Perayaan Hari Disabilitas Internasional ke-30 di Alam Sutera: Hendak Menghibur, Justru Terhibur

458
5/5 - (5 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – Di Plasa Gereja St. Laurensius, Alam Sutera, pagi kemarin berdiri sebuah panggung berukuran sekitar 3 m x 6 m. Di depannya tersedia kursi-kursi untuk penonton. Kiri dan kanan panggung, dibangun tenda-tenda kios. Sekitar pukul 10 setelah selesai Misa Minggu Gaudete, suasana plasa langsung berubah ramai. Para tamu undangan dan umat bergabung untuk menyaksikan pertunjukan seni dan meninjau bazar.

Untuk mengisi Minggu Gaudete yang adalah minggu sukacita, Paroki Alam Sutera mengundang beberapa komunitas penyandang disabilitas untuk merayakan bersama Hari Disabilitas Internasional.

Didampingi beberapa suster Sang Timur, hadir siswa-siswi tuna grahita dari SLB Sang Timur yang berseragam kuning hijau khas  sekolah Sang Timur. Juga ada banyak utusan dari beberapa komunitas Panti Asuhan Bhakti Luhur, seperti Citra Raya, Pamulang, Tangerang, Gunung Sindur.

Mereka berseragam kaos biru tua dengan moto Aku Bisa Karena Belajar tercetak di bagian belakang kaos. Anak-anak remaja ini didampingi oleh beberapa suster ALMA (Asosiasi Lembaga Misonaris Awam). Menurut salah seorang suster, banyak anak-anak Bhakti Luhur menyandang keterbatasan ganda.

Ada pula perwakilan remaja tuna rungu dari asrama Murni Luhur – paroki Bojong, yang diasuh oleh para suster dari KSSY (Kongregasi Suster St Yoseph).

Tak ketinggalan hadir sekitar 20 rekan muda dari ISDI (Ikatan Sindroma Down Indonesia), yang berseragam aneka warna merah, hijau, putih, dan hitam.

Hari Disabilitas Internasional ditetapkan PBB setiap tanggal 3 Desember. Namun tahun ini Paroki Alam Sutera merayakannya pada Minggu 11 Desember pada Misa pukul 08.30 bersamaan dengan jadual Misa bersama UBK, yang sudah rutin dilaksanakan setiap bulan. Maka pada momen kebersamaan yang indah ini, tugas lektor, pemazmur dibawakan dengan sangat baik oleh rekan UBK. Bahkan paduan suara Laetitia dari LDD KAJ (mereka tuna netra) dengan suara emasnya mengisi bangku koor.

Gereja dipenuhi warna-warna cerah. Ada kuning-hijau (siswa Sang Timur), hijau (para guru/pendamping dari Sang Timur), biru tua (Bhakti Luhur), putih (Murni Luhur). Ada suster Sang Timur dengan jubah coklat dan kerudung hitam. Ada suster ALMA dengan jubah dan kerudung biru tua. Juga ada suster KSSY dengan jubah dan kerudung serba putih. Tapi yang paling mencolok, kasula Romo Rudy Hartono yang berwarna jambon. Warna masker semua petugas liturgi pun seragam jambon. Warna penanda sukacita seusai makna Minggu Gaudete.

Saat momen sukacita ini, paroki Alam Sutera sesuai semangat St. Laurensius yang memperlakukan orang-orang miskin dan tersisih sebagai harta utama Gereja, sungguh berhasil memberi sukacita kepada para penyandang disabilitas yang hadir. Mereka diberi panggung untuk menunjukkan jati diri. Bergantian mereka tampil untuk bernyanyi, menari, dan bermain angklung.

Lagu-lagu yang dinyanyikan atau musik yang diputar untuk mengiringi tarian, semua bernada gembira. Ketika ada yang menari di panggung, beberapa dari mereka ikut menari bergoyang di bawah panggung. Tak ketinggalan umat yang menonton serta panitia asyik bergoyang melupakan sejenak segala beban hidup. Semua bersuka cita.

Romo Rudy yang memang senang bernyanyi, setelah menyampaikan kata sambutan, ikut menghibur dengan menyanyikan lagu ciptaannya sendiri. Lagunya berjudul Tong…Tong…Tong…  Nampak sekali ia sedang bersukacita, wajahnya selalu tersenyum.

Selain panggung, panitia yang mengusung tema “Semakin Mengasihi, Peduli, dan Bersaksi untuk Meningkatkan Martabat, Hak, dan Kesejahteraan Penyandang Disabilitas” juga menyediakan tenda-tenda kios.

Semua kios menjual produk hasil tangan para disabilitas. Ada kios Sang Timur, Bhakti Luhur, Laetitia, Rumah Belajar RBK, Anfield Wibowo, Dewijaya Care, Komunitas Tuli Alsut, dan lainnya.

Beraneka hasil karya mereka, ada cookies, hiasan pohon Natal, cemilan, tas-tas bahan kain, lukisan canvas, gambar tiga dimensi, Rosario, perhiasan, produk perawatan kulit, dan banyak lainnya. Umat cukup antusias membeli berbagai hasil karya mereka ini.

Dalam hidup keseharian, kita hampir tak menyadari keberadaan rekan-rekan disabilitas. Karena keterbatasan, mereka banyak yang dirawat dan diasuh di panti-panti. Atau kalaupun mereka dirawat di rumah, mereka jarang beraktifitas.  Acara kebersamaan ini membuka mata sekaligus menggugah kita untuk peduli. Mereka ada, bukan untuk disisihkan, tapi untuk dicintai. Paling tidak, mereka dapat diterima dengan tangan terbuka.

Fidensius Gunawan, Kontributor, Tangerang

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here