Perlukah Kita Minta Maaf Langsung kepada Saudara Kita Bila Kita Sudah dengan Sengaja Menyakiti Hati Mereka?

472
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – Romo Kris, saya ingin mengajukan pertanyaan yang selama ini agak mengganjal di hati saya,  mengenai perlukah kita meminta maaf langsung kepada saudara kita bila kita sudah dengan sengaja berkata-ka yang menyakiti hati mereka dan ingkar janji? Jika saudara kita itu masih hidup dan mengalami trauma psikis juga depresi  berat akibat perbuatan kita selama bertahun-tahun, apa cukup kita mengaku dosa melalui pengakuan dosa saja ? Atau, masih perlukah kita meminta maaf kepada saudara kita itu apa bila kita sudah mengaku dosa melalui romo?  Sedangkan menurut Matius 5:24-26, segeralah berdamai dengan lawanmu selama engkau bersama-sama dengan dia di tengah jalan, supaya lawanmu itu jangan menyerahkan engkau kepada hakim dan hakim itu menyerahkan engkau kepada pembantunya dan engkau dilemparkan ke dalam penjara.

Dyah Ayu, Cikarang

Penulis Injil Matius mengungkapkan perintah Tuhan, “Jika engkau mempersembahkan persembahan di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahan itudi depan mezbah itu  dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu” (Mat 23-24).   Berdamai dengan orang lain sebagai wujud maaf atau pengampunan, diperlihatkan di sini seakan sebagai syarat sebelum doa atau ibadat dijalankan. Berdamai itu dijalankan secara langsung dengan orangnya, tanpa itu persoalan lebih lanjut bisa terjadi, sebagaimana di dalam teks yang anda kutip.

Segera setelah mengajarkan tentang Bapa Kami Tuhan mengatakan, “Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di Surga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu.” (Mat. 6:14-15). Kalau kita tidak sudi mengampuni, maka pengampunan Tuhan juga tidak akan turun. Kita menutup pintu akan rahmat pengampunan. Semakin kita ingin diampuni oleh Allah, maka kita pun seharusnya semakin mau mengampuni sesama. Dalam doa Bapa Kami pun kita mendaraskan, “Ampunilah kesalahan kami, seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami”.

“Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di Surga akan mengampuni kamu. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu.” (Mat. 6:14-15). Orang tidak bisa hidup tanpa pengampunan. Setiap kali kita musti berbuat salah kepada orang lain, karena kerapuhan diri maupun karena masih kuatnya sikap egois kita. Kita mendapatkan pula di dalam Injil tentang perumpamaan tentang Bapa yang penuh kemurahan hati yang mengampuni (Lih. Luk. 15:11-32). Pengampunan, berdamai kembali, adalah soal kasih, pemulihan relasi, tidak saja dengan sesama yang punya persoalan dengan kita, namun pula dengan Allah. Dengannya kita membuka pintu rahmat harapan akan masa depan.

Di sini kita menemukan kaitan antara kasih akan Allah dan kasih akan sesama. Kasih menumbuhkan kasih; pengampunan menumbuhkan pengampunan. Perumpamaan tentang sikap mau  mengampuni sesama dalam Injil Matius memberi pesan kuat akan hal itu (Lih. Mat. 18:21-35). Kalau orang tidak mau berusaha untuk mengampuni, maka dia juga tidak akan diampuni; kalau orang tidak mau berusaha untuk mengasihi, maka dia pun tidak menerima kasih. Yesus memasukkan daya pengampunan dalam relasi antar manusia. Maka bukan balas dendam yang menyelesaikan persoalan antarmanusia, melainkan pengampunan, rekonsiliasi. Kejahatan mengenal pembalasan, hal ini terus meluas dan menyebar, menjadikan persoalan makin membesar. Yesus menggantikannya dengan hukum kasih: apa yang telah Allah lakukan dan perbuat untuk aku, harus aku perbuat pula bagi yang lain. Itulah menghidupi rahmat.

Kesadaran bahwa diampuni oleh Allah membawa pula pada tindakan untuk mau mengampuni. Kisah perumpamaan tentang pengampunan memberikan penggambaran akan hal ini, pengampunan dari Allah disertai dengan kesediaan mengampuni (Lih. Mat. 18:21-35). Pengampunan itu tanpa batas, harus tuntas dan terus-menerus, sebagaimana digambarkan sebagai pengampunan hingga tujuh puluh kali tujuh kali (Lih. Mat. 18:22). Yesus pun memberi teladan akan hal itu, saat di kayu salib Dia memohon ampun kepada mereka yang menyalibkan-Nya (Lih. Luk. 23:34). Dia  tidak bosan mengharapkan kita   mau berdamai.

Pengampunan senantiasa tercurah, kalau kita datang untuk memohonkan serta berbuka hati mewujudkannya. Karenanya berusaha terus memaafkan merupakan sesuatu yang perlu terus kita nyatakan. Kita tahu hal ini sulit dan berat, perlu upaya terus-menerus, maka kita perlu selalu memohonkan rahmat akan pengampunan, berdamai dengan sesama.

Pengasuh: Romo T. Krispurwana Cahyadi, SJ (Teolog, tinggal di Girisonta)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here