Uskup Padang, Mgr. Vitus Rubianto Solichin, SX: Warisan Allah Penyayang Kehidupan

172
Mgr. Vitus Rubianto Solichin, SX
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – Minggu, 19 November 2023 Minggu Biasa XXXIII, Ams.31:10-13,19-20,30-31; Mzm. 128:1,2,3,4,5; 1Tes.5:1-6; Mat. 25:14-30 atau Mat. 25:14-15; 19-21.

INJIL hari ini tidak menampilkan, “Isteri yang cakap” (Ams. 31:10) yang setia tinggal di rumah untuk mengelola segalanya dengan begitu baik, melainkan seorang Tuan Rumah yang kaya dan murah hati, tetapi suka pergi-pergi dan meninggalkan begitu saja harta miliknya untuk dikelola oleh hamba-hambanya (Mat. 25:14)

Tuan Rumah itu tidak mencari-cari seorang penasihat keuangan tetapi memanggil orang-orang yang sudah ada di rumahnya, para pelayannya dan mempercayakan diri pada kemampuan mereka. Tuan Rumah itu justru pertama-tama percaya kepada hamba-hambanya – sesuatu yang sangat mahal pada zaman sekarang. Sang Tuan Rumah itu punya rencana dan keyakinan, yakni mengangkat kondisi hamba-hambanya itu dari orang-orang yang “tergantung pada” menjadi orang-orang yang “terlibat untuk” melakukan sesuatu, dari hamba menjadi anak yang punya rasa memiliki. Dengan dua hamba yang pertama ia berhasil, namun dengan yang ketiga tampaknya ia harus menyerah.

Pada saat Tuan Rumah pulang untuk mengadakan perhitungan, kejutan dilipatgandakan. Pertama-tama, dia yang berhasil menyerahkan sepuluh talenta itu tampaknya tidak dianggap lebih pintar dari pada dia yang menyerahkan talenta dengan labanya menjadi empat. Jawaban penuh pujian yang sama diterima oleh hamba pertama maupun kedua. “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia” (Mat. 25:21,23).

Pertimbangan Kualitatif

Tidak ada tirani atau satu kapitalisme kuantitatif di sini, karena pertimbangan Allah itu tidak kuantitatif, melainkan kualitatif. Yang diperlukan hanyalah kejujuran hati dan kesetiaan pada diri sendiri untuk memberikan diri sebaik mungkin seturut kemampuan kita. “Baik sekali…, hai hambaku yang baik dan setia!” Itulah gema dari Kisah Penciptaan dalam Kitab Kejadian, ketika untuk keenam kalinya “Allah melihat bahwa seamuanya itu baik,” pada akhir penciptaan hari keenam, sebelum hari yang ketujuh, “Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik.” (Kej. 1:31).

Kejutan yang kedua: Allah ternyata bukanlah seorang Tuan Rumah yang keras dan galak, yang mau mengambil hartanya kembali. Semuanya tetap tinggal sebagai kepunyaan hamba-hambanya, bahkan digandakan dengan labanya (lih. Mat. 25:28-29). Itulah sebabnya dikatakan: “Engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar.” (Mat. 25:21,23).

Pelipatgandaan kehidupan inilah Injilnya, Kabar Baik tentang perputaran kasih yang berkembang menjadi energi dari Allah yang terinkarnasikan di dalam semua yang hidup. Alam sendiri mengajarkan kita memberi untuk menerima. Hamba-hamba itu pergi mengembalikan kepada Tuan mereka, tetapi Allah malah memberikan kepercayaan yang lebih besar lagi: “Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu.” (Mat. 25:21,23).

Masuk dalam satu dimensi hidup yang baru, hidup mereka yang telah mengambil bagian dalam energi penciptaan, di mana masa lalu tetap menjadi kenangan yang terus memberi kehidupan. Kita dapat merasakan juga seruan itu, ketika kita menulis dan mewartakan Sukacita Injili, ketika kita memberikan kesaksian pengalaman perjumpaan yang mempesonakan kita, yang membebaskan kita… seperti ketika satu saat kita mampu memberikan sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh saudara kita dan kita jusru yang berterima kasih karena bisa membantu, karena kita merasa dibebaskan dari sesuatu ketertutupan dan ketidakpedulian.

Gambaran yang Keliru

Akhirnya, sampailah giliran hamba yang ketiga, yang penuh dengan ketakutannya sendiri: “Tuan, aku tahu bahwa tuan adalah manusia yang kejam yang menuai di tempat di mana tuan tidak menabur dan yang memungut dari tempat di mana tuan tidak menanam. Karena itu aku takut dan pergi menyembunyikan talenta tuan itu di dalam tanah: Ini, terimalah kepunyaan tuan!” (Mat. 25:24-25).

Gambaran menyimpang tentang Allah yang keras, yang menjadi seperti hakim atau polisi “tukang pergok” pada waktu seorang bersalah, ini jauh dari gambaran Allah yang ditampilkan Yesus. Justru karena gambaran yang keliru inilah, hidup pun menjadi serba salah, menjadi tempat yang penuh dengan ujian yang menakutkan, penghakiman yang segera tiba. Jika seseorang percaya dan memupuk gambaran tentang Allah yang keras sedemikian, orang memang akan mudah menjumpainya dalam topeng-topeng ketakutannya sendiri. Maka hadiah dan karunia pun, sebagaimana hamba yang ketiga itu, menjadi satu mimpi buruk yang menakutkan. Ia berusaha mengembalikannya karena tidak merasa memilikinya, tidak mampu menghargai berkat-Nya karena tetap merasa menjadi budak.

Tetapi apabila kita percaya akan Tuhan yang memberikan semuanya tanpa meminta kembali, apa yang telah Ia percayakan kepada kita, secara murah hati dan bahkan sampai tak masuk akal kepercayaan (kesetiaan)-Nya pada kita, karena Ia tidak butuh sikap budak tetapi sikap anak, maka kita akan mampu pula merasakan undangan-Nya untuk masuk dalam kebahagiaan-Nya, dalam kehidupan-Nya.

Tiga Langkah Dasariah

Perumpamaan tentang talenta ini menjadi satu pesan pemberi semangat yang menjauhkan kita dari ketakutan untuk salah mengambil dan memilih diam saja seperti hamba yang ketiga. Lebih baik melangkah daripada diam karena takut salah! (Bdk. Evangelii Gaudium 49).

Ketakutan itu membuat kita kehilangan kesempatan dalam hidup. Berapa kali kita tidak berhasil meraih kemenangan, karena takut ikut perlombaan gara-gara takut untuk berakhir dengan kekalahan! Sebaliknya, pedagogi Injil menuntut kita untuk melaksanakan tiga langkah dasariah untuk perkembangan manusiawi kita: tidak merasa takut, tidak menakut-nakuti, dan membebaskan orang dari ketakutan, terutama takut akan Allah karena gambaran yang salah.

Pangkal dan Tujuan Hikmat Alkitabiah adalah “takut akan Allah” tetapi bukan karena akibat berhala gambaran kita yang keliru. Ketakwaan warisan Hikmat Israel itu justru semakin membuat orang rindu untuk masuk dalam kebahagiaan yang dijanjikan oleh Sang Pemberi Hidup itu sendiri. Di balik perumpamaan tentang talenta tidak hanya ada pesan tentang bakat dan kemampuan intelektual manusiawi kita saja, tetapi seluruh ciptaan, warisan kekayaan Ibu Pertiwi yang dipercayakan kepada kita, yang mampu bersikap sebagai anak dan bukan budak.

Kita semua dipanggil menjadi imam-imam yang melaksanakan liturgi kehidupan dunia yang primordial itu. Allah adalah musim semi alam semesta, dan kita diharapkan menjadi musim panasnya yang harum mewangi dengan bunga dan buah yang subur.

Alam sendiri mengajarkan kita memberi untuk menerima.

Majalah HIDUP, Edisi No. 47, Tahun Ke-77, Minggu, 19 November 2023

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here