SENJA DI AMBANG PINTU

284
5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – JIKA engkau mencari alamatku, kurasa engkau akan sedikit kesulitan karena aku tinggal di perkampungan. Rumah-rumah tidak berketentuan arah hadapnya. Ada yang menghadap matahari terbit, ada yang memunggunginya, ada yang lurus menghadap Bukit Daeng di utara kampung, dan ada yang sedikit menyerong ke arah rawa buatan. Yang kusebut terakhir itu adalah kubangan raksasa yang 10 tahun lalu dibuat oleh ekskavator-ekskavator tanpa hati. Mesin-mesin pengeruk itu merusak lapisan humus hingga mencapai dan melukai lapisan bedrock.

Seperti pada umumnya ruli, kami tinggal berdesak-desakan dalam rumah-rumah sederhana beratap rendah menggunakan seng hingga terdengar sangat riuh bila hujan tiba. Makin deras hujan jatuh, kami makin harus berteriak-teriak ketika berbicara meskipun jarak kami tidak lebih dari 1 meter. Meskipun sama beratap seng, rumahku sedikit lebih baik dibandingkan rumah-rumah lainnya. Seng-seng tetangga ditindih dengan ban-ban bekas agar tidak beterbangan bila angin kencang menerpa. Batam memang sering menerima hujan disertai angin. Daerah kami sangat dekat dengan laut sehingga angin laut yang kencang sering berembus.

Rumah-rumah kami tanpa nomor, tanpa gang, apalagi nama jalan. Kami memakai ancer-ancer TK Tongkat Daud di ujung timur dan pohon kersen besar di sisi selatan. Kami tinggal menyebut sisi kiri atau kanannya, lurus ke depan beberapa meter lalu masuk-masuk di sela-sela rumah, menyelinap di antara emper-emper tetangga.

Aku sendirian saja. Anak sulungku telah menikah dan tinggal di Kota Udang. Si bungsu masih mengais ilmu, juga di kota lain. Jangan engkau tanya di mana suamiku. Ia telah pergi 21 tahun lalu bahkan ketika si bungsu masih balita. Hidungnya mengendus parfum perempuan lalu mengikuti perempuan itu dan tinggal bersamanya.

Anak-anak telah meninggalkan rumah dengan langkah-langkah panjang seturut cita-cita dan segala rencana hidupnya. Mereka cukup ringan meninggalkanku yang telah membesarkan mereka sendirian saja hingga kaki jadi kepala dan kepala bisa berubah jadi kaki. Si sulung pada mulanya sering berkabar dan bercerita tentang anaknya yang begitu lasak sekaligus menggemaskan. Namun ketika andriod membumi dan video call terasa murah, ia justru makin jarang menghubungiku. Beberapa kali teleponku tak diangkatnya. Ah, mungkin dia masih sibuk mengejar-ngejar anaknya dan menyuruhnya makan. Itu kata batinku untuk mencoba menepis pikiran buruk, jangan-jangan aku kurang antusias dan menanggapi seluruh ceritanya saat dia telepon hingga ia tampak enggan berkabar dengan ibunya sendiri.

Si bungsu pun mungkin karena disibukkan dengan magang dan skripsinya, ia tidak sesering aku menanyakan kabarnya. Pertanyaan dan kabar dariku memang tampak sepele dan remeh, seperti sudah makan belum, sudah ke gereja belum, dan jangan larut-larut boboknya. Pesan-pesanku centang satu dalam beberapa hari lalu barulah dibaca dan dibalasnya ketika ia punya waktu.

Satu-satunya penghibur hati adalah seekor lovebird yang setia ngekek panjang. Jenis biola ini menawan hatiku karena perpaduan warnanya sangat indah. Naluri visualku terpukau dengan jingga kuat di kepalanya dan hijau olive di sekeliling leher. Bola matanya yang hitam bersih selalu mengajakku berbicara. Burung cerdas itu akan ngekek panjang ketika aku mulai bercerita, tentang pekerjaan, tentang anak-anak yang sangat jarang berkabar, atau bertanya padanya tentang ide-ide menulis saat aku writer’s block.

Beberapa bulan setelah pandemi, tabunganku mulai terkikis. Tidak ada lagi anak-anak kecil yang belajar calistung, tidak ada lagi permintaan mengajar bimbel khusus kelas persiapan masuk PTN. Gajiku sendiri selalu habis di minggu pertama, beberapa hari setelah aku transfer untuk biaya hidup si bungsu. Tabungan itu benar-benar tinggal saldo yang memang harus tertahan di bank sehingga saldo di ATM pun menunjukkan angka nol. Mataku menatap pada satu-satunya kawan hidupku. Ia tahu kalau aku meliriknya. Elbi, lovebird itu, tampak ketakutan. Seolah-olah ia mengetahui isi pikiranku, hendak membawanya ke pasar burung.

Pikiranku berkecamuk. Terasa ada perang tanpa bilah pedang di sana. Satu menyayangkan Elbi yang selama ini telah membersamaiku sekian waktu, satu lagi perut yang lapar. Molestus interpellator venter. Perut sering menjadi penuntut yang meresahkan. Belum lagi butuh srawung dengan tetangga, tentu perlu kondangan bila ada hajatan nikah, sunatan, aqiqah, juga melayat. Janggal rasanya bila tidak menyelipkan amplop, meskipun kecil isinya, pada tetangga yang punya hajat.

Tenagaku sendiri telah jauh berkurang dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Gerakku mulai dibatasi oleh asam urat, kolesterol, dan sedikit gangguan jantung. Sepulang bekerja, aku lebih banyak di rumah. Ajakan untuk ikut aktif di KBG, masuk Legio Maria, retret perempuan sejati (entah kurang sejati bagaimana aku ini sampai diajak-ajak ikut retret mahal itu), tim nyanyi di PDKK, entah apa lagi tawaran yang pernah datang. Ayo bu, ikut. Kan acaranya malam. Ibu pulang kerja masih bisa istirahat. Anak-anak pun sudah besar. Kita kumpul-kumpul dengan banyak orang, bersenang-senang, memuji Tuhan. Masa hanya cukup hari Minggu saja ke gereja? Demikian bujukan itu. Alaaa… mbelgedhes, batinku. Acara-acara itu kan untuk mereka yang tidak sangat bergulat dengan hidup ekonomi sehari-hari, mereka yang tinggal terima uang dari suami, bisa kapan saja makan di restoran, yang membeli barang tanpa perlu melihat label harga. Mereka tidak tahu bahwa sepulang kerja, aku menelisik dan mencari inspirasi dengan banyak membaca agar masih bisa menulis. Jika tulisan itu menjadi artikel di koran atau cerpen di majalah bisalah untuk membeli bawang di pasar.

Bukan tidak ingin berkegiatan di gereja, bukan bermaksud menghindar untuk aktif di paroki. Prioritasku sedang untuk kebutuhan primer dan mendasar bagi manusia. Mata Tuhan pasti melihatku yang juga terus menghidupi diri dengan Sabda-Nya. Setiap hari KS bahasa Jawa setebal 13 cm itu terbuka sesuai bacaan harian dan aku sempat membacanya.

Tentu aku enggan menceritakan kesulitanku pada anak-anak. Aku tidak ingin membuat mereka resah. Si sulung tidak berpenghasilan karena ia ibu rumah tangga. Si bungsu masih tetap membutuhkan uang kos dan kuliah. Transfer bulananku saja sangat pas-pasan untuk hidupnya di kota besar. Memang tugas orang tualah membiayai segala kebutuhan anak. Demi anak, orang tua bersedia melakukan apa saja agar cukup kebutuhannya.

Bolu kukus harga seribuan yang kubeli tadi pagi saat berangkat kerja masih ada satu. Harum vanili pada mekarnya yang merah muda kunikmati sambil sesekali menyeruput teh tanpa gula. Mataku tertuju pada butiran-butiran merah buah kersen di depan rumah. Diembus angin sore bulan November yang kadang kering, buah-buah kersen itu terayun-ayun serupa anting anak perempuan. Biasanya anak-anak kecil di ruli ini memetik dan memakannya begitu saja. Mereka mengenalnya dengan ceri. Mungkin nama itu diperkenalkan pada mereka karena buah ceri asli lebih mahal dan tentu tidak terbeli.

Aku telah berada sekian lama pada jalan hidup yang demikian. Kuterima kesendirianku ini sebagai takdir yang tidak memerlukan alasan dan sebab. Kini aku merasa renta. Pikiran banyak lupa, tenaga banyak surutnya, gerak makin terbatas saja rasanya. Ketuaan dan kerentaan ini apakah sama dengan ketidakberdayaan? Aku tak ingin mencari tahu jawabannya sehingga jika jawabannya tidak sesuai harapan, aku tidak frustrasi karenanya. Satu hal yang kurasakan masih bisa kuandalkan, yaitu tidak terlalu perasa. Maka kesendirian, kesepian, ketuaan, kerentaan, dan ketidakberdayaan tidak mencuri banyak rasa perih di hatiku. Pelan-pelan kupastikan semua rasa itu tidak terlalu menggangguku. Tanpa anak-anak di sampingku semoga tidak membuatku dilupakan dan ditinggalkan. Kuharap aku masih bisa tersenyum melihat tingkah anak-anak tetangga yang berayunan di pohon kersen, yang berlari-larian di pinggir rawa.

Sepanjang apakah aku masih bisa melangkah ke depan? Aku tidak hendak mengukurnya. Bukan aku takut menghadapi ujung langkahku, tetapi buat apa perkiraan-perkiraan itu untukku saat ini. Aku belajar meyakini bahwa segala yang tidak kuinginkan terjadi tidak akan menjadi batu sandungan buatku. Imperare sibi maximum imperium est. Ketika aku bisa mengendalikan diri, maka aku telah menguasai diriku.

Elbi tampak tertunduk. Seharian ini tak terdengar ngekeknya. Sangkarnya dingin dan sedikit berdebu. Suaranya seperti tergadai oleh kecamuk perasaanku.

Oleh Lidwina Ika

HIDUP, Edisi No. 04, Tahun ke-77, Minggu, 22 Januari 2023

2 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here