AUTIS

208
5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – BATOK kepalaku mulai retak. Jika anak lelaki di sebelahku ini tak juga berhenti meraung, sekejap saja kepalaku pecah.

Lebih dari setengah jam aku belum bisa meredakan amuknya. Anak semata wayangku masih terus meraung, seperti singa di padang rumput. Bunyinya melengking memekakkan telinga. Kedua kaki pun bertindak kasar. Dashboard mobil pun ditendangnya. Duuh, jangan sampai menggoncang tutup kantong udara (Airbag) ya, bisa membuka dan berakibat fatal. Bram kian parah mengamuk.

Duuh Gusti, paringono kawelasan, eh sabar. Menghadapi Bram dalam kondisi mengamuk seperti ini membutuhkan kesabaran tingkat dewa. Jika ia sudah kelelahan atau terkecewakan, seperti inilah yang terjadi. Meskipun sudah berulang-ulang, aku belum juga menemukan cara jitu untuk menghentikan amuknya dengan segera. Dia akan berhenti mengamuk, setelah kelelahan. Ini yang membuat aku merasa iba. Duuh, hati ini seperti teriris melihat Bram kehabisan tenaga. Yang bisa kulakukan hanya memeluknya. Mendekapnya di dadaku dengan penuh kasih.

Tenaga Bram sangat kuat. Jika kami pulang belanja, dia dengan sigap turun dari mobil, dan langsung membuka pintu bagasi. Sekarung jagung untuk makanan kalkun, dia jinjing enteng saja. Padahal beratnya 20 kilo. Namun setiap kali ia mengamuk di rumah, deeer, daun pintu yang jadi sasaran. Ditendang atau ditinjunya hingga jebol.

Aku terus memutari jalan-jalan di kampus ini. Inilah kampus yang disebut di novel Ashadi Siregar sebagai Kampus Biru dalam novelnya,  Cintaku di Kampus Biru. Lima kali aku memutari jalan di sekitar lembah ini. Aku dan Ester Pungki, mama si Bram seringkali memutari jalan ini waktu masih sama-sama kuliah di Fakultas Peternakan. Ah Bram, kau mengingatkan aku pada mamamu, huuuu…

Meski sudah lima kali memutar, anak ini belumlah mereda amuk dan tangisnya. Raung dan tangis, hentakan kaki dan tinjunya seperti menyasar ke diriku. Hatiku semakin pilu.  Le sabar ya. Aku hanya bisa mengelus dada.

Sku menepi. Aku tak kuat lagi menyetir sambil ngerih-erih anak ini untuk diam dan tenang. Elusan lembut di bahunya tak dia rasakan. Kata-kata apalagi. Dia mendengar tapi tidak mengerti.

Mobil berhenti. Klek. Tak kunyana, dia membuka pintu, lalu berlari kencang menyeberang jalan. Aku terperangah. Dia berlari memasuki rumah makan sambil meraung-raung. Oh Tuhan. Dengan sigap aku mengunci pintu mobil, lalu berlari mengejar anak itu. Kupegang lengan kanannya dengan pelan. Kurengkuh bahunya. Semua orang di dalam rumah makan itu melihatnya.

“Mohon maaf bapak ibu, sudah terganggu. Maaf, maaf, maaf!” ujarku sambil membungkuk bungkuk.

Anak itu terlepas. Ia berlari naik ke lantai dua. Duh Tuhan.

“Maaf bapak ibu, anak saya autis. Mohon dimaklumi,” ujarku terbata. Aku segera menyusul anakku ke lantai atas, diiringi tatapan mata banyak orang.

Di lantai dua, kurengkuh lagi bahunya. Ia terus meraung mengagetkan banyak orang yang sedang makan. Aku berdiri tegak menatap semua orang. Kupandangi mereka, dan kulempar senyum. Mereka hanya diam memandangku dan Bram di tengah ruangan.

Aku memeluknya. Kuusap kepalanya, dan kurapatkan ke dadaku. Dia mulai tenang dan lalu diam. Aku mengajaknya duduk. Kupesan wedang jeruk untuknya. Ga pakai lama, minuman itu tersaji. Dan ga pakai lama juga minuman segar itu tuntas tak tersisa di gelas.

Sebagai Bapak, aku tahu persis apa yang Bram cari di tempat ini. Dia mencari ibunya. Dan itu tidak mungkin dia temukan di tempat ini.

***

Bram, anakku satu-satunya. Ditinggal ibu kandungnya sejak usia lima tahun dalam kondisi  yang baik-baik saja. Dan kini Bram telah berusia 15 tahun. Ya, sepuluh tahun Bram tak lagi punya mama. Dan aku bapaknya, juga tak punya istri. Mama Bram, yang juga istriku meninggal sepuluh tahun lalu. Tumor ganas menyerang rahim istriku. Aku tidak  sanggup membebaskan dia dari penyakit itu. Walau segala daya sudah kami upayakan untuk kesembuhannya.

Ester Pungki meninggal dalam damai. Kedua kelopak matanya mengatup di depanku. Sayu tatap mataku menghantar kepergiannya. Bram yang bersandar di tubuhku hanya bisa berucap auk auk menatap sang ibu yang terkulai di ranjang rumah sakit.  Istriku pergi selamanya setelah setahun lebih bergumul dengan tumor di rahimnya.

Bram semakin bertumbuh. Tubuhnya besar, kekar dan tinggi, seperti aku. Bram bisa mendengar tapi tidak bisa berbicara. Auk auk itulah kata yang selalu ia ucapkan untuk menyampaikan apapun keinginannya. Juga gerakan-gerakan tangan, yang kadang aku mengerti dan kadang tidak kumengerti.

Aku berusaha untuk tersenyum di depan Bram. Dalam situasi apapun. Saat Bram mengamuk, atau saat Bram bermain bersama dirinya sendiri. Ya, saat itulah anakku bersenang. Dia berauk-auk sambil meringis lalu hei hei. Aku tidak pernah membiarkannya sendirian. Selalu aku temani, karena aku tidak ingin dia semakin asyik dengan dunianya sendiri. Dia harus sering diajak bermain dan berinteraksi dengan orang lain. Tapi itulah Bram, anak autis senang menyendiri. Dia punya dunia sendiri, yang orang lain tidak mengerti.

Bram terlelap di depanku. Kusebut nama Ester berkali-kali. Dia hadir. Aroma wangi menyergap lobang hidungku. Dan aku yakin itu Ester.

“Selamat malam istriku. Kau datang rupanya. Lihatlah si ganteng terlelap,” ujarku lirih.

Aroma wangi itu semakin menguar. “Hemm terima kasih Ester, kau ikut tatap si Bram ya,” ujarku lagi. Sejurus kemudian, wewangian itu menipis. Ester telah pergi.

Terbersit rasa cemas. “Jika aku mati, Bram dengan siapa?” Kutatap wajah lelapnya. Ketelusuri tubuh besarnya. Di dalam diri Bram yang terlelap, tergambar diriku dan Ester.

***

“Kau Bapaku yang baik, mengerti bahasa tetesan air mata. Tak Kau biarkan kuberjalan sendirian, sebab Kau Bapa  yang baik. Kau sungguh baik”. Lirik lagu ini terasa menusuk hati. Menghadirkan suasana batin yang lembut, dan aku jadi melankolis. Meneteslah air mataku.

“Benar sungguh benar. Bapa itu Mahabaik. Tak perlu aku berkeluh kesah, merangkai beribu kata. Saat jiwa dan batinku lelah, ku menangis, Tuhan tahu apa yang kubutuhkan,” aku bergumam sendiri.

Bram duduk tenang di sebelahku. Pagi ini aku bersama Bram menuju makam Ester, sekira lima kilo meter dari rumah. Mobil melaju 40 km perjam. Ini baru pukul 6 pagi, jalanan masih sepi. Bram tampak senyum-senyum memperhatikan kiri dan kanan jalan. Tiba di pertigaan menuju makam, tangan kanan Bram tiba-tiba bergerak ke arah setir. Klek. Lampu sign kanan menyala. Itulah kebiasaan Bram. Dia hapal betul jalan menuju makam mamanya.

Bram duduk manis di depan makam Ester. Dia diam memperhatikan aku yang bersimpuh di depan pusara mamanya. Kami berdoa bersama. Kuucapkan doaku agak keras supaya dia mendengar. Bram tampak senang.

Sorenya, Ibu  dan Bapakku datang ke rumah. Bapak bermain dengan Bram di tepi kolam renang tempat kesukaan Bapak jika mengunjungiku. Bapak memperhatikan Bram yang sedang berenang dari kursi panjang.

Ibu menemani ku duduk di teras belakang.

“Bagaimana usahamu, lancar jaya kan?’ tanya Ibu, bernada sedikit canda.

“Puji Tuhan, lancar jaya ibuku sayang,” jawabku sambil tertawa kecil.

“Lex, aku ingin bicara, serius!” ibu memandangku tajam. Aku paham ke mana arah pembicaraan ibu. Sudah berulang kali ibu memintaku menemukan penerus Ester.

“Njih Bu,” jawabku singkat

“Ibu ada calon untukmu,” ujar ibu langsung sasaran.

“Ha ha ha. Nuwun sewu ibu, itu Bram kenapa ya,” aku berkelit. Aku melangkah pergi. Kutinggalkan ibu lalu menyusul Bram. Byuur, aku terjun ke kolam mengejar  Bram yang masih berkecipak ria.

Baik juga permintaan Ibu untuk aku segera menikah lagi. Namun, aku betah bersama Bram. Perhatianku penuh hanya kepada Bram.

Usaha peternakan bermacam-macam unggas yang aku rintis bersama Ester telah maju pesat. Saat ini karyawanku ada 200 orang. Semua sepertinya berbahagia bekerja di perusahaanku ini. Semua berjalan baik dan lancar. Aku menggaji seorang professional dengan bayaran tinggi. Dan semua karyawanku sepertinya hepi dengan nominal yang mereka peroleh tiap bulannya.

Sementara itu aku punya banyak waktu untuk menikmati indahnya hidup bersama Bram. Hingga kini, terbersit pun tidak, untuk menemukan pengganti Ester, yang tak beringsut dari kedalaman hatiku. “Aku menaikkan tanganku kepada perintah-perintah-Mu yang kucintai, dan aku hendak merenungkan ketetapan-ketetapan-Mu” Mazmur119: 48.

Jatake, 11 Oktober 2022

Oleh Anton Sumarjana

HIDUP, Edisi No.05, Tahun ke-77, Minggu, 29 Januari 2023

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here