Anak Sangalla’ yang Tak Mau Diistimewakan

418
Peletakan Alkitab di atas kepala Mgr. John Liku Ada’ saat tahbisan episkopal pada 2 Februari 1992. (Foto: Dok Keuskupan Agung Makassar)
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – Illum Oportet Crescere (Ia harus makin besar) merupakan moto episkopal kelahiran Sangalla’ ini. Moto ini terinspirasi dari kata-kata Yohanes Pembaptis ketika ia menunjuk kepada Yesus, “Biarlah Ia makin besar tetapi aku harus makin kecil” (Yoh. 3:30).

“OH Tuhan pakailah hidupku, selagi aku masih kuat.
Bila saatnya nanti, kutak berdaya lagi,
Hidup ini sudah jadi berkat.”

Begitulah  penggalan lagu yang sering dinyanyikan  Uskup Agung Keuskupan Agung Makassar, Mgr. John Liku Ada’ dalam berbagai kesempatan. Terutama di dalam khotbah, ia sering mengajak umat menyayikan lagu ini bersama.

Lagu berjudul  “Hidup ini adalah Kesempatan” yang dibawakan penyanyi Herlin Pirena tersebut, begitu mendalam, menggambarkan kerelaan seorang manusia di hadapan Tuhan untuk mau setia melayani-Nya. Pada Ulang Tahun Tahbisan Episkopal ke-30, Mgr. John pun tetap menunjukkan semangat pelayanan itu: “Melayani selagi diberi kesempatan”.

Tidak Tercatat

Tak ada yang benar-benar tahu tanggal berapa tepatnya ia dilahirkan. Orang tuanya tak tahu, ia pun tak tahu. Tanggal kelahirannya memang tidak tercatat karena kedua orang tuanya tidak bisa membaca dan menulis.

Pada perkiraan umurnya yang kesembilan tahun ia dibaptis tepatnya pada tanggal 22 Desember 1957. Hari itu, Pastor Louis Vogel, CICM memberinya nama baptis John, sekaligus menjadi nama pertama untuk Liku Ada’, nama pemberian orang tuanya, Yosef Tallo Tampo dan Maria Tammu. Tanggal baptis itu pun ia pilih menjadi tanggal kelahirannya, karena menurutnya, pada saat itu ia dilahirkan kembali dari air dan Roh. Maka setiap kali ditanya kapan tanggal lahirnya, ia akan menyebutkan tanggal baptis itu.

Mgr. John Liku Ada’ diapit oleh ayah-ibu, Yosef Tallo Tampo dan Maria Tammu sesaat setelah tahbisan episkopal.
(Foto: Dokpri Mgr. John Liku Ada’)

Masa kecil ia lalui dengan penuh kesederhanaan di sebuah kampung bernama Lampio, Sangalla’, Tana Toraja. Di sana, ia hidup dalam keluarga sederhana dan dekat dengan kehidupan khas orang-orang di perkampungan Toraja: menggembalakan kerbau dan menanam padi. Terutama sebagai penggembala kerbau, ia menemukan spiritualitas seorang gembala sejati yang ia terapkan dalam pelayanan di keuskupan.

Setamat Sekolah Rakyat tahun 1961 ia tertarik dengan tawaran pendidikan seminari yang ia dapatkan dari seorang penolong bernama Felix Dammen. Walaupun harus berhadapan dengan berbagai tantangan, terutama keraguan dari sang ibu untuk melepasnya, ia akhirnya memutuskan untuk masuk ke Seminari Menengah Santo Petrus Claver, Makassar. Saat itu, ia harus meninggalkan Toraja menuju Kota Makassar dan terpisah sejauh lebih dari 300 kilometer dari orang tua dan keluarga tercinta.

Pengenalan akan seminari terus membawanya menapaki panggilan menjadi seorang imam. Setelah melanjutkan berbagai tahap pendidikan di Seminari Petrus Claver dan Seminari Tinggi Santo Paulus Kentungan, Yogyakarta, ia akhirnya menerima rahmat tahbisan imamat  tanggal 10 Januari 1975 dari Mgr. Theodorus Lumanaw di Paroki Kristus Imam Agung Abadi Sangalla’, paroki asalnya.

Kesederhanaan dan Kerendahan Hati

Tugas sebagai imam pun menanti dan ia akan selalu menerima penugasan yang diembankan kepadanya, termasuk untuk studi lisensiat dan doktoral di Roma. Beberapa waktu setelah kepulangan dari Roma tepatnya pada pertengahan Oktober 1991, suatu kabar mengejutkan datang kepadanya: Sri Paus mengangkatnya menjadi Uskup Auxilier mendampingi Mgr. Frans van Roessel, CICM.

Di tengah pergulatan, kebimbangan dan rasa tak pantas atas pengangakatan tersebut, saat itu ia kembali mengingat apa yang menjadi moto tahbisannya ketika menjadi imam: “Ia harus makin besar tetapi aku harus makin kecil”.

Dalam kerelaan sebagai hamba seperti Bunda Maria, ia menjawab pengangkatan tersebut sembari berdoa dalam hati: “Ya Terjadilah kehendak-Mu, karena Engkau yang empunya semesta ini”.

Ia pun menerima tahbisan uskup pada tanggal 2 Februari 1992 di Ujung Pandang (sekarang Makassar). Tanggung jawab besar ada di pundaknya namun dengan penuh kerendahan hati, ia menyatakan bahwa ia tak pantas untuk tugas ini. Ia pun meminta dukungan rekan seimamat dan umat beriman untuk sehati sejiwa dalam memenuhi panggilan suci dari kehendak Allah sendiri.

Dua tahun setelah tahbisan episkopal, tugas berat kembali menanti. Mgr. Frans menuliskan surat pengunduran diri yang kemudian langsung dikabulan oleh Bapa Suci tanggal 21 Mei 1994. Setelah beberapa waktu menjabat sebagai administrator diosesan, ia kemudian diangkat menjadi uskup agung dan dilantik pada tanggal 19 Maret 1995.

Illum Oportet Crescere merupakan moto episkopalnya, sama seperti tahbisan imamatnya. Moto ini terinspirasi dari kata-kata Yohanes Pembaptis ketika ia menunjuk kepada Yesus: “Biarlah Ia Makin Besar tetapi aku harus makin kecil” (Yoh. 3:30). Ungkapan ini merupakan bentuk kerendahan hati Yohanes di hadapan Yesus. Semangat akan moto ini senantiasa digaungkan oleh Mgr. John.

Menurutnya, dalam pelayanan, Yesuslah yang senantiasa menjadi pusat, bukan diri kita sendiri. Ia mengajak umat beriman terutama umat di Keuskupan Agung Makassar untuk menghidupi semangat yang sama.

Semboyan yang menggambarkan kerendahan hati tersebut bukanlah kutipan kata-kata semata. Ia selalu menghidupi moto tersebut dalam kehidupan dan pelayanannya.

Dalam berbagai kesempatan, ia tak ingin menunjukkan diri sebagai seorang yang harus diistimewahkan, meskipun ia adalah seorang uskup agung. Setiap kali pulang kampung, ia tidak tinggal di pastoran paroki dengan berbagai fasilitas yang telah disediakan. Ia akan lebih banyak memilih tinggal di rumah bersama keluarga dan bercengkerama dengan mereka.

Keluarga Kudus Nazaret

Di dekat kediaman masa kecilya, berdiri kompleks Pusat Ziarah Keluarga Kudus Nazaret Sa’pak Bayobayo, Sangalla’. Pusar ziarah tersebut kini menjadi salah satu destinasi wisata rohani favorit di Toraja.

Pembangunan pusat ziarah tersebut bukanlah tanpa alasan. Spiritualitas Keluarga Kudus Nazret memang sangat berpengaruh dalam perjalanan hidup Mgr. John. Kedua orang tuanya bernama baptis Yosef dan Maria. Berbagai hari-hari penting terkait dengan pentahbisan, pengangkatan dan pelantikannya sebagai uskup agung juga bertepatan dengan hari-hari peringatan dari anggota inti Keluarga Kudus Nazaret. Dari berbagai pengalaman tersebut bisa dikatakan bahwa Mgr. John memang hidup dan bertumbuh dalam spiritualitas Keluarga Kudus Nazaret.

Mgr. John Liku Ada’ bersama ibunda Maria Tammu (94 tahun) di kediaman keluarga di Sangalla’. Foto diambil tahun 2018.
(HIDUP/Hasiholan Siagian)

Melayani keuskupan seluas 100.623 km2 meliputi tiga provinsi (Sulawesi Selatan, Barat, dan Tenggara) dan umat lebih dari 150.000 jiwa bukanlah hal yang mudah. Namun, Mgr. John tetap setia dalam pelayanan tersebut hingga raganya kini tak selincah 30 tahun lalu. Namun, seperti salah satu penggalan lagu kegemarannya: Hidup ini adalah kesempatan, Hidup ini untuk melayani Tuhan, ia akan terus melayani selagi Tuhan berkenan.

Selamat Hari Ulang Tahun ke-30 Tahbisan Espikopal, Monsinyur John!

Kelvin Tandiayu (Yogyakarta)

HIDUP, Edisi No. 06, Tahun ke-76, Minggu, 6 Februari 2022

1 COMMENT

  1. Hai, saya suka membaca majalah Hidup, meskipun saya seorang Muslimah berhijab. Dulu, saya berkuliah di kampus Katolik, dan pernah membaca Hidup di perpustakaan kampus. Skrg ada onlinenya, saya jadi bisa membacanya kapan saja. Salam.

Leave a Reply to Mona Cancel reply

Please enter your comment!
Please enter your name here