Gerakan Kebhinnekaan: Kita Bergerak, Dapat Berkah

430
KH Muqorobbin Al Azis (berdiri) didampingi Pendeta Willam (berbaju hitam), Romo Johanes Wartaja SJ, Romo Fransiskus Widoyoko SJ, Kiai Syarif, Pendeta William Alexander, dan Romo Romo Hadi.
5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – “SAYA yakin!” cetus Kiai Muqorobbin Al Azis, pada acara Maulid Kebangsaan di Pondok Pesantren Al Azis yang dipimpinnya, Rabu, 10/11/2022 lalu. “Kita terus bergerak di Kota Bekasi ini, insya Allah, kita dapat berkah!”

Acara yang digagas Romo Johanes Wartaja, SJ selaku Kepala Paroki Kampung Sawah, pada saat menengok Kiai Muqorobbin yang tengah sakit tersebut berlangsung megah dan patut disyukuri. Eros Djarot, dan Ulil Abshar Abdalla hadir pada acara yang terselenggara di ponpes yang terletak di sebuah gang sempit tersebut.

Mewah Sejak Awal

Penulis hadir bersama seorang warga lingkungan. Naik motor tentunya, karena letak Ponpes Al Azis ada di gang yang cukup dilewati 2 motor berpapasan mepet. Sesampai di pintu ponpes, kami bertemu dengan 2 sahabat dari Paroki Kranggan. Seorang santri mempersilakan kami langsung…makan. Itulah acara pertama. Seorang ibu membungkuk hormat sambil memberikan piring, ternyata dia adalah tetangga Kiai, ibunda petugas keamanan Gereja Servatius, Paroki Kampung Sawah. “Berkah Dalem, Pak! Monggo … supnya aman… sapi bukan kambing!” ujarna sambil mengetuk-ngetuk panci besar berisi sup.

Berkah Dalem, Bu! Wih mantab!”

Sebuah “kemewahan” dalam kesederhanaan.

Sholawat

Tamu mulai berdatangan, para santri, umat Katolik, Protestan langsung memasuki ruang ibadah di pesantren. Pelukan hangat dengan para kiai, ustadz berlangsung penuh kehangatan. Penulis segera menemui Kiai Robbin,”Yai, mohon maaf, ‘kontingen’ Katolik paling banyak je!”

“Aman. Saya malah seneng. Persaudaraan makin melebar!”

Rupanya istilah “aman” kini sudah menggantikan ujaran “Siap” atau “Baik!”

KH Iwan Al Ashor tengah membacakan doa didampingi Ulil Abshar Abdalla, Eros Djarot, dan umat Paroki Kampung Sawah.

Gus Memed Selebritis Langit, begitu ia menyebut diri, memandu acara Maulid. Doa pun dilantunkan oleh KH Iwan Al Ashor, yang berambut panjang sepinggang. Kami yang sudah bersila bersama para kiai, habib,pendeta, dan romo, ikut bertekun mendengarkan lantunan doa. Acara pun berlanjut dengan sholawat untuk Nabi Muhammad. Ini semacam litani, puji-pujian agung. Tepukan ritmis rebana dari Kelompok Hadroh Mbah Priok terdengar bertalu dan menghentak hati, mengiringi lantunan sholawat hadirin. Gerakan berdiri, mengangkat tangan, menggoyangkan tubuh menyertai sholawat. Suasana terasa megah.

Dialog Kebangsaan

Penulis memandu dialog kebangsaan ini dengan memberi batasan agar momentum Hari Pahlawan, dimaknai bersama untuk menjadi dasar gerakan persaudaraan lintas agama yang sudah berjalan cukup lama di Kota Bekasi. Gerakan itu bernama Ngopi Bareng Proposh, kepanjangan dari Ngolah Pikir Bareng Pro Sholawat. Ini gerakan yang sudah berlangsung sejak tahun 2018, yang berniat menyapu 12 Kecamatan di Kota Bekasi dari unsur-unsur intoleransi, dan pikiran radikal. Gerakan ini sudah mendatangi 3 kecamatan di Kota Bekasi. Harapan para anggota gerakan yang terdiri dari puluhan kiai, ustadz, pendeta, banser, dan beberapa organisasi kebhinnekaan Kota Bekasi tersebut mengharapkan usulan nyata dari para peserta dialog.

“Kita harus segera melakukan regenerasi,”tegas Pendeta William Alexander, pendeta muda dari Gereja Kristen Pasundan Kampung Sawah. “Kita sudah melakukan upaya-upaya melestarikan kerukunan di Kampung Sawah dan sekitarnya, tapi kita akan menua, dan berlalu! Bangsa ini perlu anak muda,” tambahnya.

“Hari Pahlawan kita jadikan momentum untuk menebarkan kasih sayang. Kita syukuri acara ini,”imbuh Kiai Iwan.

“Saya lahir sebagai bangsa Indonesia!” ungkap Romo Wartaja, “Sebagai bangsa Indonesia, yang beragama Katolik, pertama yang saya pikir adalah peduli. Kita harus memiliki kepedulian terhadap orang lain, masyarakat. Selain itu tentunya, rasa cinta tanah air. Itu yang mesti kita wartakan lewat perbuatan!”

Pendeta Angly bergabung dengan Cak Iwenk dan para santri memilih mewartakan cinta tanah air dengan bernyanyi. Lagunya, Satu Cinta Indonesia , karya Cak Iwenk, mengalun, enak di hati. “Yang bawa handphone, flashnya tolong dinyalakan, lalu boleh dialunkan ke kiri dan ke kanan untuk mengiringi lagu ini,” ajak Pendeta Angly. Lagu pun mengalun diiringi cahaya handphone. Selain gitar, pukulan rebana kelompok hadroh ikut menyemangati. Lalu simaklah syair refrain lagu Pancasila Jaya Sakti.

“NKRI hari mati. Pancasila …jaya sakti. Bhinneka Tunggal Ika itu kami.” dinyanyikan oleh paduan suara gabungan dadakan yang langsung menggerakkan hadirin untuk ikut bernyanyi sambil mengepalkan tangan. Santri Al Azis memang terdidik dengan baik, mereka selalu diajak untuk mengalami perjumpaan dengan pelbagai kelompok, dan mengalami dialog-dialog kebangsaan yang kerap berlangsung di ponpes Al Azis.

Nada keras disampaikan oleh Habib Zen Asegaff. “Manusia itu dilihat dari perilakunya terhadap sesama, bukan dari  keturunan!” tegas habib yang kerap dipanggil Habib Kribo, karena rambutnya memang bergaya kribo, saat menjelaskan makna panggilan ‘habib’. Habib Zen mencoba meluruskan pandangan keliru masyarakat yang banyak condong memuliakan orang berdasarkan keturunan, bukan sisi-sisi kemanusiaan yang mempersatukan.

Eros Djarot, yang hadir tepat waktu bersama Gus Ulil melontarkan kebahagiaannya berada di ruangan itu. “Malam ini saya dapat undangan dari pejabat, tapi kok saya milih ke sini ya!” guraunya.

Pencipta puluhan lagu era 80-an tersebut memberi tekanan,”Lanjutkan gerakan persaudaraan seperti ini. Jangan tanya ke pusat, kalau moderator tadi bilang saya orang pusat. Gerakan persaudaraan sejati lebih terasa nyata kalau dilakukan di daerah, di kota seperti ini. Ajak walikotanya ikut!” ujarnya.

Duduk bersila dalam suasana penuh kehangatan dan cinta tanah air.

Kreativitas banyak terjadi di acara tersebut. Salah satunya adalah saat Kiai Shalahuddin Al-Jabar, yang saat diminta berbicara, langsung bernyanyi. Lagunya bergenre rock, yang diakhiri dengan lirik,”Cinta…kita muliakan cinta,  asal jangan berlebihan!” Kiai Shalahuddin Al-Jabar memang mantan rocker. “Kita bersaudara, saudaraku….saudara sebangsa!”

“Perbanyaklah sholawat!” ajak Gus Ulil. “Orang yang rajin sholawat kepada Kanjeng Nabi, setahu saya, adalah orang yang toleran. Penuh kasih sayang. Karena sholawat itu adalah persembahan kita untuk Kanjeng Nabi yang kita cintai.” “Janganlah meneriakkan takbir dengan cara yang salah. Takbir itu maknanya adalah kita merendahkan diri, dan memuliakan Allah, bukan sebaliknya!”

Acara selesai lewat pukul 12 malam. Obrolan tambahan di kelompok-kelompok kecil berlangsung setelahnya. Kami pulang dengan hati gembira. Tangki cinta kami penuh. Di jalan, kami sepakat untuk segera “membangunkan Orang Muda Katolik” untuk selaku mengikuti acara-acara kebangsaan seperti itu.

Aloisius Eko, pegiat kebhinnekaan

HIDUP, Edisi No. 47, Tahun ke-76, Minggu, 20 November 2022

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here