Menandai Tersebab Covid-19 Kembali Marak di Eropa

547
Pastor Dr. Markus Solo Kewuta, SVD
5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – SELAMA Musim Panas baru-baru ini (Juni sampai September) jumlah kasus positif Covid-19 rata-rata turun drastis di berbagai negara Eropa. Banyak pertandingan bola dan berbagai aktivitas massal lainnya dilonggarkan. Orang-orang menikmati napas lega dan berbagai bentuk kebersamaan, sekalipun masker masih tetap dipakai dan jarak tetap dijaga. Intinya ada kelonggaran berarti. Saat ini, terutama menjelang akhir Oktober hingga kini, kasus positif Covid-19 kembali meningkat di berbagai negara Eropa dan bahkan semakin mencemaskan.

Belum lama ini seluruh Austria diumumkan sebagai negara berzona merah. Jumlah kasus positif per hari sampai 13.000 dari total jumlah penduduk 7 juta merupakan angka yang sudah kelewat batas (Bdk. Worldometer 13 November 2021). Pemerintah Austria segera menemukan berbagai cara untuk meredam. Tendensi penurunan kasus positif ternyata bergerak lamban.

Jerman juga kewalahan. Kasus positifnya sampai sekitar 50.000 per hari (Bdk. Worldometer 11 November 2021). Apalagi ada indikasi mencemaskan bahwa baru-baru ini, dalam kurun waktu tertentu, dari 300-an yang meninggal di Provinsi Bavaria, Jerman Selatan, sekitar 100 lebih sudah menerima vaksin kedua. Belanda, Belgia, Italia dan beberapa negara lain juga mengalami tendensi yang sama.

Hemat saya, kenaikan ini bisa berkaitan erat dengan beberapa alasan berikut.

Pertama, terlalu cepat senang dan merasa bebas

Virus itu kan seperti api. Sekecil apapun, kalau ada rumput kering, ada angin dan apalagi ada bensin, akan segera menjadi si jago merah yang sulit terkendalikan, dan dalam sekejap sekampung sudah amblas. Kemarin-kemarin, ketika kasus positif turun jelas kelihatan bahwa orang terlalu cepat senang dan bebas. Di dalam situasi seperti ini, protokol kesehatan (prokes) tidak terlalu digubris. Aturan-aturan jadi elastis, mudah dilanggar dan ditolerir. Akibatnya sudah dilihat sendiri.

Kedua, toleransi berlebihan dan kebebasan tak terkontrol

Dalam stadion-stadion dan demonstrasi-demonstrasi besar, orang tidak mengenakan masker lagi. Sepertinya ada pembiaran tak terkontrol. Dalam hal ini, di satu pihak pemerintah tidak konsisten; di pihak lain, massa yg tidak ingin dikontrol.

Ketiga, teori konspirasi dan penolakan terhadap vaksin.

Banyak orang hidup dalam bayang-bayang teori konspirasi, malah banyak yang begitu terobsesi dengan teori ini  sehingga menolak keras untuk divaksin. Mereka tentu saja membahayakan diri sendiri dan juga orang lain. Di beberapa negara, misalnya Austria, sudah mulai diberlakukan lockdown bagi yang tidak memiliki “Green Pass” (tanda bukti sudah divaksin minimal dua kali). Ternyata, sejak beberapa hari lalu pusat-pusat pelayanan vaksin ramai dikunjungi, terutama oleh mereka yang selama ini menolak divaksin. Efek jera membuat mereka sadar akan pentingnya vaksin, yang sejatinya bukan hanya uuntuk keselamatan diri sendiri, melainkan keselamatan banyak orang lain. Beda dengan aturan mengenakan sabuk pengaman di dalam kendaraan yang pada dasarnya hanya untuk keselamatan diri sendiri. Kalau aturan mengenakan sabuk pengaman begitu dihormati, mengapa aturan vaksin ditolak? Sebuah pertanyaan moral yang harus direspons dengan bijak pula dengan tetap mengedepankan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi.

Keempat, Musim Gugur

Eropa sedang berada dalam musim gugur (fall). Musim ini terkenal ganas, walaupun tidak seganas musim dingin (winter). Ganas karena cuaca dingin, jelas temperatur turun, sering hujan dan basah, angin. Ciri khasnya: Perubahan cuaca tidak menentu. Musim ini pula musim pilek. Itulah sebabnya para ahli sudah mewanti-wanti sejak musim panas lalu kalau jumlah kasus positif covid di musim gugur akan naik kembali.

Dan benar demikian. Mengapa? Ada relasi timbal balik antara penyebaran Covid-19 dan musim pilek. Sekarang banyak orang pilek di mana-mana. Setiap kali di awal musim gugur, pemerintah di berbagai negara Eropa menawarkan vaksi anti-influenza. Banyak yang mau, banyak pula yang tidak mau. Yang menolak mungkin karena tradisi pribadi sudah demikian, atau karena merasa terlalu banyak vaksin masuk ke dalam tubuh. Setelah dua kali vaksin anti Covid-19, masih lagi vaksin anti-influenza, lalu sebentar lagi vaksin ke-tiga anti covid-19. Nah, ketika orang menderita pilek, sering disertai pula dengan demam. Pilek dan demam membuat daya tahan tubuh melemah. Ketika daya tahan tubuh melemah, lalu ada potensi berhubungan dengan orang yang membawa Covid-19, jelas ibarat api kecil yang jatuh di dalam sekam, ditiup oleh angin sepoi dan disiram pula dengan bensin. Timbullah si jago merah yang merambat tanpa batas.

Mari kita berusahan semaksimal mungkin untuk menjaga prokes sehingga membantu menjaga kesehatan diri sendiri, kesehatan orang lain, dan membantu pula upaya global untuk menghentikan rantai penyebaran virus covid-19 di dunia ini. Semuanya bermula dari diri dan keluarga sendiri.

Pastor Markus Solo Kewuta, SVD dari Roma, Italia

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here