CANCEL CULTURE: ANTARA SANKSI SOSIAL DAN MENGUMBAR PRIVASI

180
4/5 - (5 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – Revolusi media sosial telah memberikan pengaruh kepada semua orang. Selain itu, cara manusia berkomunikasi secara langsung di seluruh planet ini berubah. Saat ini, lebih dari 30% penduduk dunia menggunakan layanan media sosial untuk berkomunikasi serta memperoleh informasi.

Suatu hal yang tidak dapat disangkal bahwa media sosia itu hadir dengan wajah ganda.

Di satu sisi, media sosial memiliki dampak positif bagi kehidupan manusia seperti memperlancar proses komunikasi dan memudahkan masyarakat dalam memperoleh informasi.

Namun, di sisi lain kehadiran media sosial justru menjadi ‘momok’ yang dapat menghancurkan kehidupan masyarakat. Salah satu fenomena tersebut adalah cancel culture.

Sebagaimana dikutip oleh cnnindonesia.com, psikolog sekaligus tenaga pendidik di Universitas Gadjah Mada, Koentjoro mengatakan cancel culture sama dengan boikot.

Publik figur atau orang yang memiliki pengaruh bisa tiba-tiba di-cancel atau ditolak karena dianggap tak lagi sejalan dengan keinginan masyarakat. Cancel culture biasanya umbar-umbarkan melalui media sosial dengan mengajukan petisi.

Salah satu bintang hollywood yang mengalami cancel culture dari netizen adalah Johnny Depp. Ia dituduh menganiaya dan menyiksa Amber Heard, mantan istrinya ketika mereka tinggal bersama.

Berita penyiksaan ini membuat para penggemar film Fantastic Beast menilai Johnny Depp tak pantas bermain di film tersebut. Karena situasi tersebut, Johnny Depp akhirnya mengundurkan diri sebagai salah satu aktor dalam film Fantastic Beast 3.

Cancel culture biasanya berlanjut pada doxxing. Dikutip dari Wikipedia, doxxing (berasal dari kata “dox”, singkatan dari dokumen), adalah sebuah tindakan berbasis internet untuk meneliti dan menyebarluaskan informasi pribadi secara publik (termasuk data pribadi) terhadap seseorang individu atau organisasi.

Metode ini digunakan untuk memperoleh informasi termasuk mencari basis data yang tersedia untuk umum dan situs sosial media (seperti facebook), meretas, dan rekayasa sosial. Tindakan ini erat terkait dengan vigilantisme internet dan hacktivisme.

Dengan tindakan doxxing ini, privasi korban cancel culture akan diumbar-umbarkan dan bahkan dilecehkan oleh orang-orang yang men-cancel-nya. Selain itu, jejak-jejak digitalnya akan disebarkan dan dijadikan konsumsi warganet. Biasanya dijadikan bulian atau lelucon.

Karena itu, cancel culture bukan hanya bentuk boikot dari masyarakat, tetapi juga bentuk hukuman masyarakat atau sanksi sosial kepada publik figur yang melakukan tindakan atau perkataan yang tidak sesuai dengan pikiran masyarakat.

Hal ini banyak ditemui di berbagai macam jenis media sosial. Akibat dari cancel culture ini tentunya membawa dampak buruk bagi korban. Korban cancel culture bisa saja merasa diri tidak berguna, frustasi, depresi, stres, bahkan bunuh diri.

Fenomena cancel culture berkembang dengan cepat di media sosial. Karena itu, bijaklah menggunakan media sosial dalam berpendapat dan men-share-kan kehidupan pribadi.

Salah satu upaya solutif agar tidak terjerumus ke dalam fenomena cancel culture, baik sebagai korban maupun pelaku adalah dengan berpikir kritis. Setiap informasi yang tersebar di media sosial perlu ditanggapi secara kritis.

Dengan berpikir kritis para pengguna medsos tidak mudah terseret hoax yang beredar, sehingga tidak sewenang-wenangnya meng-cancel culture-kan orang lain.

Berpikir kritis juga membantu para pengguna media sosial untuk tidak lost control dalam meng-upload aktivitas pribadi yang dapat menjadi bahan bullyan warganet.

Oleh Dendy Ndoi
Mahasiswa STF Driyarkara, Jakarta

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here