“Catatan Tambahan” atas ‘Keluhan’ Pater Magnis tentang Nyanyian Saat/Sesudah Komuni

1290
Foto sekadar ilustrasi. (Ist).
4.2/5 - (6 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – DALAM Perayaan Ekaristi sering terjadi salah kaprah. Misalnya solis profesional menyanyi secara ekspresif seolah-olah ia sedang bernyanyi di tempat hiburan. Anehnya lagi umat peraya liturgi bertepuk tangan. Solis dan umat lupa bahwa mereka sedang merayakan ekaristi. Mereka lupa bahwa dalam perayaan Ekaristi dan perayaan sakramen lainnya, yang menjadi pusat  adalah Allah dan bukan manusia.

Apalagi peristiwa ini terjadi saat perjumpaan eksplisit secara batin peraya liturgi dengan Allah. Pada saat imam menunjukkan hosti kudus terjadi perjumpaan pribadi, kontak pandang, ketika imam berkata “Tubuh Kristus,” dan penyambut mengiyakan “Amin”. Ditunjukkan dengan jelas bahwa umat peraya liturgi adalah “komuni kudus”, persekutuan para kudus. Perayaan Ekaristi adalah perjamuan Paskah.

Maka seperti diamanatkan Kristus, “umat beriman yang mempersiapkan hati dengan baik, hendaknya menyambut Tubuh dan Darah Kristus sebagai makanan rohani. Inilah maksud pemecahan roti dan ritus-ritus lain yang menyiapkan dan mengantar umat untuk komuni” (PUMR, no. 80).

Bukan Instan

Salah kaprah tidak cukup diselesaikan secara instan, misalnya beri teguran dan peringatan. Kesalahan kecil sebagai akibat dari rentetan sebelumnya yang jauh ke belakang. Seseorang dibaptis, menjadi Katolik.  Kemudian tidak diikuti proses bina lanjut setelah baptis, seperti neo-baptis atau mistagogi.

Paham-paham dasar tentang Gereja dan liturgi, perayaan Ekaristi, peranan umat, kor, dirigen dan solis, fungsi nyanyian liturgi, khususnya nyanyian saat komuni dan lain-lain, proses pendalaman iman diandaikan saja, namun dalam banyak paroki rentetan bina lanjut ini tidak pernah terlaksana. Semua segi dan rentetan bina lanjut ini merupakan kesatuan dan tidak berdiri sendiri. Pemahaman awal yang sesat merembet terus sampai salah kaprah hari ini, sekecil apapun itu.

Gereja cenderung lebih dipahami sebagai sebuah organisasi dalam masyarakat. Maklumlah kita hidup di tengah masyarakat yang ditandai dengan pluralisme budaya. Dikira Gereja Katolik juga sama dengan perkumpulan sosial.

Padahal Gereja adalah Tubuh Mistik Kristus. Dalam Tubuh itu “hidup Kristus dicurahkan ke dalam umat beriman. Melalui sakramen-sakramen mereka itu  secara misteri, namun nyata dipersatukan dengan Kristus yang telah menderita dan dimuliakan” (LG, no.7).

Jadi Gereja bukanlah sesuatu yang lahiriah atau sosial saja. Kesatuan organisatoris bukanlah penjamin kehidupan Gereja, Sang solis yang bernyanyi hendaknya ingat bahwa ia bernyanyi di dalam persekutuan Umat Allah, Tubuh Kristus dan Bait Roh Kudus. Gereja “adalah – dalam Kristus – bagaikan sakramen, yakni tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia” (LG, no. 1). Dengan menyanyi, seorang solis sesungguhnya dapat menuntun himpunan jemaat peraya liturgi memuliakan Allah, dan bukan memamerkan dirinya sendiri.

Perayaan Umat Beriman

Liturgi bukanlah upacara dari satu orang atau satu kelompok tertentu, tetapi perayaan umat beriman. Perayaan Ekaristi, juga perayaan liturgi lainnya dipandang “bagaikan pelaksanaan tugas imamat Kristus; di situ pengudusan manusia dilambangkan dengan tanda-tanda lahir serta dilaksanakan ibadah umum yang seutuhnya oleh Tubuh Mistik Kristus, yakni Kepala beserta para anggota-Nya” (Konstitusi Liturgi Sacrosanctum Concilium, no. 7).

Maka dari itu “Gereja dengan susah payah berusaha, jangan sampai Umat beriman menghadiri misteri iman itu sebagai orang luar atau penonton yang bisu, melainkan supaya melalui upacara dan doa-doa memahami misteri itu dengan baik, dan ikut-serta penuh khidmat dan secara aktif. Hendaknya mereka rela diajar oleh sabda Allah, disegarkan oleh santapan Tubuh Tuhan, bersyukur kepada Allah. Hendaknya sambil mempersembahkan Hosti yang tak bernoda bukan saja melalui tangan imam melainkan juga bersama dengannya, mereka belajar mempersembahkan diri, dari hari ke hari – berkat perantaraan Kristus – makin penuh dipersatukan dengan Allah dan antar mereka sendiri, sehingga akhirnya Allah menjadi segalanya dalam semua (SC, 48).

Adalah keliru bila liturgi dijadikan tempat memamerkan kehebatan penyanyi. Liturgi bukan entertainment atau konser musik. Genre nyanyian liturgi berbeda dengan nyanyian profan yang sifatnya menghibur manusia. Dalam liturgi manusia memuji, memuliakan dan mensyukuri anugerah keselamatan Allah dan Allah menguduskan manusia.

Penerimaan Komuni

Perlu dipahami secara tepat bahwa ritus penerimaan komuni mengandung makna yang sangat dalam. Dalam Ritus Komuni, imam memperlihatkan hosti suci, sambil menyatakan: “Lihatlah Anak Domba Allah” (“Ecce Agnus Dei”). Hosti diangkat agar umat melihatnya. Hosti yang tadinya diperlihatkan pada umat saat konsekrasi dan doksologi, sekarang dalam Ritus Komuni, hosti yang sama sudah terpecah. Itu mengungkapkan Tubuh Kristus sudah dikorbankan bagi keselamatan manusia.

Yohanes Pembaptis menyatakan: “Lihatlah Anak Domba Allah. Lihatlah Dia menghapus dosa dunia, Berbahagialah saudara-saudari yang diundang ke Perjamuan Tuhan” (cf. Yoh.1:29). Umat menjawab: “Tuhan, saya tidak pantas Engkau datang pada saya, tetapi bersabdalah saja maka saya akan sembuh” (cf. Mat 8:8; Luk 7:6-7). Dengan  penuh iman dan kerendahan hati adalah  sikap yang harus dibangun ketika kita menyambut Tubuh Tuhan.

Tepat sekali pernyataan Pater Franz-Magnis Suseno, SJ, “Komuni adalah peristiwa paling sakral bagi umat Katolik, bahkan ritus paling sakral dari semua agama. Pada saat itu, seluruh perhatian umat seharusnya seratus persen terpusat hanya pada satu ini: Yesus Allah beserta kita yang sedang datang” (HIDUP).

Thomas Aquinas mengatakan, “Bahwa Tubuh Kristus yang sebenarnya dan darah Kristus yang sebenarnya hadir dalam sakramen ini, tidak dapat ditangkap oleh indera … tetapi hanya oleh iman yang bersandar pada otoritas ilahi” (KGK, 1381).

Demikianlah ketika Ritus Komuni, kita menerima Tubuh Mistik Kristus. Komuni “memperdalam persatuan kita dengan Kristus, buah utama dari penerimaan ekaristi di dalam komuni ialah persatuan yang erat dengan Yesus Kristus, Tuhan bersabda. ‘Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, dia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia’ (Yoh 5:56). Kehidupan di dalam Kristus mempunyai dasarnya di dalam perjamuan ekaristi, sama seperti Bapa yang hidup mengutus Aku dan Aku hidup oleh Bapa, demikian juga barang siapa memakan Aku, akan hidup oleh Aku (Yoh 6:57)” [KGK, 1391].

Pedoman Umum Misale Romawi mengingatkan: “… sebaiknya imam dan umat beriman berdoa sejenak dalam keheningan. Dapat juga dilagukan madah syukur atau nyanyian pujian, atau didoakan mazmur, oleh seluruh jemaat” (PUMR, no. 88).

Memang ditekankan suasana khidmat dan ada saat hening. Dalam keheningan yang khidmat itu peraya liturgi dapat mensyukuri dan menyampaikan permohonan yang berhubungan dengan persatuan dengan Kristus Tuhan.

Berdasarkan iman akan persatuan mistik dengan Kristus, maka dapat dipahami pernyataan Romo Magnis: “terus terang, andai kata saya yang memimpin upacara, maka saya akan langsung menghentikan seluruh pembagian komuni dan mengajak umat  berdoa Doa Tobat”.  Beliau terkejut dan kecewa mendengar umat tepuk tangan saat penerimaan komuni ketika seorang penyanyi solo bernyanyi sendiri penuh ekspresif.

Jelaslah, pengetahuan dan penghayatan banyak umat kita masih harus ditingkatkan melalui bina lanjut liturgi, misalnya dalam bentuk katekese liturgi. Banyak umat masih memahami liturgi sekadar upacara dan belum sebagai perayaan.

Demikian juga, banyak umat belum bisa membedakan lagu liturgi, lagu rohani dan lagu pop yang sifatnya menghibur. Oleh karena itu “hendaknya dicamkan sungguh-sungguh bahwa kemeriahan sejati suatu liturgi tidak tergantung pertama-tama pada indahnya nyanyian atau bagusnya upacara. Kemeriahan sejati suatu liturgi lebih tergantung pada makna dan perayaan ibadat yang memperhitungkan keterpaduan perayaan liturgis itu sendiri dan pelaksanaan setiap bagiannya sesuai dengan ciri-ciri khasnya” (Musicam Sacram, No, 11).

Perlu diingat lagi,  dari segi syair, lirik, isi kata-kata lagu liturgi sesuai dengan iman Katolik, bersifat biblis dan sejalan dengan tradisi Gereja. Syair, lirik bersifat sederhana tanpa terlalu banyak hiasan puitis. Syair mudah dipahami umat sederhana, mudah menyentuh hati umat peraya liturgi.

Sedangkan dari seni lagu hendaknya khidmat, terpelihara, lain dari lagu rohani di luar perayaan liturgi seperti lagu rohani dan lagu pop yang diberi kata-kata suci. Tidak terlalu banyak nada yang terlalu tinggi selama beberapa hitungan. Lagu liturgi bersifat sederhana dan mengandung unsur kedalaman.  Melodi enak dinyanyikan dan tidak ada lompatan interval yang terlalu jauh.

Singkat kata “syair-syair bagi nyanyian liturgi hendaknya selaras dengan ajaran Katolik, bahkan terutama hendaknya ditimba dari Kitab Suci dan sumber-sumber liturgi” (SC, no. 21).

Pater Magnis telah mengingatkan kita bahwa nyanyian saat penerimaan komuni hendaknya mengungkapkan pengalaman iman yang benar, indah dan tulus. Janganlah seorang sales profesional menyesatkan iman umat. Demikian juga umat sendiri perlu meningkatkan pengetahuannya tentang liturgi. Para pastor pun tak perlu saling menghakimi. Salah kaprah dalam liturgi adalah akibat dari kelalaian kita bersama.

Pater Magnis telah mengingatkan kita bahwa nyanyian saat penerimaan komuni hendaknya mengungkapkan pengalaman iman yang benar, indah dan tulus.

Romo Jacobus Tarigan, Dosen STF Driyarkara dan Unika Atma Jaya, Jakarta

HIDUP, Edisi No. 05, Tahun ke-77, Minggu, 29 Januari 2023

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here