Paus Fransiskus, Pewaris Paus Yohanes XXIII

170
Paus Yohanes XXIII
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – Bagi Paus Fransiskus, Paus Yohanes XXIIIbukan sekadar pendahulu, namun pula teladan dan acuan dalam menjalankan tugas sebagai gembala di dalam Gereja, bahkan juga sebagai orang yang beriman di dalam Gereja.

SEMENTARA orang menggambarkan bahwa Paus Yohanes XXIII merupakan model bagi Paus Fransiskus. Memang beberapa kali Fransikus berbicara dan menyatakan pujian serta penghormatan penuh rasa kagum akan pendahulunya, Yohanes XXIII. Yohanes XXIII adalah seorang bapa, sekaligus gembala, demikian Paus Fransiskus menggambarkan. Dia seorang bapa, karena dia adalah gembala, dan dia adalah gembala karena dia adalah seorang bapa. Demikianlah Fransiskus menggambarkan para pemimpin di dalam Gereja, dalam dua ciri dasar sebagai bapa dan gembala, dan keduanya tidak terpisahkan.

Tidak mengherankanlah kalau ketika ditanya tentang prinsip kepemimpinan di dalam Gereja, Fransiskus mengutip prinsip pendahulunya itu, omnia videre, multa dissimulare, pauca corrigere. Prinsip ini  menyiratkan arti: melihat semua, abaikan banyak, memperbaiki sedikit.

Paus Fransiskus (kedua dari kiri) saat kunjungan apostolik ke Sudan Selatan.

Menurutnya, Yohanes XXIII memandang semuanya, dalam dimensi yang terluas dan terbesar, namun dia memilih untuk mengubah mulai dari yang kecil atau sedikit, dimensi yang minimal.  Kita dapat mempunyai proyek-proyek besar dan mewujudkannya dengan sarana-sarana yang sederhana dalam hal-hal yang terkecil. Atau, lanjutnya, kita dapat menggunakan sarana-sarana yang paling rapuh dan lemah, namun nyatanya lebih efektif daripada sarana-sarana yang lebih kuat dan besar.  Mengubah dari bawah dan pinggiran, demikian lalu menjadi prinsip penggembalaan Paus Fransiskus.

Paus Adalah Gembala

Yohanes XXIII adalah figur gembala yang baik (pastor bonus). Keinginannya adalah menjadi pastor yang berkarya di paroki. Demikian Paus Fransiskus menggambarkan dirinya sebagai Paus, seakan sebagai pastor  bagi umat seluruh dunia, yang  ternyata tidak hanya menggembalakan umat Katolik sendiri namun juga umat manusia semuanya.

Gambaran tentang gembala yang baik, yang mengenal dan mencari (Lih Yoh. 10:1-18; Luk. 15:1-7) menjadi acuannya. Mulai dari cara Fransiskus tampil, hadir dan bertindak, dikomentari banyak pihak sebagai menghadirkan kembali sosok Yohanes XXIII. Kita seakan kembali ke tahun 1960-an, demikian komentar mereka. Figur Paus kembali terasa menarik dan mengesankan, demikian kesan mereka.

Baik Yohanes XXIII maupun Fransiskus terpilih sebagai Paus dalam usia yang relatif sama, 77 bagi Roncalli dan 76 bagi Bergoglio. Tidak lama setelah terpilih sebagai Paus, 13 Maret 2013, diperingati 50 tahun wafatnya Yohanes XXIII, 3 Juni 2013.

Tentu orang bisa membayangkan akan masa kepausan keduanya yang tidak sangat lama, apalagi bila dibandingkan dengan masa kepausan Yohanes Paulus II. Namun betapapun demikian, keduanya memiliki ciri yang relatif mirip, kedekatan dan tangan terbukanya. Kini kita menyaksikan kejutan yang didapatkan Gereja lewat kedua Paus tersebut, Yohanes XXIII dan Fransiskus.

Dalam pembukaan Konsili Vatikan II, Yohanes XXIII berbicara tentang sentuhan tangan   bunda Gereja yang mengoleskan balsam belaskasihan. Fransiskus  menetapkan 2016 sebagai tahun kerahiman, yang juga merefleksikan belakasihan dari Allah, sehingga Gereja menjadi pelayan kemurahan hati Allah. Gereja Vatikan II adalah Gereja yang berwajah belaskasih, demikian ungkap Fransiskus. Gereja tidak bisa tidak, demikian diyakini Yohanes XXIII, hanya bisa menawarkan terutama kepenuhan cintakasih Kristiani sebagai hartanya. Gereja perlu lebih menghidupi belaskasih  dalam kehidupan sehari-hari Gereja, dalam struktur maupun pula doktrin serta normanya. Gereja diharapkan menjadi kaya dalam kemurahan hati (Lih. 2 Kor 8:2). Oleh karenanya, Gereja diharapkan semakin hidup dan bertumbuh dalam pelayanan kasih. Demikian refleksi Fransiskus akan wajah dan pelayanan Gereja dewasa ini.

Kebaikan hati, kasih, kemurahan hati, kelembutan dan perdamaian dikatakan adalah kata-kata yang mengungkapkan pesan Injil dan menyatukan kedua Paus tersebut.  Di tengah dunia kehidupan dan ditandai dengan perang, pertikaian dan kekerasan, Gereja perlu semakin mewartakan serta mewujudkan kemurahan hati, Gereja pelayan kasih. Hal tersebut sebenarnya juga mendapat tekanan baik dari Yohanes Paulus II, dalam Dives in misericordia, dan Benediktus XVI dalam Deus Caritas est. Tema Vatikan II senantiasa menjadi tema besar dan penting bagi penggembalaan para Paus.

Menarik pula bahwa keduanya adalah pengagum berat Santo Fransiskus Assisi. Yohanes XXIII bahkan sempat menjadi anggota Fransiskan sekulir. Sedangkan Bergoglio memilih Fransiskus sebagai namanya sebagai Paus, juga berangkat dari devosinya akan Fransiskus Assisi, bahkan menuliskan dua ensiklik berangkat dari warisan poverello dari Assisi tersebut, Laudato Si dan Fratelli Tutti.

Baik Yohanes XXIII maupun Fransiskus berulangkali berbicara tentang Gereja kaum miskin. Di sela-sela Konsili, Yohanes XXIII memberi inspirasi akan pakta katakombe, yang bicara tentang opsi Gereja akan mereka yang miskin dan menderita. Demikian pula di jelang Sinode Amazon, yang diundangkan oleh Fransiskus, diperbaharui pula pakta katakombe tersebut. Keduanya juga memberi perhatian pada mereka yang berada di penjara, Yohanes XXIII dikenal melayani para tawanan perang dan Fransiskus malahan berulangkali berkunjung ke penjara, malahan merayakan kamis putih di penjara.

Gembala adalah mereka yang datang dan mencari, keluar dan melayani. Itulah gambaran yang kita dapatkan dari Yohanes XXIII maupun Fransiskus. Betapapun mereka beda generasi, namun memiliki spirit kegembalaan yang sama, pastor bonus.

Jembatan Penghubung

Jabatan Paus biasa disebut sebagai pontifex, jembatan. Hal itu bisa kita simak dari baik Yohanes XXIII maupun Fransiskus. Yohanes XXIII menggagas tentang konsili, antara lain berangkat dari kenyataan perubahan dalam dunia dan bagaimana Gereja berdialog serta terlibat dalam dunia. Fransiskus pun melakukan hal yang sama. Laudato Si, tentang kesadaran akan lingkungan bisa kita lihat sebagai sumbangan Gereja bagi dunia dewasa ini. Demikian pula, Fransiskus berulangkali mengulangi salah satu tema kesayangan Yohanes XXIII: perdamaian.

Bagi Paus Fransiskus, Yohanes XXIII senantiasa mampu mengomunikasikan gagasannya mengenai perdamaian. Bahkan hasrat dan budaya akan perdamaian tersebut tercermin sungguh dalam wajahnya. Demikian Fransiskus mengatakan saat berjumpa dengan para peziarah dari Keuskupan Bergamo, daerah asal Yohanes XXIII, saat mengenang 50 tahun wafatnya, 3 Juni 2013.

Pengalaman akan tragedi perang, demikian pula pengalaman sebagai diplomat Vatikan di Bulgaria, Turki dan Perancis di masa perang, mengajarkan Yohanes XXIII akan perdamaian dan dialog, landasan kehidupan bersama bagi kehidupan bersama umat manusia.  Yohanes XXIII memandang penting dialog dengan Yahudi, Islam dan Gereja timur. Fransiskus melanjutkan hal tersebut.

Yohanes XXIII mengalami tragedi Perang Dunia I dan II, Fransiskus beberapa kali mengungkapkan kecemasannya akan kemungkinan pecahnya Perang Dunia III. Maka berbagai langkah perdamaian antar bangsa dan kelompok berulangkali diserukannya. Fransiskus dalam Fratelli Tutti mengulangi seruan Yohanes XXIII bahwa tidak masuk akal menggunakan perang dan kekerasan sebagai sarana menegakkan keadilan dan perdamaian. Dialog dan perjumpaan, itulah yang lebih perlu dibangun, jembatan penghubung bukan tembok pemisah.

Paus yang merangkul semua pihak, tidak saja mereka yang biasa disingkirkan di dalam Gereja namun pula mereka yang berada di luar Gereja, mengungkapkan apa yang hendak digapai oleh Gereja paska Vatikan II. Gereja di dalam dan bagi dunia, bagi pendamaian dan persaudaraan. Fratelli Tutti, kiranya paling mengungkapkan gambaran itu, sebagaimana sebelumnya dalam dokumen deklarasi Abu Dhabi. Yohanes XXIII saat membuka Konsili Vatikan II mengajak untuk membangun Gereja bagai seorang ibu yang penuh kasih akan semua, lembut, penuh kebaikan dan belaskasihan kepada semua anak-anak yang jauh dan terpisah darinya.

Yohanes XXIII berani menatap serta menyentuh luka-luka Yesus, tidak malu menemukan tubuh Yesus yang tersalib, pun dalam diri orang-orang yang menderita dan bergulat. Paus Fransiskus mengungkapkan hal itu dalam homili kanonisasi Yohanes XXIII, bersama Yohanes Paulus II. Itulah cermin dari pribadi yang percaya akan Roh Kudus dan membiarkan diri dituntun oleh-Nya, sehingga dia menjadi saksi akan kemurahan hati serta belaskasihan Allah bagi Gereja dan dunia. Peristiwa tragis dalam sejarah kemanusiaan tidak menjadikannya hancur, namun malahan menaruh harapan, sebab Yohanes XXIII terbuka akan terang Roh yang menyinarkan terang keselamatan.

Yohanes XXIII, bila demikian, bagi Paus Fransiskus bukan sekadar pendahulu, namun pula teladan dan acuan dalam menjalankan tugas sebagai gembala di dalam Gereja, bahkan juga sebagai orang yang beriman di dalam Gereja. Kita pun perlu belajar dari Santo Yohanes XXIII, sebab dia adalah sumber yang tiada mengering.

T. Krispurwana Cahyadi, SJ

HIDUP, Edisi No. 4, Tahun ke-77, Minggu, 22 Januari 2023

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here