Menimba Inspirasi dari Pulau Seribu Masjid

72
Pastor Paroki St. Maria Immaculata Mataram, Romo Stevanus Dananjoyo berbicang dengan seorang mahasiswa dari Univ. Islam Negeri Mataram beberapa waktu lalu.
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – PERJALANAN jurnalistik HIDUP ke Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) beberapa waktu lalu terasa seperti napak tilas perjalanan kawanan kecil umat Katolik di Pulau Seribu Masjid ini. Kawanan kecil ini mengalami peziarahan yang kaya dengan dinamika dan perjuangan. Tantatangan yang dihadapi tidaklah ringan. Tak jarang kawanan kecil ini mengalami masa-masa yang kelam.

Namun, dalam menjalani masa-masa yang kelam itu, kawanan ini tidak pernah menyerah untuk mewartakan kebaikan, cinta kasih, atau persaudaraan sejati dengan warga setempat. Dari puing-puing kehancuran (baca: abu) karena mengalami perlakuan yang kurang bermartabat, kawanan kecil ini  tak mengenal lelah atau pantang menyerah untuk berdialog dalam kehidupan sehari-hari. Kawanan kecil yang selalu ditemani oleh gembala mereka. Gembala yang tinggal dan hidup di tengah-tengah masyarakat setempat. Dalam keadaan kehidupan sosial yang belum begitu kondusif, kawanan ini terus mencari jalan untuk terus menawarkan kebaikan melalui langkah-langkah kecil setiap hari.

Menyelami perjalanan umat di wilayah ini seakan mengingatkan kita kembali pada para misionaris di pelbagai belahan dunia yang juga menemui jalan-jalan terjal nan berbatu-batu. Dalam perjumpaan dengan warga setempat, sangat terasa bahwa kawanan umat beriman secara perlahan mulai diterima sebagai saudara dan mereka ‘menemukan’ jalan untuk membangun komunikasi atau dialog yang tulus, jujur, dan bermartabat.

Bagaimana tantangan ke depan? Menjawab pertanyaan ini tentu saja tak semudah kita membalik telapak tangan. Bagaimana mengembangkan semangat moderasi beragama perlu dijalankan secara hati-hati. Mengingat sebagian masyarakat kita yang masih mudah terprovokasi karena pemahaman moderasi yang masih kurang, cara yang ditempuh Kepala Paroki St. Yohanes Pemandi Praya-Selong, Lombok Tengah, Romo Bartholomeus (74 tahun) perlu dijadikan cermin untuk melangkah ke depan. Ia tinggal dan menyatu dengan warga lainnya. Dalam relasi sehari-hari, semakin dirasakan perlunya perjumpaan yang terus-menerus agar semakin dikenal dan dicintai. Adagium ‘karena tak kenal maka tak sayang’ sangat tepat ditempatkan di sini. Perjalanan jurnalistik HIDUP menjadi bukti tak terbantahkan. Si Opa, sapaannya, dikenal sebagai seorang yang suka membeli sayur mayur di warung warga setempat.

Maka, tak perlu membangun rumah ibadah yang megah misalnya, bilamana situasi dan kondisi belum memungkinkan. Cukuplah sebuah rumah doa sederhana yang diperlukan. Toh semua aktivitas pelayanan sakramental dapat dilakukan melalui rumah sederhana ini.

Kehidupan umat Katolik di Mataram yang hanya kawanan kecil dapat dijadikan inspirasi bagaimana mengembangkan dialog kehidupan di tengah masyarakat yang pluralis ini.

Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dalam sambutannya pada pembukaan Pesparani Nasional Ke-3 di Jakarta, hari Sabtu, 28/10/2023 mengaku, dirinya merasa nyaman bila berada di tengah umat Katolik. Mengapa nyaman? Karena ada pancaran persaudaraan di tengah kemajemukan. Ia memuji umat Katolik yang terus mendorong terwujudnya persaudaraan itu dalam kehidupan yang konkret. Bukan sekadar jargon atau slogan.

Majalah HIDUP, Edisi No.45, Tahun Ke-77, Minggu, 5 November 2023

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here