Fransiskus Assisi: Orang Muda yang Tidak Bergantung pada Tombol “Like” dalam Media Sosial

114
Fransiskus dari Assisi
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – Fransiskus dari Assisi adalah seorang pemuda kaya yang lahir di Assisi-Italia pada tahun 1181 atau 1182.  Ia lahir dari keluarga pedagang kain yang kaya raya. Dia anak dari Pietro de Bernardone dei Moriconi dan  Pica de Bourlemont.

Lahir  dari keluarga yang kaya raya ini membentuk Fransiskus menjadi seorang pribadi yang suka berfoya-foya dan selalu mencari kesenangan bersama teman-temannya. Namun pada suatu saat, dia merasakan panggilan Tuhan yang datang melalui orang-orang miskin, pengemis, orang kusta, dan orang-orang sederhana.

Dengan merasakan panggilan rohani ini, dia memutuskan untuk meninggalkan kekayaan yang diberikan oleh orangtuanya dan memilih untuk hidup dalam kemiskinan dan melayani orang miskin.

Peristiwa perjumpaan Fransiskus dengan orang kusta menjadi momen titik balik dalam perjalanan spiritualnya. Awalnya, dia merasa jijik dan menjauhi orang tersebut, mencerminkan sikap umum pada zamannya terhadap orang-orang yang mengidap penyakit kusta, yang dianggap sebagai kutukan dan diasingkan dari masyarakat.

Namun setelah dia berhasil mengalahkan ego dalam dirinya, dia mampu menyadari bahwa cinta kasih dan pengabdian kepada sesama, terutama yang paling menderita adalah panggilan yang mendalam dari imannya.

Dia menyadari bahwa orang kusta perlu dirangkul, disayangi, dan dihormati sebagai manusia yang utuh, bukan untuk diasingkan atau disingkirkan dari kehidupan bersama. Melalui wajah merekalah kita bisa melihat wajah Allah yang murni penuh kasih sayang tanpa kepalsuan. Mereka sudah selayaknya dirangkul sebagai ‘saudara’ bukan dianggap sebagai kutukan.

Dengan membuat keputusan yang penuh konsekuensi ini, Fransiskus mendirikan sebuah Ordo Saudara Dina yang sekarang dikenal dengan Ordo Fransiskan (OFM). Ordo ini memiliki dua ciri khas yang menjadi ‘paru-paru’ kehidupannya yakni Persaudaraan dan Kedinaan (Kemiskinan). Dua paru-paru ini yang dihidupkan oleh semua saudara Fransiskan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Mereka selalu saling menyapa dengan sapaan yang penuh hangat yakni dengan menggunakan kata “saudara atau saudari”.

Kata saudara ini dalam refleksi Fransiskus memiliki arti khusus yakni persaudaraan semesta. Persaudaraan yang terdiri dari manusia, alam, dan penciptanya. Persaudaraan yang bukan hanya dalam tatanan konsep, namun persaudaraan yang diwujudkan secara konkret dalam kehidupan sehari-hari.

Artinya, persaudaraan bukanlah sebuah hal yang sudah paten ada, namun persaudaraan itu dibentuk dan diperjuangkan oleh setiap pribadi dalam rutinitas dan perjumpaan dengan entitas lain. Maka dalam hal ini makna persaudaraan dan kedinaan akan secara jelas terealisasikan.

Melalui cara hidupnya yang mau melayani orang miskin, Fransiskus tampil dengan warna dan corak yang baru yakni mengikuti jejak Kristus dan melaksanakan Injil secara lebih dekat. Mengikuti Kristus berarti menghayati sikap dan semangat Kristus dan berbuat seperti yang diperbuat oleh Kristus sendiri selama hidup-Nya: cinta kepada Allah dan manusia, miskin, taat, merendahkan diri, dan mengosongkan diri.

Dengan begitu, Kristus yang mau diikuti oleh Fransiskus adalah Kristus yang ditemukan dalam seluruh injil. Injil bagi Fransiskus bukanlah sebuah “buku sumber” melainkan pribadi Kristus sendiri. Memang jika dilihat secara saksama, pembaharuan hidup sang santo ini tidak sama sekali baru, namun yang memberikan warna tersendiri yakni ketika Santo Fransiskus dan saudara-saudaranya mau secara serius dan setia melaksanakan apa yang ditemukannya dalam Injil.

Fransiskus yang melihat dan merasakan kehidupan masyarakat yang sungguh sangat memprihatinkan, membuat hatinya tergugah untuk berjumpa dengan mereka. Orang-orang kusta dan para pengemis yang tidak dianggap sebagai manusia lagi, menyadarkan Santo Fransiskus bahwa wajah Kristus tampak dalam orang-orang sederhana. Dia bangkit dan pergi menuju cahaya matahari, di mana terdapat kehidupan dan dinamika dunia.

Fransiskus adalah teladan bagi orang muda yang sedang berdinamika bergerak, yang menolak diam berdiri di depan cermin untuk merenungi citra dirinya sendiri atau terjebak dalam “perangkap”. Ketika dihadapkan pada kebutuhan yang konkret dan mendesak, kita perlu bertindak dengan cepat. Betapa banyak orang di dunia yang menantikan kunjungan dari seseorang yang peduli terhadap mereka! Betapa banyak orang lanjut usia, orang sakit, orang yang dipenjara dan para pengungsi yang membutuhkan tatapan penuh belas kasih, kunjungan dari kita, dari saudara atau saudari yang menembus tembok ketidakpedulian!

Fransiskus adalah contoh orang muda yang tidak membuang waktu untuk mencari perhatian atau persetujuan orang lain – seperti yang sering terjadi ketika kita bergantung pada “tombol sukai (like)” di media sosial kita. Dia berangkat untuk menemukan “hubungan” yang paling tulus: hubungan  yang berasal dari perjumpaan, berbagi, cinta dan pelayanan. Suatu kepekaan yang murni muncul dari kedalaman hati yang baik selalu mendorong kita ke arah yang terbaik dan kepada orang lain.

Memang Fransiskus bisa dianggap sebagai seseorang yang hidup jauh sebelum adanya media sosial, tetapi jika kita memikirkan nilai-nilai dan sikap yang dia anut, kita bisa melihat banyak kesamaan dengan orang muda memilih tidak bergantung pada “like” dalam media sosial.

Dia selalu memikirkan kemiskinan dan kesederhanaan dan tidak terikat pada harta benda atau pencapaian dunia. Hal ini mencerminkan sikapnya yang tidak menomorsatukan popularitas, ketenaran, atau pujian dalam media sosial.

Dia lebih fokus pada nilai-nilai yang lebih dalam, seperti cinta kasih, persaudaraan, kesederhanaan, cinta akan alam dan pengabdian kepada sesama. Melalui teladan dari sang santo ini, mau menyadarkan kita semua akan pertanyaan makna hidup yang sejati. Untuk siapakah aku hidup? Apakah saya hidup hanya untuk kepentingan diri saya sendiri ataukah juga untuk orang lain?

Hal senada juga diungkapkan oleh Paus Fransiskus dalam pesannya kepada semua orang muda, pada hari Orang Muda Sedunia yakni “Orang-orang muda terkasih, sekarang waktunya untuk bergegas berangkat menuju perjumpaan yang nyata, menuju penerimaan yang riil dari mereka yang berbeda dengan kita… Pesan saya untuk kalian, orang muda terkasih, adalah bahwa pesan agung yang dibawakan oleh Gereja adalah Yesus! Ya, Yesus sendiri, dengan cinta-Nya yang tak terbatas untuk kita masing-masing, penyelamatan-Nya dan hidup baru yang Ia berikan kepada kita” (Pesan Bapa Suci Paus Fransiskus untuk Hari Orang Muda Sedunia ke -37 di Lisabon).

Kita semua diajak untuk tidak hanya berdiam diri dalam kenyamanan, popularitas, atau pun pujian dalam media sosial, tetapi berjumpa langsung dengan semua orang, tanpa sekat apapun.

Maka jelaslah bagi kita semua untuk keluar dari zona nyaman kita masing-masing. Kita bisa belajar dari Santo Fransiskus yang memberikan kepada kita teladan hidup untuk bagaimana kita bisa menyambut, menerima, dan membagikan hadiah besar dalam hidup kita kepada orang lain dan alam semesta.

Kita bukanlah orang muda yang terlalu bergantung pada tombol “like” dalam media sosial, tetapi orang muda yang lebih fokus pada makna dan pengaruh positif yang dapat kita hasilkan dalam dunia. Dengan harapan besar bagi kita semua yakni melalui setiap tindakan dan perkataan kita  bisa mengantar setiap orang pada pengenalan akan pribadi Yesus Kristus yang penuh kasih.

Atau dengan kata lain, kita semua mengemban perintah untuk mengakui Allah sebagai pencipta segala-galanya, dan mengarahkan diri beserta seluruh alam kepada-Nya sehingga dengan terbawahnya segala sesuatu kepada manusia, nama Allah sendiri dikagumi di seluruh bumi (Mazmur 8:7,10).

Fr. Aphong, OFM, Mahasiswa STF Driyarkara, Jakarta

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here