hari didirikan Legio Maria hingga wafatnya, ia membimbing perluasan Legio hingga tersebar ke seluruh dunia.

Pengertiannya yang mendalam tentang peran “Perawan yang Terberkati” dalam rencana penyelamatan Allah, seperti juga tentang peran orang awam yang setia dalam tugas misi Gerejawi, dicerminkan dalam Buku Pegangan Legio Maria yang hampir seluruhnya merupakan karangannya.

Pribadinya yang pendoa dan pemerhati sekaligus pejuang kaum miskin lahir dari pengalamannya di masa muda. Di usia 18 tahun ia sudah menjadi pegawai pemerintah. Kemudian di usia 24 tahun, ia bergabung dengan Serikat Santo Vincentius di mana ia dibina menuju penghayatan iman Katolik yang lebih dalam dan dengan itu memperoleh kepekaan tinggi akan kebutuhan orang miskin dan mereka yang dikucilkan serta kekurangan.

Dalam bukunya “Bisakah Kita Menjadi Orang Kudus?” yang kini telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia (Obor, 2021), ia menulis bahwa Tuhan telah menanamkan di hati setiap orang untuk menjadi seorang kudus.

Orang Kudus itu ditulisnya sebagai dia yang dengan tujuan untuk menyenangkan Tuhan melakukan kewajiban biasa sehari-hari dengan luar biasa baik. Ia pun menyertakan kata-kata dari Santo John Henry Kardinal Newman yang mengutarakan demikian, “Jika kalian bertanya kepada saya apa yang harus kalian lakukan guna menjadi sempurna, saya katakan, pertama-tama jangan tiduran di ranjang lewat dari waktunya bangun; arahkan pikiran pertama kalian kepada Tuhan; buatlah sebuah kunjungan bermakna kepada Sakramen Mahakudus; doakan Angelus dengan penuh bakti; makan dan minumlah demi kemuliaan Tuhan; daraskanlah Rosario dengan baik; tetaplah tenang; singkirkalah pikiran buruk; buatlah renungan sore dengan baik; periksalah batin kalian hari demi hari; tidurlah pada saat yang tepat, dan kalian sudah sempurna.”

Frank juga menyadari bahwa membulatkan tekad untuk mencapai kesempurnaan ini bukanlah hal yang mudah. Diperlukan tekad kuat dan rahmat untuk itu. Ia bahkan menyebutkan dirinya hanya sebagai buntalan kelemahan tetapi sekaligus sadar jika menunda-nunda untuk memulai hidup kudus adalah sebuah kehilangan besar.

Dengan rendah hati sambil menyadari kelemahannya dalam permenungan, ia sadar dengan pembawaannya yang selalu memberontak melawan hidupnya yang dipenuhi dengan hal-hal sepele yang berulang terus menerus dengan penuh cobaan, ia mencoba berlindung pada sesuatu yang menghibur atau mencari perubahan hidup. “Tampaknya sangat sulit bisa menjadi hebat melalui hal-hal remeh, bisa tampak perkasa dengan melakukan hal-hal yang biasa, namun tetaplah hidup ini adalah kehendak-Mu atas diriku…kumohon pada-Mu supaya menganugerahkan kepadaku hal ini..kesetiaan sampai akhir..supaya aku tetap pada tugas perutusanku saat panggilan terakhir datang. Permohonan yang singkat ya Yesus terkasih, namun mencakup semuanya,” serunya dari lubuk hati.

Ia yang menghembuskan nafas terakhirnya pada 7 November 1980 telah meninggalkan warisan kegigihan seorang prajurit Maria melalui doa, meditasi, realisasi, dan aksi demi menunaikan tugas yang diberikan Kristus melalui pertolongan bunda-Nya. Bersama dengan Hamba Allah, Frank Duff yang telah memulai proses beatifikasi sejak 4 Juni 1996 marilah kita beseru dengan penuh kerinduan, “Yesus! Oh Yesus! Aku sangat ingin mencintai Engkau. Mencintai Engkau seperti Engkau tidak pernah dicintai sebelumnya.”

Felicia Permata Hanggu

HIDUP, Edisi No. 39, Tahun ke-75, Minggu, 26 September 2021

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here