Kardinal Suharyo 25 Tahun sebagai Uskup: Rendah Hati, Mendalam, dan Berbela Rasa

884
Ignatius Kardinal Suharyo dengan lambang penggembalannya. (Foto: HIDUP/Guntur Liem)
4.2/5 - (6 votes)

HIDUPKATOLIK.COMIGNATIUS Kardinal Suharyo ditahbiskan sebagai uskup ke-4 Keuskupan Agung Semarang (KAS), 22 Agustus 1997, menggantikan Julius Kardinal Darmaatmadja, SJ. Saat itu Indonesia sedang menghadapi krisis segala hal yang berujung pada pergantian  kekuasaan dan munculnya orde reformasi.

Tanggal 28 Juni 2010 Mgr. Suharyo resmi menjadi Uskup Keuskupan Agung Jakarta (KAJ). Dihitung sejak tanggal tahbisan sebagai Uskup KAS dan diangkat sebagai Uskup Koajutor KAJ tanggal 25 Juli 2009, sampai 22 Agustus 2022 ini Kardinal Suharyo memangku jabatan uskup selama  25 tahun.

Sebagai ahli Kitab Suci, Kardinal Suharyo menggali banyak keutamaan dan kebijaksanaan dari sana dan berusaha menyatukan dalam dirinya. Mendalam, rendah hati, berbela rasa dan terus menjadi dalam arti terus berkembang, kata Julius Kardinal Darmaatmadja SJ: 2016. “Saya senang, bersyukur dan merasa teberkati bertemu dengan orang yang rendah hati, yang tahu secara mendalam dan menghayati apa yang diketahuinya itu, sehingga terus menjadi. Menjadi baru dalam wawasan dan perilaku. Mgr. Suharyo seorang pribadi yang mampu menjelaskan kerumitan dan kedalaman dengan mudah dan dimengerti, disesuaikan kondisi audiens.

Saat Romo Ignatius Suharyo (tengah) bersiap menuju altar untuk ditahbiskan menjadi Uskup Agung Semarang, 22 Agustus 1997 di Semarang, Jawa Tengah .(Foto: Dok. Windiyatmoko MSF)

Katekese Kitab Suci “Api Karunia Tuhan” yang disampaikan Kardinal Suharyo pukul 20.00-21.00 WIB tiap Senin lewat HidupTV — hanya lowong empat kali –sejak Mei 2020 sebagai salah satu contoh. Dengan peserta rata-rata 500 penonton, menurut Romo Vincentius Adi Prasodjo, Sekretaris KAJ — kadang bisa lebih dari 1.000 bahkan 5.000 menurut Romo Harry Sulistyo, Pemimpin Umum Majalah HIDUP acara itu menjadi viral sampai saat ini. Diawali tentang Kitab-kitab Perjanjian Baru sampai 60 kali pertemuan, pada 8 Agustus yang lalu pertemuan ke-23 mengenai Kitab-kitab Perjanjian Lama. Acara rutin masih berlanjut.

Sumber Moral dan Spiritual

Visi pastoralnya sebagai uskup, Serviens Domino cum omni humilitate (Aku melayani Tuhan dengan segala kerendahan hati, Kis. 20:19), mencerminkan pribadi Kardinal Suharyo (Mgr. Antonius Bunjamin Subianto OSC: 2020). Antara identitas dan aktivitasnya sepadan. Jatidiri yang dihidupi adalah jatidiri otentik, bukan pemenuhan diri manusia zaman modern. Muara identitasnya etika solidaritas yang tampak dalam bela rasa dan pelayanan belas kasih.

Gerakan Ayo Sekolah Ayo Kuliah (ASAK) lahir tahun 2011 yang berawal dari Paroki Bojong 15 tahun lalu, salah satu contoh aksi bela rasa. ASAK di paroki ini berkembang dengan program Ayo Vokasi yang mengusahakan anak asuh ASAK dan program Gerakan Mengasihi Berbagi Laptop mengumpulkan laptop yang dibagikan bagi anak asuh ASAK. Sampai saat ini ASAK berjalan baik di 65 paroki dan dua stasi seluruh KAJ.

Contoh lain. Gerakan BerKhat Santo Yusuf (BKSY), gagasan Kardinal Suharyo bergulir sejak 30 November 2013. Didasarkan atas Ardas KAJ 2011-2016 dengan gerakan ini umat diharapkan menjadi lebih beriman, lebih bersaudara dan lebih berbela rasa.

BKSY adalah salah satu ragam gerakan lain sebagai bentuk bela rasa. Sejak awal berdiri BKSY berada di bawah koordinasi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) KAJ. Menurut H. Kasiyanto dari Sekretariat BKSY, kini sudah 32 paroki dari 67 paroki melaksanakan BKSY. Berbeda dengan program Iuran St. Yusuf yang sudah berjalan bertahun-tahun sebelumnya dan hanya di KAJ, BKSY tidak hanya berurusan dengan kematian tetapi juga yang sakit. Sementara per 17 Juli di KAS, BKSY sudah ada di enam paroki dari 98 paroki dengan 24.249 peserta.

Melayani dengan rendah hati, bagi Kardinal Suharyo menjadi sumber moral dan spiritual yang ditimba dari Santo Paulus, tokoh favoritnya. Moto “melayani dengan segala kerendahan hati” pernah disampaikan dalam sharing pribadi, 15 September 2009. “Saya yakin kerendahan hati adalah keutamaan dasar,” katanya.

Dengan semboyan itu ia ingin mengemban tugas tanggung jawab sejarah. Rendah hati sepadan dengan humble yang diturunkan dari kata humus. “Humus itu lapisan tanah yang sangat subur. Dalam kerendahan hati segala macam keutamaan tumbuh, termasuk pelayanan. Melayani Tuhan tidak macam-macam. Melayani sesama lebih sulit karena keinginannya bisa macam.”

 Menjadi Saudara bagi Sesama

Surat Gembala pertama sebagai Uskup KAS disampaikan pada saat pentahbisannya, 26 Januari 1997, untuk menyongsong Yubelium Agung Tahun 2000. Dalam kondisi bangsa dan negara sedang mengalami krisis ekonomi, politik dan sosial waktu itu, Mgr. Suharyo mengajak umat bersama masyarakat menjadi sesama saudara. Selama masa kegembalaan di KAS, Kardinal Suharyo menawarkan refleksi dan pengembangan Gereja sebagai peristiwa, istilah yang pertama kali disebut dalam Surat Gembala ketiga 21 Juni 1998.

Dalam Surat Gembala Prapaskah 21/22 Februari 1998, di samping mengajak umat berbela rasa dan bermurah hati, Kardinal Suharyo mengajak umat menanggapi ajakan Presidium Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) untuk berdoa bagi seluruh bangsa Indonesia agar diberi kekuatan iman dan pengharapan yang tegar bahwa krisis akan lewat.

Menempatkan gagasan Gereja sebagai peristiwa akan mempermudah mencerna gagasan-gagasan Kardinal Suharyo (Y. Gunawan Pr: 2013) dan menjadi bingkai program penggembalaan di KAS (Fl. Hasto Rosariyanto SJ: 2009). Gereja  menangkap peristiwa kehidupan sebagai peristiwa berahmat untuk menanggapi kehendak Tuhan. Keterbukaan pada tanda-tanda zaman dimaknai sebagai kesanggupan menanggapi iman di tengah pergulatan warga dan bangsa. Satu bentuk konkret cita-cita yang ingin dirayakan adalah perziarahan iman menuju hidup yang berpengharapan dan bukan sekadar optimistis.

Saat Romo Ignatius Suharyo (tengah) bersiap menuju altar untuk ditahbiskan menjadi Uskup Agung Semarang, 22 Agustus 1997 di Semarang, Jawa Tengah Foto: (Dok. Windiyatmoko MSF)
Ignatius Kardinal Suharyo (kanan) berbincang-bincang dengan Imam Besar Masjid Istiglal Jakarta, Nasaruddin Umar.
(Foto: Dok HIDUP)

Senyampang sebagai Uskup KAJ, pada 12 November 2010 Kardinal Suharyo diangkat merangkap Administrator Apostolik Keuskupan Bandung sampai tahun 2014 dengan kepindahan Mgr. Johanes Pujasumarta menjadi Uskup KAS. Pada 1 September 2019 diangkat sebagai kardinal bersama 12 kardinal baru lain dari berbagai belahan dunia, satu dari tiga kardinal baru yang berusia di bawah 70 tahun, lainnya di atas 80 tahun.

Menyambut 60 tahun Hirarki Gereja Indonesia dan 75 tahun majalah HIDUP, awal tahun 2021, sebagai uskup dan Ketua Presidium KWI sejak 2012, Kardinal Suharyo memberikan penegasan dan pengkayaan karya kegembalaan dan kepemimpinannya sesuai perkembangan zaman.

Bahwa pertumbuhan Gereja Indonesia sekarang lebih sesuai sebagai Gereja Gaudium et Spes daripada Gereja Lumen Gentium. Bukan pandangan teologis yang diutamakan tetapi Gereja yang terlibat dalam kegembiraan dan harapan, keprihatinan dan kecemasan murid Kristus. Dalam Ardas KAJ, identitas Gereja sebagai Persekutuan (Lumen Gentium) dan Gerakan (Gaudium et Spes) terus bertumbuh dalam kedua aspek: bukan Gereja yang eksklusif tetapi Gereja yang diutus (HIDUP, 3/1/2021).

Duapuluh lima tahun penggembalaan di KAS (1997-2009) dan KAJ (2009—) adalah pertumbuhan Gereja yang diutus sesuai jiwa semangat Konsili Vatikan II (Gereja sebagai bagian dari masyarakat),  bukan Konsili Vatikan I (Gereja sebagai entitas institusi kekuasaan seperti negara). Disemangati 100% Katolik dan 100% Indonesia, warisan klasik-magis Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ, Kardinal Suharyo membumikan Pancasila tidak hanya menjadi dasar negara tetapi pedoman utama menyatukan dan memajukan bangsa Indonesia. Komitmen itu diwujudkan dalam Ardas KAJ 2015-2020. Selama lima tahun umat diajak memperdalam dan mewujudkan sila dari lima sila Pancasila setiap tahun, yang antara lain diwujudkan dengan Rosario Merah Putih. Cinta tanah air, makna terdalam dari lima sila Pancasila.

Diselingi tahun 20211 sebagai Tahun Refleksi, dalam Ardas KAJ 2022-2026 komitmen pertumbuhan  Gereja yang diutus ditegaskan kembali. KAJ sebagai persekutuan dan Gerakan Umat Allah yang berlandaskan Spiritualitas Ekaristis berjuang untuk semakin mengasihi, semakin peduli dan semakin bersaksi demi cinta tanah air dengan melaksanakan nilai-nilai Ajaran Sosial Gereja dalam setiap sendi kehidupan sehari-hari.

Identitasnya sebagai pribadi yang rendah hati, murah hati dan mendalam, tercermin dalam program kegembalaan dan kepemimpinan sebagai uskup, juga dalam menyikapi berbagai tugas lain di antaranya Uskup Militer (TNI/Polri) sejak 2006, Ketua Presidium KWI, dan guru besar Ilmu Teologi di Fakultas Teologi Universitas Santa Dharma USD). Uskup itu menurut Kardinal Suharyo bukan jabatan kekuasaan, tetapi perutusan yang siap dipecah-pecah dan dibagikan. Uskup itu arti kata aslinya, peniliki. “Tukang niliki, padahal saya dulu ketika memilih panggilan sebagai imam projo ingin berkarya secara langsung melayani umat. Karena kaul ketaatan waktu tahbisan, saya ikut perutusan yang diberikan uskup. Jadi uskup bukan pilihan saya, tetapi perutusan pelayanan dan rahmat Tuhan,” tegas Kardinal Suharyo di Wisma Keuskupan, 12 Agustus 2022 yang lalu.

Dihadapkan pada bentuk baru kemiskinan kota besar seperti Jakarta, murid-murid Krisus mesti juga semakin kreatif mengembangkan kreativitas dalam bentuk-bentuk pelayanan kasih. Pelayanan kasih menuntut pengosongan diri yang memberinya ciri ekaristis. Kasih dalam tindakan (mungkin Gereja harus menjadi miskin), memastikan bahwa kata-kata mengenai kasih itu sungguh-sungguh benar.

Kardinal Suharyo mengingatkan Ensiklik Deus Caritas Est dari Paus Benediktus XVI penutup Tahun Yubileum Agung 2000. Kata Santo Agustinus, “Kalau Anda melihat kasih, Allah melihat Tritunggal Mahakudus”.

Peranan keluarga

Keluarga memang berperanan dalam pembentukan dan pengembangan. Masing-masing keluarga dan latar belakang sosial budaya berbeda-beda. Ada keluarga yang menempatkan anak sebagai titipan Tuhan, anak itu modal keluarga, misalnya. Kebiasaan-kebiasaan keluarga menentukan masa depan anak. Kebiasaan doa malam bersama seluruh anggota keluarga, termasuk bersama-sama ke gereja bersama seperti dialami masa kecil Kardinal Suharyo dan biasa berbagi bersama tetangga, membentuknya sebagai pribadi pendoa, rendah hati, suka berbagi, dan murah hati.

Dalam doa malam rutin itu, seingat Kardinal Suharyo, selalu diselipkan doa mohon panggilan hidup sebagai rohaniwan. Memang, dari 10 saudara kandung Kardinal Suharyo, tiga lainnya masuk biara selain Kardinal Suharyo sebagai rohaniwan.

Lahir di Desa Sedayu, Bantul 9 Juli 1950 dari keluarga kebanyakan, sebab ayahnya Florentinus Amir Hardjodisastro seorang mantri pertanian dan Theodora Murni Hardjodisastro, sementara penduduk sekitarnya petani. Menempuh SD Pangudi Luhur Sedayu pindah ke SD Tarakanita Yogyakarta, SMP dan SMA Seminari Mertoyudan, Seminari Tinggi Kentungan, Kardinal Suharyo ditahbiskan sebagai imam  KAS bersama Romo J. Bardiyanto Pr (alm), 26 Januari 1976.

Dari 10 bersaudara, Kardinal nomor tujuh. Selain Ignatius Kardinal Suharyo sebagai rohaniwan, tiga saudaranya masuk biara: Suitbertus Arie Sunardi, OCSO (alm), Sr. Christina Sri Murni, FMM yang saat ini berkarya di Yayasan Pendidikan Regina Pacis Bogor dan bungsu Sr. Maria Magdalena Marganingsih, PMY yang bertugas di Timor Leste dan yayasan yang menangani anak-anak tunarungu di Wonosobo.

Partisipatif-Transformatif

Tugas perutusan pertama Kardinal Suharyo dimulai satu tahun sebagai pastor rekan di Paroki Bintaran, sebelum ditugaskan  belajar mengambil teologi biblis di Universitas Urbaniana, Roma. Lulus doktor tahun 1981, disusul tugas rutin sebagai dosen di Fakultas Teologi Wedabhakti USD, guru besar teologi biblis di Fakultas Teologi USD 2004, dan pada 22 Agustus 1997 ditahbiskan sebagai Uskup Agung Semarang.

Terbentang karya kegembalaan Ignatius Kardinal Suharto dengan segala tambahan tugas perutusan yang lain. Mengenai kepindahan dari Semarang ke Jakarta, Kardinal Suharyo mengungkapkan dalam Epilog salah satu buku biografinya, tahun 2017, Terima Kasih, Baik, Lanjutkan! Menghadapi realitas metropolitan yang sekuler, dipikirkan strategi evangelisasi atau misi yang terdiri dari lima bidang, yaitu evangelisasi, pelayanan kasih, restrukturisasi paroki, katekese dan liturgi.

Kardinal Suharyo tampak berbincang-bicang dengan Pastor Markus Solo Kewuta, SVD (imam asal Indonesia yang saat ini duduk sebagai anggota Dewan Kepausan untuk Dialog Antar Umat Beragama) dalam ramah-tamah usai acara serah terima Gereja Kanonik untuk Kardinal di Roma, hari Minggu, 28/8/2022. (Foto: Dok. Markus Solo)

Mengenai sifat kepemimpinan Kardinal Suharyo, ada yang mengalisis sebagai gembala yang fortiter sed  suaviter (keras tetapi lembut). Kepemimpinannya menyertakan (partisipatif), mengembangkan (transformatif), dan memberdayakan (empowerment). Tiga kata yang dirumuskan Anthony D’Souza dengan istilah ennoble, ennable, dan empower (Di KAS, kata “duduk bersama” menjadi kata kunci menyelesaikan berbagai persoalan (Y. Gunawan Pr).

Bagaimana model kepemimpinan menurut Kardinal Suharyo? Panggilan hidupnya sebagai uskup adalah rahmat Tuhan, Kardinal Suharyo mengembangkan semangat partisipatif. “Dengan partisipatif,” demikian Kardinal Suharyo, “saya menyadari diri bukan orang cerdas, dengan demikian dalam kepemimpinan selain saya memimpin juga dipimpin”.

Dari semangat partisipatif  itulah terbangun berbagai transformasi. Sehingga konsep kepemimpinan bagi Kardinal Suharyo adalah kepemimpinan partisipatif-transformatif. Di Semarang, semasa kegembalaan Uskup Agung Suharyo, populer istilah “duduk bersama” menjadi kata kunci mengatasi berbagai persoalan.

St. Sularto, Kontributor  (Jakarta)

HIDUP, Edisi No. 34, Tahun ke-76, Minggu, 21 Agustus 2022

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here