USIA MENGGELINDNG BAK BOLA SALJU

56
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – DUA minggu lalu, kegiatan reuni yang sudah hampir 2 tahun beku,  cair kembali.  Bahkan ini yang kedua setelah pandemi mereda.

Kami berteman sejak di Bandung, sekira 45 tahun lampau.  Mudah ditebak, ini kumpulan mereka yang tak muda lagi.  Yang hadir hanya 10, dari 80-an orang yang dulu pernah bersama-sama duduk di bangku kuliah.  Banyak yang masih waswas dengan pandemi, sisanya  kesulitan untuk mencapai lokasi perhelatan.

Yang istimewa, kami seakan menantang sinar matahari di cakrawala Barat.  Menunya kontroversial.  Jangan kaget, terhidang sate, gule, sop, semuanya daging kambing plus kepala ikan.

Hanya perlu waktu sekejab untuk membuat perut tua menyerah.   Disusul kemudian acara   leyeh-leyeh yang penuh  obrolan tak jelas juntrungannya.  Masing-masing bercerita tentang apa yang tersimpan di kepalanya.  Kebanyakan soal “kehebatan” di masa lampau.  Pantas, lalu-lintas pembicaraan menjadi  simpang-siur.

Tiba-tiba, topik berpindah ke soal tekanan darah.  Sambil waswas, masing-masing mengukur tensinya. Kebetulan ada alat pengukur tensi yang tersedia.

Pemegang rekor menoreh angka yang  ndrawasi (mengkhawatirkan), yaitu 200/100.  Dua orang tergolong normal. Sisanya berkisar antara 150-170/90-100.

Bukan sesuatu data yang baik. Tapi angka silakan menjadi statistik.  Gelora bahagia tak lantas kami  sudahi.  Teriakan dan tertawa gembira terus terdengar di sini-sana.

Salah satu “tokoh” yang berlagak  “dokter” yang merangkap “ustad” mulai “tausiah”.   Menurutnya, tingginya rata-rata tekanan darah kami, bukan karena santapan kambing 1 jam lalu.  Makanan tak membuat tekanan darah melonjak tiba-tiba.

Bisa jadi karena antusiasme dan euforia saat “kangen-kangenan”, karena lama tak jumpa.  Nasihat yang cukup menghibur dan menenangkan, meskipun validitasnya diragukan.

Pembicaraan tetap seru sambil diwarnai  cerita nostalgia.  Celana cutbray, rambut gondrong, jaket cuman 1 tak pernah dicuci, mengulang ujian dan tak lulus-lulus, naik motor beramai-ramai ke Pangandaran, kemping di Tangkuban Perahu, dan Ciater, atau sama-sama “nembak” teman perempuan yang menjadi idola bersama.

Untuk seusia kami,  excitement cerita-cerita masa lalu seolah baru terjadi kemaren sore.  Dan tiba-tiba tak terasa  usia sudah menjelang senja.  Beberapa teman malah sudah mendahului pulang meski tetap indah untuk dikenang.  Waktu berlari demikian cepat.

“Time flies by too fast.”

Itulah proses bergulirnya usia.  Cepat  menggelinding seperti bola salju.  Awalnya hanya sebutir pasir salju, semakin lama semakin besar, terus membesar, dan berhenti ketika kaki bukit sudah mendatar.

Tak ada yang bisa menahannya.  Tahu-tahu  tersadar bahwa masa muda yang menantang dan menyenangkan sudah jauh tertinggal di belakang.

Usia bisa dikenang, tapi tak mungkin  diulang. Ia hanya angka, yang perlu dihias agar bermakna.

Lantas apa yang membuat keinginan untuk bercengkerama terus menggebu-gebu?. Sampai mengesampingkan bahaya pandemi yang masih mengintip di ujung sana?.

Ada kisah nyata yang mungkin bisa menjawabnya.   Cerita tentang sebuah kota kecil di Amerika yang menarik disimak untuk menjadi pelajaran.

Namanya Roseto. Letaknya di daerah Pennsylvania, Amerika Serikat.

Nama yang sama dimiliki oleh sebuah kota di Italia, Roseto Valfortore,   100 mil sebelah tenggara Roma, di pegunungan Apennine, Foggia.

Tak heran  bernama sama.  Penduduk Roseto Amerika  berasal  dari Roseto Italia, yang hijrah pada tahun 1882.  Bersusah payah  paesani Valfortore merintis pemukiman di dekat kota pegunungan berbatu,  Bangor.

Sampai akhirnya berhasil mendirikan “kampung” Roseto.  Ya, berjarak ribuan kilometer dari kota aslinya, Roseto Valfortore di Italia.

Anehnya, penduduk Roseto Amerika kini, seratusan lebih tahun kemudian sejak pindah dari Italia, mempunyai catatan kesehatan yang prima.  Dibandingkan dengan penduduk kota asal mereka dan masyarakat Amerika pada umumnya. Statistik penyakit dan angka kematian jauh lebih baik.

Padahal, menurut penelitian yang dilakukan oleh seorang ahli kesehatan masyarakat, Stewart Wolf dan sosiolog John Bhrun, perilaku “hidup sehat” yang dilakukan penduduk Roseto tak bagus-bagus amat.

Mereka biasa mengkonsumsi banyak makanan tak sehat dan berlemak.  Daging, sosis, peperoni, salami, ham dicampur telor menjadi menu sehari-hari.

Kebiasaan berolah raga tak banyak terlihat.  Merokok bukan sesuatu yang dijauhi dan obesitas mudah dijumpai di keramaian.

Belum selesai.  Masih ada beberapa fakta yang layak disimak.  Kriminalitas rendah, budi pekerti dipegang erat dan sopan santun menjadi hukum tertinggi.

Lantas apa yang membuat mereka sehat dan berumur panjang?.

Wolf dan Bhrun membuat hipotesa yang layak dipertimbangkan sebagai jawaban.

Warga Roseto mempunyai gaya hidup rukun dan guyub. Ngobrol, bercengkerama, saling kunjung dan  munjung merupakan pemandangan
sehari-hari yang terjalin antar tetangga.

Rumah-rumah besar dihuni oleh tiga atau lebih generasi, atau bahkan sampai keluarga jauh.

“Our Lady of Mount Carmel”, gereja yang namanya diberikan sama dengan gereja di Roseto Italia, setiap pagi dikunjungi banyak penduduk untuk mengikuti misa.

Sikap egaliter membuat orang kaya, pandai, berpangkat dan ternama tidak  sok.  Menghibur warga yang sedang sedih, kecewa atau gagal adalah ritual yang terpuji.

Singkatnya, relasi antar penghuni kota terlihat serasi dan harmonis. Itu diduga menjadi sebab mengapa catatan kesehatan penduduk Roseto tergolong prima dan orang-orang berusia lanjut menjadi pemandangan yang lazim.

Sehat adalah buah dari  sikap yang lebih  mengutamakan kepentingan sesama dan relasi
bersama.

Ingin sehat, panjang usia dan bahagia?.

Hiduplah guyub, rukun dan saling menyayangi, seperti warga Roseto Amerika.

(Kisah Kota Roseto disadur dari buku “Outliers”, karangan Malcolm Gladwell, Penguin Psychology Books, 2008)

P.M. Susbandono, Kontributor, Penulis buku inspiratif

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here