Uskup Larantuka Mgr. Fransiskus Kopong Kung: Menjadi Sempurna seperti Bapa di Surga

194
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – Minggu, 19 Febrruari 2023 Hari Minggu Biasa VII Im.19:1-2,17-18; Mzm.103:1-2,3-4,8,10,12-13;1Kor.3:16-23; Mat.5:38-48

KEPADA para murid-Nya Yesus berkata: “Karena itu haruslah kamu sempurna seperti Bapamu yang di surga adalah sempurna” (Mat. 5:48). Tuhan Yesus menghendaki para murid dan kita semua harus hidup sempurna seperti Bapa di surga.

Hidup sempurna adalah suatu panggilan yang harus dibangun dalam suatu proses perjalanan hidup yang panjang, yang diwarnai pengalaman suka dan duka, jatuh dan bangun, kekuatan dan kelemahan, salah dan dosa, tobat dan pengampunan. Suatu perjalanan hidup yang panjang menuju kesempurnaan hidup abadi di dalam kesatuan penuh dengan Bapa dan Putera dan Roh Kudus, bersama Bunda Maria dan Santo Yosef, dan para malaikat serta semua orang kudus.

Perjalanan hidup menuju kesempurnaan yang sudah harus mulai dibangun di dunia ini. Bagaimana kita harus mulai membangunnya? Kitab Suci di dalam bacaan hari Minggu ini menyajikan beberapa jalan menuju kesempurnaan itu.

 Mendengar

Pertama, melalui panggilan kepada kekudusan. Melalui Nabi Musa, Allah berbicara kepada umat Israel: “Kuduslah kamu, sebab Aku ini kudus” (Im. 19:2). Umat Israel diingatkan bahwa mereka adalah bangsa yang kudus, umat yang suci, karena Tuhan Allah adalah kudus. Mereka telah dipilih oleh Allah dan dikuduskan oleh-Nya menjadi umat milik kepunyaan Allah.

Sejarah bangsa Israel sebagai umat pilihan Tuhan diwarnai oleh pengalaman jatuh dan bangun, banyak ujian dan tantangan, hukuman atas dosa dan pelanggaran, tetapi ada juga pengalaman akan rahmat dan berkat Allah; ada belas kasih dan pengampunan dari Allah. Walaupun umat Israel sering tidak setia dan berdosa, Allah mengampuni mereka. Allah tetap setia dan berbelas kasih kepada mereka.

Kita sebagai anggota Gereja adalah umat Allah Perjanjian Baru. Kita adalah umat Allah yang kudus, karena dilahirkan dari air dan Roh Kudus, dan disucikan oleh darah Kristus. Kita hadir di tengah dunia ini sebagai Bait Allah Roh Kudus, menampakkkan kekudusan itu dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam suratnya kepada jemaat di Korintus, Paulus berkata: “Saudara-saudara, tidak tahukah kamu bahwa kamu adalah bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu? Jika ada orang yang membinasakan bait Allah, maka Allah akan membinasakan dia. Sebab bait Allah itu kudus dan bait Allah itu ialah kamu” (1 Kor. 3: 16-17). Sebagai umat Allah dan Bait Allah di tengah dunia, kita dipanggil untuk menghayati hidup di dalam kekudusan.

Bapa Suci Paus Fransiskus, di dalam ajakan apostolik “Gaudete et Exultate” mengajak semua umat untuk hidup kudus dan menghayati kekudusan itu dengan menjalani kehidupan sehari-hari dengan tekun, sabar, setia, dan penuh kasih.

Dalam seruan apostoliknya itu Paus berkata, “Saya senang melihat kekudusan yang ada dalam kesabaran umat, dalam diri orang tua yang membesarkan anak-anaknya dengan kasih sayang yang sangat besar, dalam diri laki-laki dan perempuan yang bekerja keras untuk menafkahi keluarga mereka, dalam diri mereka yang sakit, dalam diri kaum religius lanjut usia yang tetap tersenyum. Di dalam kegigihan perjuangan mereka untuk terus maju hari demi hari, saya melihat kekudusan dari Gereja yang militan. Seringkali hal tersebut merupakan kekudusan dari “pintu sebelah”, mereka yang hidup dekat dengan kita” (G.E. No. 7).

Sebuah ajakan menarik untuk menemukan dan menghayati kekudusan itu di tenagh medan kehidupan setiap hari dengan segala situasi dan kesibukan yang kompleks. Kita diajak untuk tetap setia hidup sebagai orang beriman, murid-murid Yesus yang kecil dan sederhana, tulus dan penuh kasih sambil tetap percaya akan belas kasih dan kemurahan Allah, yang menyempurnakan segala kekurangan dan kelemahan kita.

 Melaksanakan

Kedua, melaksanakan cinta kasih. Jalan menuju kesempurnaan dapat dicapai melalui perbuatan cinta kasih. Kita memang sudah biasa melakukan perbuatan cinta kasih kepada sesama. Cinta kasih kristiani haruslah lebih unggul dari yang lainnya. Cinta kasih kita harus melampaui sekat-sekat dan batas-batas tembok suku, agama, ras, dan golongan.

Cinta kasih kita harus merangkul dan menyapa semua orang, tanpa membeda-bedakan, termasuk mereka yang menolak atau yang memusuhi kita. Kepada murid-murid-Nya, Yesus berkata, “Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya daripada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allah pun berbuat demikian? Karena itu jadilah kamu sempurna, sama seperti Bapamu di surga sempurna adanya” (Mat. 5:46-48).

Bapa di surga mencintai kita semua anak-anak-Nya, tanpa membeda-bedakan. “Ia menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan dan orang yang tidak benar” (Mat.5:45). Cinta kasih kita harus lebih unggul dan lebih sempurna.

Cinta kasih unggul dan sempurna mengalir dari misteri salib Tuhan Yesus. Dari saliblah kita menerima aliran kasih yang menghidupkan dan menyucikan kita. “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan bebanKu pun ringan” (Mat. 11: 28-30).

Cinta kasih kita belum utuh dan sempurna bila kita belum datang dan menyatu pada misteri salib Tuhan. Dari saliblah kita belajar kelembutan dan kerendahan hati. Dari saliblah kita belajar tentang kasih yang mengampuni dan memaafkan. Dari saliblah kita belajar tentang cinta kasih tanpa batas, tanpa membedakan suku bangsa, ras, agama, dan golongan.

Dari saliblah kita belajar tentang cinta kasih yang menguduskan dan menyucikan, membebaskan dan menyelamatkan. Dari salib kita belajar tentang cinta kasih yang sempurna. “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh. 15: 13). Mari kita melakukan perbuatan kasih, walaupun kecil tetapi dengan cinta yang besar.

 “Saya senang melihat kekudusan yang ada dalam kesabaran umat, dalam diri orang tua yang membesarkan anak-anaknya dengan kasih sayang yang sangat besar, dalam diri laki-laki dan perempuan yang bekerja keras untuk menafkahi keluarga mereka, dalam diri mereka yang sakit, dalam diri kaum religius lanjut usia yang tetap tersenyum…”(G.E. No. 7).

HIDUP, Edisi No. 08, Tahun ke-77, Minggu, 19 Februari 2023

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here