Pengasuh Sanggar Bina Liturgi, Ernest Mariyanto, OFS: Sosok Legendaris di Belantika Musik Liturgi

360
Romo Antonius Soetanta, SJ memimpin Paduan Suara Ascensio di Gereja St. Fransiskus Xaverius, Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – Sudah lebih dari dua minggu Romo Tanto, demikian panggilan akrab Romo Antonius Soetanta, SJ meninggalkan kita. Rasa kehilangan masih menggores di hati. Tetapi roh dan karya musiknya akan tetap segar, abadi. Berikut seuntai kenangan.

Talenta musik Romo Tanta mulai tumbuh di Seminari Mertoyudan, Jawa Tengah. Di sinilah untuk pertama kalinya ia memegang alat musik. Begitu besar hasratnya untuk bisa bermain musik. Tetapi gayung tak bersambut. Ia tak diberi kesempatan oleh pamongnya. Namun, ia tidak putus asa. Demi bisa bermain musik, ia curi-curi waktu untuk berlatih sendiri.

Lulus Seminari Mertoyudan, Tanto muda masuk Serikat Yesus (SJ). Selesai novisiat, ia kuliah Filsafat di Poona, India. Pulang dari India, ia menjadi pamong dan pembina musik di Seminari Mertoyudan. Di sini Romo Tanto mulai mencipta lagu. Mulai 1968, tiap tahun lahir lewat tangannya satu set ordinarium (Tuhan Kasihanilah, Kemuliaan, Kudus, Anak Domba Allah; juga Credo); sampai 1972 ia berhasil menggubah Misa Kita I-V; Misa Kita II dan Misa Kita IV sangat dikenal oleh umat.

Setelah menyelesaikan tugas di Mertoyudan, Frater Tanta kuliah Teologi di Yogyakarta, dan pada tahun 1972 ia ditahbiskan menjadi imam. Sebagai imam muda, Romo Tanto ditugaskan belajar Musik Gereja di Utrecht, Belanda (1973-1977).

Berkat pendidikan formal dan pengalaman di lapangan, Romo Tanto tampil sebagai pemusik yang produktif. Tak terbilang karya musiknya diterbitkan lewat aneka buku, antara lain: Ordinarium, Ho.. Ho.. Ho.. Hosana, Madah Bakti (edisi pertama), Kidung Jemaat, Pelengkap Kidung Jemaat, Kidung Ceria, Kidung Muda-Mudi, Kidung Sekolah Minggu, Puji Syukur, Seri Tunas Musika, Kidung Mazmur, Kidung Keesaan, Nyanyikan Hosana. Lewat semua karya ini, Romo Tanto menyemarakkan liturgi, Sekolah Minggu, dan himpunan-himpunan jemaat lainnya.

Perayaan HUT ke-41 Tahun Paduan Suara Ascensio

Sarana Pastoral

Romo Tanto menggeluti musik bukan demi musik, tetapi demi karya yang lebih mulia. Melalui musik, Romo Tanto berpastoral. Tujuannya adalah menanamkan watak, sikap, dan perilaku kristiani di kalangan anak-anak. Maka ia memadukan kegiatan musik dengan pendalaman iman. Sesudah latihan, anak-anak dikumpulkan untuk pendalaman iman, membaca Alkitab, dan sharing. “Saya bukan musikus! Saya pertama-tama adalah seorang imam Yesuit, dan sebagai imam saya berkarya melalui music,” katanya mantap. “Musik hanyalah wadah dan sarana untuk berpastoral.”

Kalau kita cermati, lagu-lagu karya Romo Tanto sungguh merupakan sarana untuk mengajar, terutama untuk menanamkan kisah dan pesan-pesan Injil. Syair dari 73 lagunya yang terhimpun dalam buku yang judulmya sangat menggelitik: Ho.. Ho.. Ho.. Hosana, semuanya mengacu pada kisah Injil. Boleh dikatakan bahwa 73 lagu itu merupakan sarana mewartakan Injil. Lewat lagu-lagu yang mudah dihafal, kisah dan pesan Injil tertanam kokoh dalam hati penyanyi. Satu contoh, “Dulu Yesus Berpuasa” (Puji Syukur No. 490), mengacu pada Injil Matius 4:1-11.

“Dulu Yesus berpuasa empat puluh hari lamanya. Ia pun merasa lapar, si penggoda datang, katanya, “Bila ‘Kau Putra Ilahi, batu ini jadikanlah roti, jawab Yesus, sabda-Nya, “Hidup tak hanya dengan roti.” Dengan diberi lagu yang mudah dihafal, kisah dan pesan Injil di atas gampang diingat.

Romo Antonius Soetanta,SJ (kanan) memimpin Paduan Suara Ascensio di Gereja St. Servatius, Kampung Sawah, Bekasi, Jawa Barat.

Membidik Tunas Muda

Ketika belajar musik di Belanda, Romo Tanto mulai akrab dengan Paduan Suara Anak (PSA). Sebagai syarat kelulusan, Romo Tanto harus menyiapkan PSA untuk membawakan dua karya komponis Eropa, dan berhasil. Keberhasilan ini memantik optimisme untuk mendirikan PSA di Indonesia. Maka pada 1978 lahirlah Sanggar Musik Anak Ascensio (SMAA) ketika Romo Tanto menjadi pastor rekan di Paroki Tanjung Priok, Jakarta.

Lewat SMAA, Romo Tanto mendidik anak-anak untuk menekuni musik yang bernafaskan iman Katolik. Dalam kancah SMAA, tunas-tunas muda digembleng menjadi solis, pemazmur, anggota paduan suara, organis, dirigen, sejak usia dini. SMAA telah berhasil melatih banyak anak dan remaja untuk menjadi pemusik dan pelayan liturgi yang baik, pemusik yang andal untuk melayani liturgi dan mengembangkan musik. Di usianya yang mendekati 50 tahun, SMAA mempunyai base camp latihan di paroki Tanjung Priok, Katedral Jakarta, Cilincing, Cililitan, dan Kampung Sawah. Belum terhitung para alumni yang menyebar di berbagai penjuru Gereja dan secara pribadi melayani kursus musik Gereja dan membina PSA.

Mengapa Romo Tanto memilih PSA? Karena, menurutnya, Gereja Katolik di Indonesia belum memiliki kepedulian, apalagi greget, untuk mengembangkan PSA dan nyanyian liturgi untuk anak-anak. Ia sangat prihatin bahwa PSA nyaris tak mendapat ‘panggung’ dan pembinaan yang serius. Alasan lain adalah bahwa anak-anak merupakan  penentu masa kini dan harapan masa depan Gereja.

Pribadi Mengagumkan

Selama lebih dari 30 tahun bekerja bersama Romo Tanto, saya melihat dia sebagai pribadi yang mengagumkan. Kesan itu muncul kuat dari beberapa penampilan berikut, pertama, seorang pribadi yang sederhana. Dua kali seminggu Romo Tanto menghadiri rapat Tim Inti Nyanyian Gereja di Yamuger. Bertahun-tahun sebelum pandemi Covid-19, ia selalu naik angkutan umum Kampung Sawah – Rawamangun (pulang pergi), sekali jalan 60-90 menit dengan dua kali ganti angkutan. Ketika terlibat dalam Tim Puji Syukur, sebulan sekali ia menyusuri jalan ratusan kilometer Jakarta – Yogyakarta dengan naik Vespa atau GL Pro-nya yang relatif sudah tua

Untuk keperluan SMAA, Romo Tanto tidak selalu membeli organ baru. Tidak mampu! Organ-organ yang dalam kondisi rusak ia perbaiki sendiri supaya bisa dipakai untuk latihan. Dalam kaitan ini, Romo Tanto dikenal sebagai pemulung organ. Tanpa sungkan ia meminta organ bekas ke berbagai paroki. Organ-organ bekas, rusak, terbengkelai, dan tidak dipakai lagi, ia kumpulkan di sanggar. Jika rusaknya ringan, ia perbaiki sendiri. Jika rusaknya parah, ia panggil teknisi.

Kedua, sosok yang murah hati, Romo Tanto rela memberikan organ kepada anak-anak yang kurang mampu, yang lulus latihan di SMAA. Lulus dalam penilaian Romo Tanto adalah mampu mengiringi nyanyian dalam perayaan liturgi. Karena itu, selama latihan, ia selalu memprioritaskan musik liturgi. Muaranya jelas, ia ingin muridnya giat melayani liturgi di gereja.

Agnes Fridasari, salah satu pentolan Ascensio (tengah) bersama Romo Antonius Soetanta, SJ (kiri)

SMAA tidak pernah memungut bayaran dari orang tua anak. Menurut dia, jika harus membayar maka yang sanggup berlatih di SMAA  hanya anak-anak orang berduit. “Lantas, bagaimana dengan anak-anak yang kurang mampu?” Maka Romo Tanto menggratiskan semua anak yang berlatih di SMAA. Romo Tanto juga tak mau dibayar.

Ketiga, sosok yang peduli. Romo Tanto adalah bapak yang penuh kasih dan sangat peduli terhadap anak-anak. Yang mengalami kesulitan beli buku dibantu, yang mengalami kesulitan beli keyboard dibantu, yang kesulitan transportasi dijemput dan diantar. Sudah menjadi acara rutin, sesudah latihan di sanggar, Romo Tanto berkeliling mengantar anak-anak yang rumahnya jauh, sehingga ia baru tiba di pastoran ketika hari sudah larut malam.

Semangat ekumenis yang membara mendorong Romo Tanto aktif mengembangkan musik, tidak hanya di lingkup Gereja Katolik tetapi juga di Gereja-Gereja lain. Semangat inilah yang mendorong dia bergabung dalam Yayasan Musik Gereja (Yamuger) sejak 1978. Di sini ia menyumbangkan karyanya untuk semua Gereja.

Ernest Mariyanto, OFS

HIDUP, Edisi No. 13, Tahun ke-76, Minggu, 27 Maret 2022

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here