“Possesio Canonica” Kardinal Suharyo: Peristiwa Iman Ini Menegaskan Ikatan yang Kuat Kardinal dengan Uskup Roma

297
Ignatius Kardinal Suharyo menghormati salib di awal upacara Possesio Canonica.
5/5 - (4 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – SETELAH ditunjuk menjadi Kardinal oleh Paus Fransiskus pada 1 September 2019 dan dikukuhkan pada 5 Oktober 2019, kepada Ignatius Kardinal Suharyo Hardjoatmodjo diberikan satu gereja “tituler” (kehormatan) di Roma, yaitu Spirito Santo alla Ferratella. Namun, pandemi Covid-19 menyebabkan proses penyerahan gereja tituler melalui upacara “possesio canonica” ini tertunda dan baru dapat dilaksanakan pada tanggal 28 Agustus 2022.

Acara diawali dengan penyambutan Kardinal Suharyo oleh Pastor Paroki, Mario Pangallo, yang memberinya salib untuk dicium dan dihormati. Selanjutnya, Kardinal memimpin Misa dalam bahasa Italia, didampingi oleh Diakon Marcellinus Vitus, calon imam Keuskupan Agung Jakarta yang sedang belajar di Roma dan Mgr. Massimiliano Boiardi, ceremoniarius Vatikan, yang membacakan bulla “pengukuhan sebagai Kardinal dan penyerahan gereja tituler” serta mengarahkan upacara tersebut. Hadir pula Mgr. Piero Pioppo, Nunsius Apostolik untuk Indonesia, pastor paroki dan sekitar lima belas imam Indonesia.

Ignatius Kardinal Suharyo (tengah) didampingi oleh Diakon Marcelinus Vitus (kiri) dan Mgr. Massimiliano Boiardi.

Dalam kotbahnya, Kardinal Suharyo memperkenalkan Indonesia secara singkat kepada umat Italia yang hadir. Sebagai negara yang kaya akan warisan budaya dengan berbagai  macam kemajemukannya, umat Katolik di Indonesia sudah terbiasa hidup berdampingan dengan saudara-saudari dari latar belakang yang berbeda baik itu suku, agama, adat istiadat dan hal lainya. Di tengah keberagaman itu umat katolik di Indonesia dipanggil untuk terus mengusahakan dialog kehidupan demi terciptanya kesejahteraan dan kebaikan bagi semua.

“Iman harus berbuah dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat, khususnya menumbuhkan kepedulian kepada mereka yang tersingkir, yang dalam Injil hari ini digambarkan dalam diri orang-orang miskin, cacat, lumpuh dan buta,” ujarnya.

Upacara ini dihadiri juga oleh Lina Yanti, Kuasa Usaha ad interim KBRI untuk Takhta Suci serta beberapa perwakilan dari kelompok IRRIKA, REHAT dan Komunitas San Egidio.

Pembacaan dan penunjukan Bulla kepada umat oleh Mgr. Massimiliano.

Usai Misa, Kardinal menjumpai perwakilan dewan paroki setempat dan umat yang hadir di pelataran gereja. Kemudian menuju aula KBRI Vatikan untuk melangsungan acara ramah tamah dengan beberapa pastor dan suster yang sedang berada di Roma.

“Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran acara ini. Semoga melalui upacara sederhana ini kita terus mengingat semangat 100 persen katolik dan 100 persen Indonesia. Sebagai umat yang dilandasi iman Katolik kita mempunyai tanggung jawab untuk merawat dan mengembangkan semangat cinta tanah air dan watak peduli pada sesama dalam tugas perutusan kita masing-masing,” kata Kardinal.

“Possesio canonica”

Possesio canonica, dalam hal ini, adalah penerimaan secara resmi gereja tituler yang diberikan oleh Paus. Pemberian gereja tituler ini merupakan simbol paling jelas dari ikatan historis dewan para Kardinal dengan Gereja Roma. Dengan demikian, melalui upacara possesio canonica, Kardinal Suharyo ingin menegaskan ikatan yang kuat dengan Uskup Roma, yakni Paus sendiri.

Kanon 350 Kitab Hukum Kanonik (KHK) 1983 membedakan tiga tingkatan Kardinal, yaitu Kardinal-Uskup (episkopal), Kardinal-Imam (presbiteral), dan Kardinal-Diakon (diakonal). Jumlah Kardinal tingkat presbiteral biasanya paling besar dalam dewan para Kardinal. Jika para Kardinal-Imam, tingkatan yang disandang oleh Kardinal Suharyo, diberikan satu gereja tituler di sekitar Roma, maka Kardinal-Uskup diberi gereja tituler “Suburbikaris” (yang ada di pinggiran dan mengelilingi Kota Roma).

Dengan pemberian gereja ini, para Kardinal tidak mempunyai otoritas pastoral-yuridis atasnya dan dengan alasan apapun tidak boleh campur-tangan dalam hal-hal yang menyangkut pengurusan harta-benda, disiplin atau pelayanan, namun ikut dalam memajukan kesejahteraan keuskupan-keuskupan dan Gereja-gereja itu dengan nasihat serta perlindungannya.

Jadi, pada tingkat praktis, para Kardinal tidak berpartisipasi dalam kegiatan paroki sehari-hari. Mereka juga tidak memiliki wewenang untuk menunjuk pastor paroki, menunjuk dewan paroki atau membuat keputusan penting untuk paroki. Pastor paroki tetap figur yang memiliki otoritas dan tanggung jawab sehari-hari di paroki tersebut. Gereja tituler ini lebih seperti rumah kedua bagi para Kardinal, yang selalu dipersilakan untuk merayakan Misa dan untuk kebutuhan-kebutuhan spiritual lainnya.

Sementara itu, kepada para Kardinal-Diakon diberikan “diakonia” (pelayanan) di Roma oleh Paus, misalnya jabatan di kuria Roma atau prefek dikasteri. Dalam konsistori dan dengan persetujuan Paus, diakonia mereka dapat berubah dan setelah genap sepuluh tahun sebagai Kardinal-Diakon mereka dapat menjadi Kardinal-Imam.

Penandatanganan berkas Possesio Canonica oleh Ignatius Kardinal Suharyo.

Gereja Spirito Santo alla Ferratella terletak di Viale Cesare Pavese Roma ini didirikan pada 1 Desember 1981 dan kini dilayani oleh para imam Rosminiani.  Sejak 28 Juni 1988, gereja ini menjadi salah satu gereja yang dipilih sebagai gereja tituler bagi para Kardinal-Imam. Kardinal Suharyo merupakan Kardinal ketiga yang mendapat gereja tituler ini setelah Kardinal Vincentas Sladkevičius, MIC dan Kardinal Ivan Dias. Kardinal yang disebutkan terakhir ini pernah menjadi sekretaris nunsius apostolik di Indonesia dan prefek untuk Dikasteri Penginjilan Bangsa-bangsa.

Ignatius Kardinal Suharyo berfoto bersama Lina Yanti (kelima dari kanan) dan staf KBRI untuk Vatikan.

Konsistori Luar Biasa 2022

Sehari setelah possesio canonica, Kardinal Suharyo mengikuti konsistori luar biasa di Vatikan yang dimulai pada tanggal 29 sampai 30 Agustus 2002. Konsistori adalah sebuah perjumpaan sekaligus urun rembuk para Kardinal Gereja Katolik. Hanya Paus yang dapat memanggil dan memimpin rapat “para pangeran Gereja ini” (sebuah gelar yang disematkan oleh Paus Urbanus VIII di tahun 1630 dalam kaitan dengan hak yang dimiliki mereka dalam pemilihan Paus). Terakhir kali, Paus Fransiskus memanggil para Kardinal ke konsistori luar biasa pada tanggal 12-13 Februari 2015.

KHK 1983  membedakan dua jenis konsistori, yaitu biasa dan luar biasa. Konsistori biasa terjadi ketika Paus membutuhkan nasihat para Kardinal, sekurang-kurangnya yang berada di Roma, tentang “perkara-perkara penting, tetapi yang lebih sering terjadi, atau untuk mengadakan beberapa kegiatan yang sangat meriah”, seperti persetujuan kanonisasi santo atau santa. Sementara itu, konsistori luar biasa diadakan “apabila ada kebutuhan-kebutuhan khusus Gereja atau perkara-perkara yang lebih penting yang harus ditangani” dan oleh karena “urgensi”-nya itu maka semua Kardinal diundang untuk berpartisipasi.

Wajah Baru

Paus mengumumkan 21 Kardinal baru pada 29 Mei 2022 setelah doa Regina Caeli. Mereka berasal dari Eropa (8 orang), Asia (6 orang), Afrika (2 orang), Amerika Utara (1 orang), dan Amerika Tengah dan Latin (4 orang). Di antara mereka ada 16 Kardinal yang berusia di bawah 80 tahun dan dengan demikian disebut “Kardinal pemilih” karena memenuhi syarat untuk memilih (dan sekaligus dipilih menjadi) Paus berikutnya.

Ada perubahan wajah dewan para Kardinal  di era Paus Fransiskus. Tahun 2015, ia mengangkat 15 Kardinal pemilih dan lima non-pemilih. Dalam beberapa konsistori selanjutnya, ia mengangkat 73 Kardinal, termasuk 48 pemilih. Dengan demikian, setelah konsistori Agustus tahun 2022, ada 229 Kardinal, di antaranya 132 akan menjadi pemilih dan 62% dari mereka diangkat oleh Paus Fransiskus.

Ada dua catatan menarik dari data di atas. Pertama, banyak wajah baru dalam dewan para Kardinal. Sayangnya, banyak dari antara mereka tidak memiliki kesempatan untuk berbicara dan mengenal satu sama lain. “Jika ada konklaf, bahkan saya tidak akan tahu siapa yang duduk di sebelah saya”, keluh seorang Kardinal yang diangkat pada masa kepausan sebelumnya (CNA, 6/6/2022). “Keterasingan” dan minimnya pengenalan pribadi di antara para Kardinal ini jelas kurang memberi keuntungan untuk saling menilai kepribadian dan menimbang visi kepausan berikutnya.

Kedua, Paus Fransiskus konsisten pada semangatnya untuk pergi menjangkau mereka yang berada di tempat yang tidak diperhatikan dan diperhitungkan (cf. Evangelii Gaudium, n. 20). Dalam pengangkatan para Kardinal baru ini, ia melewatkan Keuskupan Agung Milan, yang telah dipimpin oleh seorang Kardinal selama berabad-abad, demi Keuskupan Como yang jauh lebih kecil yang hanya berjarak 30 mil, dan ia juga melewati Keuskupan Agung Los Angeles, di antara yang terbesar dan paling kompleks di dunia, untuk Keuskupan San Diego yang jauh lebih kecil di dekatnya. Selain itu, ia juga mengangkat Kardinal dari Paraguay, Timor Leste, Singapura dan Mongolia untuk memperluas representasi global dewan para Kardinal.

 Praedicate Evangelium

Seperti Konsistori luar biasa tahun 2015, Konsistori tahun ini juga berlangsung setelah pembentukan atau pengukuhan para Kardinal baru. Kali ini para Kardinal mendedikasikan diri untuk berefleksi dan membahas dokumen Praedicate evangelium (19 Maret 2022) yang merupakan pengganti Konstitusi Apostolik Pastor Bonus yang dibuat oleh Paus Yohanes Paulus II pada 28 Juni 1988. Secara garis besar, dokumen ini berisi tentang re-organisasi Kuria Roma. Berikut ini hal-hal yang menarik untuk dicermati.

Melalui konstitusi yang baru ini, semua departemen utama Vatikan sekarang disebut dengan “dikasteri”, bukan lagi kongregasi atau dewan kepausan. Kongregasi Vatikan untuk Ajaran Iman, misalnya, sekarang akan disebut “Dikasteri untuk Ajaran Iman”. Istilah kongregasi, yang berasal dari zaman Sixtus V dan merupakan istilah klerikal, menyiratkan bahwa hanya Kardinal yang dapat menjadi ketua – dan ini tidak terjadi lagi – , sedangkan istilah dikasteri adalah istilah awam, yang menunjukkan bahwa pada prinsipnya setiap orang yang dibaptis, entah  klerus, religius dan awam dapat menduduki fungsi ini.

Perampingan jumlah dikasteri juga dilakukan “untuk menyatukan mereka yang tujuannya sangat mirip atau bisa saling melengkapi, dan merasionalisasikan fungsi mereka dengan tujuan menghindari tumpang tindih kompetensi dan membuat pekerjaan mereka lebih efektif”.  Konstitusi mengatakan: “Kuria Roma terdiri dari Sekretariat Negara, Dikasteri dan badan-badan lainnya yang secara yuridis setara satu sama lain”.

Dalam perubahan ini, menarik bahwa Dikasteri untuk Evangelisasi  menempati urutan pertama dalam dokumen dan ini menunjukkan sentralitasnya dalam struktur baru Kuria Roma. Misi Gereja menjadi prioritas. Dikasteri ini akan memiliki dua bagian, satu untuk “pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang evangelisasi di dunia” dan yang lain untuk “evangelisasi pertama dan Gereja-Gereja partikular baru di wilayah kompetensinya”. Setiap bagian akan diatur atas nama Paus oleh seorang yang disebut “pro-prefek”.

Selain itu, dokumen baru ini juga mengubah Kongregasi untuk Ajaran Iman yang diresmikan oleh Paus Fransiskus pada bulan Februari. Paus mengatur ulang struktur internal kantor ini menjadi dua bagian: bagian doktrin dan bagian disiplin.

Bagian pertama bertanggung jawab untuk urusan doktrin yang bekerja dalam kontak dekat dengan para pemimpin Gereja di seluruh dunia,  “dalam menjalankan misi mereka sebagai guru dan pengajar iman yang otentik”. Bagian ini juga bertugas “memeriksa tulisan-tulisan dan opini-opini yang tampak bertentangan atau berbahaya bagi iman dan moral”. Bertugas juga untuk “memastikan bahwa ada tanggapan yang memadai atas kesalahan dan doktrin berbahaya yang tersebar di antara umat kristiani”.

Bagian disiplin akan menangani tindak kejahatan yang direservasi untuk dikasteri dan akan menyatakan atau menjatuhkan sanksi menurut norma kanonik. Bagian ini juga akan mempromosikan program-program pelatihan kepada para Ordinaris dan profesional hukum untuk mengembangkan pemahaman dan penerapan yang tepat dari norma-norma kanonik.

Lebih lanjut lagi, Komisi Kepausan untuk Perlindungan Anak di Bawah Umur masuk dalam Dikasteri untuk Ajaran Iman. Tugasnya adalah “memberikan saran dan nasihat kepada Paus dan mengusulkan langkah-langkah yang paling tepat untuk perlindungan anak di bawah umur dan orang-orang yang rentan”.

Ini pertama kalinya Paus Fransiskus menjadikan pengamanan dan perlindungan anak di bawah umur sebagai bagian mendasar dari struktur Kuria Roma. Dalam mempertahankan statusnya sebagai badan terpisah dalam Dikasteri yang dapat memperoleh akses langsung kepada Paus dan dengan kepemimpinan dan stafnya sendiri, Komisi Kepausan yang diperbarui dan ditegaskan kembali ini akan memainkan peran yang semakin tajam dalam memastikan Gereja adalah tempat yang aman bagi anak-anak dan orang-orang yang rentan.

Akhirnya, dengan pembaruan Kuria Roma ini, Gereja ingin sekali lagi mengedepankan sifat misionernya  dan sinodalitasnya. Kita berharap agar hasil dari pertemuan ini dapat memberikan buah yang bermanfaat bagi setiap Gereja lokal.

Romo Stefanus Tommy, imam KAJ dan mahasiswa Universitas Pontifikal Urbaniana, Roma

HIDUP, Edisi No. 38, Tahun ke-76, Minggu, 18 September 2022

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here