Imam Diosesan dan Kemanusiaan

105
Romo Y.B. Mangunwijaya (tengah) bersama anak-anak Kali Code, Yogyakarta.
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – PERIHAL pastor diosesan atau romo projo, ingatan kita tertuju kepada sosok yang satu ini, Romo Yusuf Bilyarta Mangunwijaya. Pengabdiannya sebagai imam terbentang luas. Dari seorang arsitek (ia seorang insinyur lulusah Jerman), novelis/esais/kolomnis (menulis beberapa novel, buku, artikelnya bertebaran di media-media nasional pada zamannya), hingga seorang pejuang keadilan bagi masyarakat tertindas atau terpinggirkan, rentan tertindas/terpinggirkan.

Ia juga seorang pribadi yang melintas batas iman dalam pergaulan nasional. Ia bersahabat dengan banyak kiai/tokoh agama Islam, cendikiawan dari pelbagai agama/kalangan. Di bidang kemanusiaan (karya sosial), namanya tidak bisa dilepaskan dari Sungai Kali Code di Yogyakarta. Ia juga berjuang untuk menyelamatkan warga yang hampir tenggelam (baca: ditenggelamkan) dalam peristiwa Wadug Kedung Ombo.

Satu perhatian dia yang lain yang tak boleh dilupakan adalah pada bidang pendidikan. Ia memprakarsai satu model perndidikan yang hingga kini masih dipertahankan bernam Sekolah Edukasi Dasar. Dan, masih banyak hal lain yang bisa disebut dari sosok Romo Mangun. Ia seorang imam multidimensi yang hingga kini “belum ada tandingannya”.

Sekali lagi, ia seorang imam diosesan. Imam yang “berbeda” dari imam religius dari pelbagai ordo, tarekat, atau kongreasi di Indonesia. Sebagai rohaniwan, ia memang tidak mengikrarkan kaul kemiskinan, kemurnian, dan ketaatan. Hal itu sudah “satu paket” dengan tahbisan presbiteratnya. Dari rekam jejaknya,  serang Romo Mangun dikenal banyak kalangan sebagai seorang yang berusaha terus-menerus menghayati nasihat-nasihat injili yang sudah berabad-abad dihidupi para religius di dalam Gereja. Dari segi wilayah pelayanan, Romo Mangun tidak menjalani perutusan seperti imam-imam diosesan lain yang lazim dikenal saat ini. Ia bukan seorang pastor paroki (territorial). Ia menjalani sebuah tugas perutusan yang berbeda dari para imam di Keuskupan Agung Semarang.

Sosok seorang Romo Mangun menjadi relevan dan signifikan kita angkat kembali pada momen Munas XIV Unio Indonesia yang beberapa waktu lalu digelar di Mataloko, Ngada, Nusa Tenggara Timur (NTT). Menarik bahwa tema Munas ini menohok ke persoalan yang belakangan mendapat perhatian pelbagai kalangan, yakni soal perdagangan orang. Secara kebetulan, NTT menaungai beberapa keuskupan. Artinya, sebagian besar korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) adalah umat dari kalangan Katolik.

 

Romo Chrisanctus Paschalis Saturnus saat menjadi pembicara untuk sesi utama dalam tema Human Trafficking.

Inspirasi perjuangan kemanusiaan dari seorang Romo Mangun tetap relevan dan signifikan tatkala para diosesan Indonesia memberikan intensi khusus pada harkat dan martabat manusia yang menjadi korban perdagangan orang ini. Andaikan Romo Mangun masih hidup saat ini, bisa dipastikan, dia tak akan tinggal diam. Dia pasti akan bersuara untuk mengartikulasikan nasib para korban yang tak mampu bersuara (voice of the voiceless) itu.

Membaca Rekomendasi Munas di Mataloko, kita berharap, gerakan bersama memperjuangkan para korban akan terus menggelinding. Akan muncul tokoh kemanuisaan lain seperti Romo Paschalis Saturnus di pelbagai keuskupan, terutama dari kalangan imam diosesan.

Majalah HIDUP, Edisi 42, Tahun Ke-77, Minggu, 15 Oktober 2023

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here