Jembatan Terpanjang Merawat Peradaban Bangsa

175
Terowongan Silaturahmi yang menghubungkan Masjid Raya Istiqlal Jakarta dan Katedral Jakarta. (Foto: Dok HIDUP)
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – Silaturahmi, persaudaraan, atau toleransi adalah jembatan terpanjang di dunia yang tidak akan lenyap oleh keutamaan hidup lainnya.

 DI salah satu sudut Terowongan Silahturahmi Masjid Istiqlal dan Katedral Jakarta, sebuah simbol persaudaraan nampak dalam gambar dua orang beragama Muslim dan Kristiani berjabat tangan. Ada pesan persaudaraan dan toleransi terlihat dalam gambar yang menjadi ikon Terowongan Silaturahmi tersebut.

Pembangunan Terowongan Silahutrahmi telah rampung pada 20 September 2021. Terowongan penghubung ini menelan biaya 37, 3 miliar. Lingkup pekerjaan meliputi pekerjaan struktur, jalan, plumbing, dan landscape. Panjang tunnel 28, 3 meter, tinggi tiga meter, lebar 4,1 meter dengan total luas terowongan area tunnel 136 meter persegi serta total luas shelter dan tunnel 226 meter persegi. Jarak terdekat pintu masuk terowongan dengan Katedral yakni 32 meter dan dengan gerbang Masjid Istiqlal adalah 16 meter.

Arsitektur akses masuk terowongan dibangun dengan gaya modern, dengan desain eksterior menggunakan material transparan sehingga terlihat pemandangan kedua tempat ibadah. Desain interior Terowongan Silaturahmi menggunakan bahan marmer dan dilengkapi dengan railing stainless sebagai simbol jabat tangan. Untuk menunjang fungsi sebagai bangunan publik, terowongan ini juga dilengkapi dengan lift difabel.

Masjid dan Katedral adalah dua rumah ibadah umat yang berlainan agama. Keduanya bukan semata gedung sakral dengan arsitektur, seni, dan asesoris yang menghiasi secara khas dan kategorikal. Terowongan Silaturahmi ini adalah simbol sekaligus simpul yang menyatukan umat dan jemaah dalam peribadatan kepada Tuhan, Allah Yang Maha Esa. Gereja dan masjid bisa berbeda fungsi dan terpisah lokasinya, tapi bertemu dalam satu tujuan yakni penyembahan. Tuhan yang disembah lewat shalat dan peribadatan.

Barter Persaudaraan

Sebenarnya bukan kali ini saja Indonesia mengenal Terowongan (jembatan) Silaturahmi. Jauh sebelum adanya terowongan ini, Indonesia sudah menjadi lahan subur bertumbuhnya tali persaudaraan, menancapnya arti sesama. Indonesia adalah negara ideal, wajah dunia yang dikehendaki Allah, berlatar ragam budaya, suku, etnis, dan agama.

Konsep persaudaraan telah mendarah daging dalam kearifan lokal bangsa. Konsep kebebasan, keadilan, musyawarah, hingga kepedulian sosial telah menyatu dalam Dasar Negara, Pancasila. Walau hidup dalam perbedaan, tapi disatukan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi satu.

Ada banyak cerita rajutan persaudaraan dari Sabang sampai Merauke, dari Pulau Rote sampai Miangas. Semua ini menjelaskan bahwa Indonesia yang terdiri dari banyak kepulauan, dihubungkan dengan “jembatan silahturahmi” kearifan lokal. Jembatan silaturahmi tersebut sudah terjalin bertahun-tahun lamanya. Dibangun dengan “material” persaudaraan, kerukunan, kejujuran, tanggung jawab, saling menghargai, dan sebagainya.

Pemeo lama menyebutkan “asam di darat, ikan di laut, bertemu dalam belanga” cocok dikenakan dalam kehidupan masyarakat tradisional Suku Lamaholot, Flores, Nusa Tenggara Timur. Warga Katolik turun-temurun menetap di dataran tinggi sebagai petani asli, sementara warga Muslim menetap di pesisir pantai sebagai pelaut atau nelayan.

Kehidupan Kristen-Muslim Lamaholot saling melengkapi. Mereka hidup rukun sejak ratusan tahun. Orang Kristen mengolah lahan menghasilkan padi, jagung, umbi-umbian, pisang, dan sayuran serta memelihara ternak. Sebaliknya, warga Muslim berprofesi sebagai nelayan, petani garam, dan pedagang. Mereka menyediakan pakaian, perkakas dapur, serta hasil industri seperti minyak kapak, balsem, minyak kayu putih, dan minyak tawon.

Seorang ibu bergama Katolik meminta tambahan ikan kering dari dari seorang pedangang Muslim di Pasar Lamaholot, Flores, Nusa Tenggara Timur. (Foto: Dokpri)

Yohanes Kelake selaku tokoh Katolik dari Desa Waiwerang, Adonara, Flores menjelaskan meski ada perbedaan, dua kelompok masyarakat ini hidup rukun dan damai. “Hal paling kuat yang mengikuti persaudaraan ini adalah barter di pasar antara orang darat dan laut masih berkembang hingga saat ini,” ujarnya.

Lanjutnya, bila ada masalah selalu dilihat sebagai masalah pribadi tidak dikaitkan dengan suku apalagi agama. Di pasar lewat sistem barter antara pedangan dan petani, lahir semangat persaudaraan. Jembatan silaturahmi mereka terjadi di pasar lewat barter. “Tidak cuma itu ada sejumlah keutamaan hidup seperti kejujuran, keadilan, pengorbanan, dan perasaan senasib.”

Potret toleransi juga terbentuk di beberapa daerah lain. Misal di Desa Ngargoyoso, Karanganyer, Jawa Tengah terdapat tiga tempat ibadah yakni Masjid Al-Mu’min, Gereja Sidang Jemaat Allah Pancaran Berkat, dan Pura Agra Bhadra Darma. Sejauh ini tidak pernah terdengar aksi intoleransi atau kekerasan atas nama agama di desa tersebut. Komunikasi yang baik juga tampak di antara para pengurus tiga tempat ibadah tersebut.

Hal yang sama terjadi di Desa Pabian, Kecamatan Kota, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Cerita toleransi juga terekam dengan berdirinya tiga tempat ibadah yang berdekatan. Ada Gereja St. Maria Bunda Karmel yang berdiri tepat di depan masjid sementara klenteng berada di sebelah kiri gereja.Umat Katolik di Paroki Pabian mengaku selama ini mereka hidup rukun dan damai. Meski minoritas mereka bebas beribadah sesuai iman mereka.

“Kami tidak saling berusik, saling menghargai dan menghormati. Tidak ada perbedaan mayoritas dan minoritas. Semua sama dan itu terasa sekali pada perayaan besar keagamaan. Misalnya Idul Fitri menjadi momen menggembirakan tidak saja bagi warga Muslim tetapi juga umat beragama lain di Desa Pabian,” ujar Kartika Sari warga Muslim dari Desa Pabian yang kini menetap di Desa Bojongnangka, Gunung Putri, Bogor.

 Penghubung Perbedaan

Di berbagai daerah istilah “berbeda-beda tetapi satu” terangkum dalam ragam istilah khas dan sebutan. Di Maluku lahir istilah pela gandong artinya saudara. Sebutan ini mengingatkan masyarakat Maluku bahwa katong samua basudara (kita semua bersaudara). Sebutan ini hampir mirip dengan di Manado, Sulawesi Utara dengan semboyan torang samua basudara (kita semua bersaudara).

Mgr. Petrus Canisius Mandagi MSC

Administrator Apostolik Amboina, Mgr. Petrus Canisius Mandagi, MSC menjelaskan bahwa dua makna ini memiliki pesan yang sama. Segenap makhluk adalah saudara dan saudari, memiliki perasaan yang sama. Jika seorang mengalami luka, semua orang ikut terluka. Jika seorang bahagia maka sesamanya harus terlibat dalam kebahagiaannya. “Di Maluku ada semboyan ale rasa beta rasa (kamu merasa, saya juga merasa) menjadi jembatan penghubung bagi sesama warga yang walau tak sedarah dalam gen, tetapi bersaudara dalam kehidupan sosial,” jelas Mgr. Mandagi.

Sementara di Papua, agama merupakan bagian penting pada sistem sosio-kultural masyarakat yang didasarkan pada prinsip “satu tungku tiga batu”. Frasa tungku artinya kehidupan di wilayah Papua, sedangkan frasa batu artinya pemerintah, adat, dan agama. Adakalanya frasa tiga batu diasosiasikan dengan tiga agama di Papua yaitu Islam, Kristen, dan Katolik.

Pastor Ibrani Gwijangge imam Keuskupan Timika dari Suku Nduga menjelaskan di Papua simbol jembatan persaudaraan itu bisa dilihat pada berbagai suku. Setiap suku menafsirkan persaudaraan itu dalam bahasa dan budaya mereka yang berbeda-beda. “Tapi pada dasarnya filosofinya adalah masyarakat berharap semua orang bisa hidup dalam persaudaraan. “Itulah kenapa orang Papua kerap memanggil siapa saja baik yang sudah dikenal maupun yang baru ditemui dengan sebutan sobat (sahabat). Mereka melihat semua orang adalah sahabat bagi mereka,” sebut Pastor Ibrani.

Seperti di Papua, Batak juga terkenal dengan istilah dalihan na tolu (tungku berkaki tiga). Tiga tungku yang menopang periuk nasi-gambaran saling mendukung dan tidak dapat dipisahkan. Tungku pertama disimbolkan sebagai dongan tubu (teman semarga), tungku kedua adalah hula-hula (jalur keluarga pihak istri), dan tungku ketiga disimbolkan dengan boru (pihak yang menikahi anak perempuan).

Di masyarakat Dayak, jembatan silaturahmi tergambar dalam Huma Betang (rumah panjang). Mereka hidup bersama sebagai keluarga besar dalam satu atap. Di rumah adat ini, masyarakat Dayak berikrar untuk tetap menjaga kebersamaan.

Sementara masyarakat Jawa yang mendamba hidup ayem tentrem. Mereka menggengam ungkapan rukun agawe santosa, crah agawe bubrah (rukun membuat santosa atau kokoh, bertengkar membuat rusak atau menimbulkan kehancuran.

Bahasa Final

Kini, jembatan silaturahmi di berbagai daerah disimbolkan dengan terowongan Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral. Terowongan ini sudah tentu lahir dari rahim globalisasi berdasarkan realitas dunia yang sedang tidak baik-baik. Indonesia mungkin kaya akan toleransinya, tetapi banyak orang masih berusaha mencari makna sesama.

Dalam organ dunia yang tercabik-cabik karena pandemi, manipulasi, dan deformasi konsep-konsep moral, masalah kebebasan, keadilan, hilangnya makna komunitas sosial, ketidakpedulian terhadap kesejahteraan masyarakat, budaya membuang, pengangguran, kemiskinan, rasisme, dan sebagainya adalah “awan gelap” yang mengikis tembok persaudaraan di Indonesia.

Mengutip pernyataan Presiden RI, Joko Widodo saat mengunjungi Terowongan Silaturahmi beberapa waktu lalu, “Jembatan Silaturahmi ini untuk menghubungkan setiap manusia yang ingin membangun toleransi. Sebab silaturahmi adalah keutuhan hidup manusia, bahasa final di atas kebutuhan primer lainnya. Sifat alami yang melekat dan terbentuk bersamaan dengan martabat manusia.”

Lanjutnya, silaturahmi adalah jembatan terpanjang di dunia yang harus dirawat. Jembatan silaturahmi akan hilang bersamaan dengan hilangnya manusia di dunia, selesainya kehidupan sosial.

Yusti H. Wuarmanuk

HIDUP, Edisi No. 43, Tahun ke-75, Minggu, 24 Oktober 2021

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here