HIDUPKATOLIK.COM – APA yang anda bayangkan ketika mendengar kata Amsterdam? Bagi anda yang sudah pernah berkunjung ke Amsterdam akan mengerti bagaimana hiruk pikuknya kota tersebut.
Ribuan orang setiap hari lalu lalang bersepeda di jalan raya, melintasi jembatan-jembatan di atas sungai di antara bangunan-bangunan khas bergaya Belanda. Apa lagi yang khas di Kota Amsterdam? Toko-toko cannabis yang menjual cannabis dalam berbagai bentuk secara legal, berbagai toko yang menjual sex toys dengan bebas memajang produknya, belum lagi kawasan red district di mana para pekerja sex professional berdiri menampilkan kemolekan tubuh di balik kaca etalase, juga bar dan restoran bertebaran di mana-mana.
Bisa dikatakan hal-hal profan begitu mudah ditemukan di Amsterdam. Bahkan saya sempat “tertipu” ketika mengira beberapa gedung sebagai tempat beribadah dan saya masuk ke dalamnya ternyata telah berubah menjadi bar dan restoran yang menyediakan berbagai jenis minuman alkohol (Baca: Dari Altar Menjadi Bar: Kisah Pilu Gereja Santa Anna Amstelveen Belanda | HIDUPKATOLIK.com dan Bir Adalah Bukti Kasih Tuhan demi Kebahagiaan Kita: Kisah Gereja Jopen di Haarlem Belanda | HIDUPKATOLIK.com). Ditambah lagi dengan legalisasi hubungan sejenis yang diberlakukan pemerintah Belanda, membuat Kota Amsterdam begitu berwarna ketika pride parade berlangsung berhari-hari di kota tersebut.
Ketika saya melakukan perjalanan liburan di Belanda dan menemukan hal-hal tersebut di atas, terbersit pertanyaan dalam hati, “Masih adakah altar di antara deretan bar? Masih adakah yang sakral di antara berbagai hal profan ini? Masih adakah iman dan harapan pada Tuhan di Negeri Belanda?“
Sekilas Sejarah Kekatolikan di Belanda
Kekatolikan sempat hidup dengan pesat di wilayah Belanda pada abad pertengahan. Tahun 1345 di Amsterdam pernah terjadi mukjizat Hosti yang telah dikonsekrasikan melayang di atas api. tahun 1522 Gereja Katolik Roma memiliki uskup asal Utrech, Belanda bernama Paus Adrian VI. Gereja-gereja Katolik dibangun dengan megah di berbagai kota di Belanda. Namun sayang selama periode 1578 hingga 1795 umat Katolik mengalami penindasan akibat masuknya Protestantisme dari Inggris. Gereja-gereja Katolik diambil alih oleh kelompok Protestan Inggris dan umat Katolik tidak lagi dapat beribadah secara terbuka.
Setelah lebih dari 200 tahun, setelah generasi berganti, umat Katolik baru benar-benar mendapat kebebasannya pada 1881. Perlahan jumlah umat Katolik mulai bertambah dan terus bertambah. Seiring berkembangnya zaman dan perubahan pola hidup masyarakat yang lebih bebas (baik dalam berpikir, berpendapat dan maraknya kehidupan homoseksual) serta pajak gereja yang tinggi, menjadi alasan-alasan umat memilih hidup di luar aturan Gereja. Mereka melepaskan diri dari Gereja Katolik dan sebagian menganut paham atheis, sebagian paham agnostik. Kini tersisa 21% penganut Katolik di wilayah Belanda dari jumlah penduduk 17 juta jiwa.
Tokoh Katolik asal Belanda
Paus Adrianus VI (1459-1523) yang menjabat sebagai Paus pada era 1522 hingga 1523 adalah seorang yang berasal dari Utrech. Ia merupakan ahli dalam bidang teologi dan merupakan satu-satunya Paus yang berasal dari Belanda.
Santo Titus Brandsma adalah seorang imam Karmelit yang berasal dari Belanda. Ia merupakan seorang doktor di bidang filsafat. Religius, imam sekaligus martir ini hidup pada 1881 hingga 1942. Makamnya berada di Nijmegen, Belanda. Ia dibeatifikasi pada 3 November 1985 oleh Paus Johannes Paulus II dan kanosisasinya pada 15 Mei 2022. Paus Fransiskus mengumumkan kanonisasi tersebut di halaman Basilika Santo Petrus Roma di hadapan lebih dari 50 ribu orang. Ia dijadikan pelindung bagi para jurnalis dan penghisap tembakau.
Altar di Antara Bar
Saya mengikuti Perayaan Ekaristi hari Minggu di Paroki Titus Brandsma Amstelveen (di pinggiran Kota Amsterdam). Gereja Titus Brandsma terlihat seperti gereja yang berada di atas air karena berada di tengah danau kecil.
Paroki ini merupakan gabungan dari paroki pertama di Amstelveen (Gereja Santa Anna) yang kini telah menjadi sebuah brewery, bar dan restoran. Imam-imam dari Ordo Karmelit (OCarm) yang bertugas di paroki ini.
Ekaristi dipimpin secara konselebrasi oleh 2 orang imam. Paduan suara terdiri dari 3 orang laki-laki tua dan seorang perempuan memainkan orgel. Umat yang hadir hampir semuanya sudah sepuh, mereka berjumlah sekitar 50 orang. Dalam satu minggu, ada 3 kali Perayaan Ekaristi di Paroki Titus Brandsma, yaitu Minggu, Selasa dan Jumat. Saya merasa menemukan secercah harapan bahwa iman Katolik masih hidup disini.
Suatu hari saya pergi menjelajah Kota Amsterdam. Sendiri. Inilah hal yang saya sukai. Melangkah tanpa rencana dan tujuan, hanya mengikuti ke mana naluri ingin melangkah. Dan saya selalu mempercayai, bahwa di saat seperti itu, Roh Kudus menuntun saya.
Saya melangkah ke dalam Basilika Santo Nikolas yang letaknya persis berseberangan dengan Central Station. Tanpa saya duga, ternyata sesaat lagi Misa harian akan dimulai.
Saya pun memutuskan untuk diam di dalam Basilika tersebut dan mengikuti Misa. Imam dan misdinar yang melayani terlihat sudah sepuh, saya perkirakan usianya sudah lebih dari 70 tahun. Ada sekitar 20 orang yang hadir. Basilika ini tidak menerima kunjungan turis (di depan gereja ada tanda “no sightseeing”, gereja hanya dibuka bagi mereka yang mau berdoa atau mengikuti Misa. Bagaikan menemukan mata air di tengah padang gurun ketika bisa mengikuti Misa harian di pusat Kota Amsterdam yang hiruk pikuk. Tenang, hening dan syahdu.
Perjalanan saya lanjutkan dengan mengunjungi The Church of Our Lady yang terletak dekat stasiun Rokin (di mana “red district” berada). Gereja ini melayani dua ritus yaitu Katolik Roma dan Orthodox.
Ketika masuk ke dalamnya, saya menemukan simbol Kongregasi Redemptorist, ikon Maria Bunda Penolong Abadi dan patung serta mozaik Santo Pieter Donders. Di gereja ini dilakukan Adorasi Sakramen Mahakudus yang dimulai Kamis pukul 11 hingga Sabtu pukul 6 waktu setempat.
Saya pun tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Saya melakukan adorasi dan mengikuti Doa Kerahiman Ilahi pada jam 3 sore. Dari seorang perempuan yang bertugas di gereja, saya mengetahui bahwa dulu gereja ini memang milik Kongregasi Redemptoris, namun kini dikelola oleh Opus Dei.
Di gereja ini juga diadakan Misa setiap hari dan umat Katolik Roma serta Orthodox bekerja sama dengan baik memanfaatkan dan mengelola gereja ini sebagai tempat ibadah. The Church of Our Lady Amsterdam menjadi bukti kerukunan hidup beriman antara Katolik Roma dan Orthodox.
Kapel Begijnhof adalah tujuan ziarah saya selanjutnya. Kapel ini terletak di dalam gang sempit yang di sekelilingnya adalah bar dan restoran serta pertokoan. Saya pergi ke sana setelah mendapat informasi dari perempuan yang bertugas menjaga The Church of Our Lady. Ia menceritakan pada saya perihal mukjizat Ekaristi yang pernah terjadi disana tahun 1345.
Di dalam Kapel Begijnhof dilakukan adorasi sepanjang hari dan setiap hari juga ada Perayaan Ekaristi.
Ketika saya mengikuti Perayaan Ekaristi di sana, tampak sekitar 20 orang yang setia dalam adorasi dan Misa.
Pada bagian kiri altar terdapat sebuah ruangan yang menyimpan lukisan tentang peristiwa mukjizat tersebut serta sisa batu dari reruntuhan kebakaran besar yang pernah terjadi di Amsterdam. Hingga kini, setiap tahun masih tetap dilakukan prosesi membawa Sakramen Mahakudus dari Kapel Begijnhof menuju Basilika Santo Nikolas.
Pengalaman untuk dapat melakukan adorasi serta mengikuti Perayaan Ekaristi di kapel dan gereja yang berada di tengah Kota Amsterdam yang profan, telah meruntuhkan ketidakpercayaan saya untuk dapat menemukan sesuatu yang religius dan sakral di tengah maraknya kehidupan profan. Saya harus melalui deretan bar untuk sampai pada altar.
Pada akhirnya saya menemukan kembali altar-altar yang tersisa di antara altar-altar yang hancur dan tergantikan oleh deretan bar. Menemukan kembali iman dan harapan di Kota Amsterdam, di negeri Belanda. Masih ada.
Ditulis dari Amsterdam
Sr. Bene Xavier, MSsR (Kontributor di Wina, Austria)