Bersama Uskup Agung yang Baru, Keuskupan Agung Palembang Menghidupi Gereja Basis

399
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – Akan berlayar dengan nakhoda baru, KAPal menyesuaikan diri dengan situasi baru berpastoral di era digital dan pandemi yang belum berkesudahan,

SUDAH sekitar enam tahun ini Romo Gono Pratowo, Pr menjadi Pastor Paroki Santa Maria Perantara Rahmat, Lahat, Keuskupan Agung Palembang (KAPal). Di kurun waktu itu, ia tentu mulai mengenal dengan baik bagaimana umatnya. Terlebih saat pandemi Covid-19 berlangsung, setelah sekian lama vakum dari aktivitas peribadatan tatap muka, ia merasakan gejolak rindu untuk bersekutu di kalangan umat.

Memahami itu, Romo Gono menggulirkan gagasan. Ia mengajak umat untuk membuat kelompok-kelompok kecil. Masing-masing terdiri dari tiga hingga lima keluarga, yang rumahnya saling berdekatan. Dipastikannya bahwa mereka bukan saja saling mengenal nama anggota, tetapi juga riwayat hidup serta harapan masing-masing rekan.

Mereka berkumpul secara berkala untuk mendengarkan firman Allah, membahas berbagai masalah-masalah harian bersama, lalu mencari pemecahannya dalam ilham Sabda. Romo Gono menganimasi umat, baik yang berada di wilayah paroki pusat maupun di stasi-stasi. Ia menyebut kelompok-kelompok kecil itu sebagai Komunitas Basis Gerejani (KBG).

Dalam pemahaman pastor di paroki daerah, yang jauhnya sekitar 220 kilometer dari Kota Palembang ini, KBG bukanlah suatu gerakan di dalam Gereja. KBG merupakan Gereja itu sendiri. KBG bukan untuk orang-orang tertentu, misalnya, untuk kaum bapak atau ibu, kaum profesional, atau malah hanya bagi orang yang rajin dan saleh saja. KBG itu untuk semua orang yang mau ambil bagian dan bergerak maju. KBG merupakan paguyuban terapan mendasar gerejani, merupakan satuan basis gerejani itu sendiri.

Di dalam KBG, iman dan kehidupan harian disatupadukan. KBG merayakan, memperdalam iman, mendengarkan firman Tuhan yang mendorong dan menjernihkan. Dalam paguyuban itulah mereka mempertebal pilihan untuk hidup, bertindak dan bersikap sebagi saudara serta saudari bagi semua orang. Visi alkitabiah bertumbuh melalui sharing pemahaman Kitab Suci, doa biblis, dan ibadat. Sifat KBG mengantar anggotanya pada sikap sosial dan sekaligus melampaui batas karya sosial.

“Sejak dibentuk KBG di paroki dan stasi, banyak hal positif yang dirasakan. Mereka merasakan kembali persekutuan sebagai Gereja yang hidup. Umat bisa berkumpul, berdoa bersama, dan saling berbagi. Mereka bisa berbagi pengalaman dan penghayatan iman. Saya melihat iman mereka semakin diteguhkan,” paparnya.

Kembali ke Basis

Pandemi ini semacam membentuk kita makin kreatif dalam mencari dan menemukan terobosan-terobosan baru dalam mengajak umat untuk bertumbuh dalam iman. Situasi pandemi pun mengajari kita agar tidak berorientasi pada kelompok-kelompok masal tapi lebih menghidupi kelompok-kelompok kecil atau KBG. Demikian Romo Felix Astono Atmaja, SCJ, Vikaris Jenderal (Vikjen) KAPal, mengomentari situasi yang dihadapi oleh paroki-paroki di daerah. Menurutnya, pastor dan dewan pastoral paroki berperan untuk menganimasi gerakan basis ini.

“Pengalaman di Paroki Lahat tersebut saya bagikan ke paroki-paroki lain. Sudah ada beberapa paroki yang mengikuti cara ini. Di beberapa tempat, yang tidak memungkinkan pertemuan tatap muka di KBG, mereka mengadakan kegiatan secara virtual di lingkungan mereka,” jelas Vikjen.

Memasuki 2021, demikian Vikjen, pelayanan mulai berjalan dengan tetap mengikuti protokol kesehatan yang berlaku di masing-masing wilayah. “Pelayanan Sakramen Krisma, pembekalan-pembekalan di paroki-paroki, serta aneka pastoral lainnya kita jalankan dengan mengikuti amanat Sinode II. Pandemi juga menuntut adanya penyesuaian tenaga-tenaga pelayan awam agar memang dipilih pribadi-pribadi yang sehat dan muda,” papar Vikjen.

Yang Tertunda

Sejauh ini, amanat Sinode II masih menjiwai gerak pelayanan di KAPal. Sinode II merumuskan bahwa umat Allah KAPal bercita-cita mewujudkan diri sebagai murid-murid Kristus yang beriman tangguh dan mendalam, mandiri, misioner, menjadi garam dan terang, di tengah dan bersama masyarakat membangun tata kehidupan yang dijiwai nilai-nilai Kerajaan Allah.

Mgr. Aloysius Sudarso, SCJ

Sebenarnya, KAPal berencana melangkah ke Sinode III pada tahun 2020. Mgr Aloysius Sudarso, SCJ sudah mempromulgasikannya pada Oktober 2019. Refleksi-refleksi yang berangkat dari temuan-temuan konkret di lapangan, yang disesuaikan dengan amanat Sinode II pun sudah disiapkan. Namun, rencana ini belum terlaksana karena pandemi.

Kendati sinode keuskupan ditunda hingga pada waktu yang belum pasti, Mgr. Aloysius pun mewanti-wanti, pascapandemi akan ada sesuatu yang sangat baru. Temuan tim pastoral di lapangan, yang sedianya akan dijadikan bahan refleksi Sinode III, ia nilai belum banyak berbicara untuk situasi yang dihadapi saat ini. “Tidak mungkin kita langsung mengadakan sinode tanpa terlebih dahulu berefleksi seputar pandemi dan dampaknya bagi umat. Refleksi atas pengalaman ini harus juga menjadi refleksi bagaimana gerak Gereja ke depan,” tandas Mgr. Aloysius.

Tidak ada yang tahu sampai kapan pandemi ini akan berlangsung. Lalu, dicarilah peluang, refleksi macam apa yang bisa dilakukan di tengah situasi seperti ini agar pelayanan Gereja sungguh menyentuh realitas umat. Muncullah rencana untuk mengadakan sebuah temu pastoral pada tahun 2021. Pertemuan ini akan diadakan bukan dalam satu Keuskupan sekaligus, tapi akan dilaksanakan di masing-masing dekenat ataupun distrik. Peserta temu pastoral merupakan perwakilan umat, tenaga pastoral, dan imam atau biarawan-biarawati di masing-masing wilayah.

“Rencana ini kembali tertunda karena berita penunjukan Uskup Agung yang baru. Rencana pelaksanaan temu pastoral ini ditunda hingga setelah instalasi Uskup Agung. Bersama Mgr. Yohanes Harun Yuwono akan kita buat kembali agenda yang lebih pasti,” jelas Vikjen.

Tantangan ke Depan

Umat Allah KAPal merupakan murid-murid Kristus yang hadir dalam kelompok-kelompok kecil dan menyebar di tiga provinsi, yakni Provinsi Sumatera Selatan, Jambi, dan Bengkulu. Di tengah masyarakat yang ada, kawanan diasporis ini terus ditantang untuk kian kokoh membangun komunio dan hidup beriman. Selama masa pandemi atau bahkan sesudahnya, tantangan tersebut kiranya makin menantang.

Pandemi ini memperkuat digitalisasi. Orang terbiasa hidup secara virtual. Ada ungkapan, homo digitalis berpotensi jadi homo brutalis. Refleksi ini disampaikan oleh Hendro Setiawan. “Di aneka grup atau laman media sosial, orang dengan mudah memaki orang lain lalu menghilang begitu saja. Walau tanpa informasi memadai, dengan leluasa orang melampiaskan agresivitasnya. Manusia memang punya sisi itu. Inilah perubahan yang terlalu cepat pada realitas digital, yang memunculkan brutalitas dan disorientasi eksistensial,” urai toko awam ini.

Sementara itu, Mgr. Yohanes Harun Yuwono juga menyoroti dampak pandemi bagi iman umat. “Dampak lebih serius barangkali pada anak-anak. Mereka kehilangan pengajaran dan keteladanan menghidupi iman dari generasi senior. Selama pandemi, dengan mengakrabi gadget, jangan-jangan mereka lupa pada doa dan kebiasaan berdoa,” jelas Mgr.Yu, sapaan akrabnya.

Mgr. Yohanes Harun Yuwono

Bagaimana Gereja KAPal melihat semua itu sebagai tanda-tanda zaman yang harus ditafsirkan dalam terang Injil? Semoga temu pastoral yang sudah digadang-gadang, nantinya menjadi jawaban atas tantangan tersebut. “Temu pastoral nanti arahnya ke sana! Inilah ruang jeda untuk berefleksi tentang pandemi serta dampaknya bagi kehidupan umat beriman. Amanat dari refleksi bersama ini kiranya bisa menjadi arah dasar pastoral menuju Sinode III,” ungkap Vikjen.

Elis Handoko (Kontributor, Palembang)

HIDUP, Edisi No. 41, Tahun ke-75, Minggu, 10 Oktober 2021

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here