Ketua Komkat KWI/Uskup Tanjung Selor, Mgr. Yan Olla, MSF: Tantangan Katekese, Kini!

192
Mgr. Paulinus Yan Olla MSF, Uskup Tanjung Selor
Mgr. Paulinus Yan Olla, MSF
5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – KETUA Komisi Kateketik Konferensi Waligereja Indonesia (Komkat KWI), Mgr. Paulinus Yan Olla, MSF mengikuti jalannya Pertemuan Kateketik Antar-Keuskupan Se-Indonesia (PKKI) XII di Muntilan, Jawa Tengah, 9-14/9/2022. HIDUP berbincang-bincang dengan Uskup Tanjung Selor ini. Petikannya:

Apakah rekomendasi menjawab rencana dan harapan yang ditetapkan Komkat KWI?

Kerangka-kerangka yang disusun sebagai hasil akhir sudah memberi pendasaran yang cukup kuat. Misalnya, moderasi beragama. Ini bukan sesuatu yang diminta pemerintah lalu Gereja Katolik bereaksi. Tapi, ditunjukkan dasar-dasar teologis Magisterium Gereja Katolik, sejak Konsili Vatikan II, bahkan sebelumnya.  Hal ini sudah begitu lama, ide dan praktik tentang keberagaman dan kemudian penerimaan terhadap agama-agama lain dalam bentuk dialog atau yang kemudian lahir dalam pendekatan berupa perjumpaan, bukan hanya agama-agama yang percaya pada Tuhan tapi juga kepercayaan lain sejak Konsili Vatikan II dan berkembang dalam Gereja Katolik. Kita diingatkan oleh peserta bahwa kitalah pelopor moderasi beragama di Indonesia sejak lama.

Kalau sekarang pemerintah bicara tentang moderasi beragama, bagi kami hal itu merupakan pendalaman dan penyadaran. Apakah kita sudah melakukan dengan baik dan bagaimana kita bisa melanjutkannya dengan terlibat di dalamnya. Ada kesadaran lain, bukan hanya telah memeloporinya, tapi juga harus memberi perhatian atas hal ini dalam dialog: identitas diri sebagai orang Katolik jangan sampai hilang,

Jadi kriteria sebagai orang Katolik harus kuat, begitu juga dimensi sosial ekonominya. Karena itu, dalam berkatekese Gereja mau membentuk orang Katolik yang tangguh, solider, tanpa kehilangan identitasnya. Sementara untuk katekese di era digital, tetap menggunakan sistem yang sama, tetap ada peletakan dasar-dasar biblis dan ajaran Gereja.

Apa kebaruan yang ditemukan dalam pertemuan ini dan apa bedanya dengan sebelumnya?

Adanya situasi pandemi yang memaksa kami merefleksikan kembali peran media, karena ada tantangan yang perlu jawaban. Bagaimana jawaban Magisterium terhadap penggunaan sarana dan media digital khususnya dalam Ekaristi dan penerimaan sakramen. Apakah media digital bisa didamaikan sesuai dengan konsep-konsep Gereja? Praktik itu menguntungkan di saat darurat. Ada beberapa keprihatinan, bagaimana memberi penjelasan yang meyakinkan kepada umat, bahwa hadir offline dalam Ekaristi itulah yang sampai saat ini merupakan ajaran resmi Gereja yang tidak tergantikan. Sementara banyak umat menyangka bahwa sakramentalitas dan Ekaristi serta yang lainnya, dianggap cukup dengan cara digital. Nah, penjelasan teologis di balik itulah yang menjadi tantangan sehingga tidak merasa bahwa seolah-olah Gereja anti teknologi.

Dalam periode waktu 4-5 tahun kita akan berhadapan dengan tahun politik dan dalam forum ini sempat disampaikan tentang katekese kebangsaan. Apakah ada kaitan antara katekese kebangsaan dengan moderasi beragama yang ditemukan bahan dalam forum ini?

Katekese kebangsaan, suatu konsep yang ingin melibatkan orang Katolik dalam problem-problem yang dihadapi bangsa. Pertemuan fokus pada moderasi beragama. Dengan moderasi beragama, menghadapi 2024, pemahaman yang tepat tentang tempat agama dalam iman, bisa menghindarkan orang untuk tidak dimainkan oleh orang-orang politik. Jadi menjawab secara tidak langsung. Kami tidak bicara langsung pemilu tapi perlu seperti kemarin, ada sosialisasi Ajaran Sosial Gereja sehingga umat tidak takut terlibat dalam bidang politik tapi juga tidak terjebak untuk membawa agama dalam kepentingan itu apalagi diadu domba oleh kepentingan politik orang tertentu.

Jadi, memang materi dalam katekese kebangsaan itu bagian dari moderasi beragama. Tapi, kami harus sempitkan atau vocalisasikan dalam moderasi beragama. Ada hal besar dalam moderasi beragama. Untuk bisa bermoderasi, orang harus memahami identitas sendiri. Jadi perlu ditekankan kita harus memperkuat iman ke dalam. Kalau dia memahami dirinya, lalu berhadapan dengan situasi sosial politik, dia bisa mengambil sikap untuk memilih jalan yang mempersatukan dan ini yang ekstrem atau tidak tepat dan tidak perlu diikuti. (Ve)

HIDUP, Edisi No. 41, Tahun ke-76, Minggu, 9 Oktober 2022

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here