Menjawab Tantangan Misi di Kepulauan Mentawai

104
Kepala Paroki Muara Siberut, Kepulauan Mentawai, Pastor Antonius Wahyudianto, SX (tengah) bersama orang muda Mentawai. (Foto: Dokpri)
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – BENARKAH masa depan pertumbuhan Gereja Katolik di Keuskupan Padang adalah salah satunya di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat? Sebagai salah satunya, bisa dipastikan jawabannya ya! Jawaban yang optimis ini disertai dengan data yang menunjukkan bahwa jumlah paroki terus bertumbuh di kepulauan ini. Begitupun dengan jumlah umat. Di luar Kota Padang, Keuskupan Padang bertumbuh subur selain di Kepulauan Mentawai, juga terjadi di Provinsi Riau dengan kehadiran para pendatang dari bagian barat Sumatera, khususnya dari Sumatera Utara.

Misi di Kepulauan Mentawai memang mendapat perhatian ‘lebih’ dari Gereja Lokal Keuskupan Padang. Sejak misi di Mentawai dirintis para misionaris awal (Serikat Misionaris Xaverian) di kawasan ‘seribu pulau’ di sisi barat Sumbar ini, tak sedikit tanaga dan tentu saja biaya yang dikeluarkan untuk ‘menghidupi’ stasi-stasi, paroki-paroki, dan lembaga-lembaga pendidikan Gereja di sini.

Sejak, Provinsi Sumbar menjadikan kawasan Mentawai sebagai salah satu kabupaten (Kebupaten Kepulauan Mentawai), perubahan bergerak di segala lini, termasuk sosial keagamaan. Selain misi Katolik, Kepulauan Mentawai juga menjadi tujuan misi dari Protestan dan Muslim. Sesuatu yang wajar-wajar saja mengingat Kepulauan Mentawai termasuk salah satu daerah terpinggir di Sumbar.

Modernisasi baru datang belakangan. Penduduk Mentawai perlahan-lahan bergerak dari masyarakat peramu (nomaden) menjadi masyarakat yang mengembangkan pertanian yang menetap di satu wilayah. Anak-anak Mentawai juga sudah banyak yang mengenyam pendidikan tinggi. Lahir banyak sarjana dari perguruan tinggi lokal maupun dari luar Sumbar.

Modernisasi juga berdampak luas. Ada indikasi kuat bahwa masyarakat – khususnya orang muda Mentawai mulai meninggalkan akar budayanya. Mereka lebih terarik dengan budaya-budaya yang masuk. Sebut saja, mereka lebih condong menggunakan bahasa Minang ketimbang bahasa sendiri. Begitu pun dengan seni/kesenian.

Melihat fenomana ini, sejumlah sumber yang ditemui majalah ini, mensinyalir adanya kekuatiran kuat bahwa kebudayaan Mentawai makin tergerus oleh perubahan yang masuk  ke Mentawai. Etos kerja masyarakt juga disebutkan belum mampu berkompetisi dengan derasnya pendatang. Dikawatirkan, orang Mentawai bisa tersingkir dalam persaingan lokal/global bila tak segera diberdayakan.

Gereja hadir pada sisi ini. Bagaimana menguatkan masyakat Mentawai. Tak hanya dari sisi sosial keagamaan. Tapi juga pemberdayaan sisi sosial ekonomi walau Gereja bukan pemerintah yang mempunyai otoritas untuk bidang tersebut. Pendidikan menjadi pintu masuk ke ranah pemberdayaan itu.

Pendidikan yang memperluas wawasan generasi muda Mentawai. Pendidikan yang membuat mereka semakin memiliki rasa percaya diri. Memiliki mentalitas yang kuat, yang tumbuh dari kesadaran mereka akan kekuatan mereka. Mentawai memiliki kekayaan SDA yang tinggi. Namun, SDA itu harus dibarengi dengan SDM yang mumpuni.

Kita berharap, Gereja Katolik akan terus melakukan pemberdayaan masyarakat Mentawai, khususnya anak-anak, remaja dan orang muda. Pemberian beasiswa bagi orang muda Mentawai untuk mengecap pendidikan di perguruan tinggi terkemuka di Pulau Jawa adalah salah satu cara yang akan memperkuat SDM Mentawai ke depan.

Majalah HIDUP, Edisi No. 48, Tahun Ke-77, Minggu, 26 November 2023

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here