Ketika Penyakit Itu Merenggut Nyawa Istri Saya

2950
Foto kenangan penulis bersama almarhum istri tercinta. (Foto: Ist.)
4.1/5 - (10 votes)

HIDUPKATOILIK.COM – “Penyakit saya tidak bisa tunggu waktu!” Itu kata-kata keras yang diucapkan istri saya selama dia sakit. Dua kali ia ucapkan di waktu yang berbeda.

Di satu sisi saya memandangnya bahwa kalimat itu berlebihan. Sejak kami mengetahui bahwa ia mengidap tumor di hati, banyak saudara dan teman yang memberi berbagai informasi tentang penyembuhan sakit tumor/kanker. Bahwa kanker itu bisa disembuhkan. Bahkan orang yang terkena kanker stadium 4 berkali-kali, masih bisa bertahan hidup belasan tahun. Bahwa dengan BPJS-pun orang-orang yang terkena kanker bisa sembuh. Dan mungkin saja dokter salah mendiagnosa istri saya, sehingga kakak ipar menyarankan pengobatan di Malaysia. Karena ada testimoni orang yang didiagnosa kanker, ternyata bukan kanker menurut dokter di Malaysia.

Di sisi lain, segera setelah dinyatakan ada tumor di hati istri saya, saya googling dan menemukan bahwa orang yang terkena kanker hati, peluang hidupnya hanya lima bulan.

Mana yang saya percaya? Saya cenderung percaya bahwa kanker hanyalah sakit berat yang bisa sembuh. Walaupun harus diderita selama belasan tahun. Saya hanya perlu menyiapkan mental sebagai pendampingnya.

Dia Sakit

Dampak sakitnya istri saya di dalam keluarga adalah kelelahan di dalam keluarga kami. Lelah fisik dan emosi. Istri saya seorang ibu rumah tangga yang perfeksionis. Rumah harus bersih. Makan harus sehat. Kehidupan sehari-hari ada aturan dan batasannya. Ketika ia tidak mampu mengerjakan banyak hal, maka saya dan kedua anak harus mengambil alih tugas-tugasnya. Untungnya setelah beberapa minggu, ia mulai mengurangi standarnya. Rumah tidak harus divacum setiap hari. Siram kebun bukan prioritas lagi. Pakaian kotor kami percayakan ke laundry. Bahkan kami pernah menggunakan jasa pembersih rumah satu kali.

Kanker yang ada di tubuh istri saya ternyata ganas. Sejak ia berobat ke puskesmas, dokter dan rumah sakit, hanya berlangsung satu setengah bulan sampai ia meninggal. Dokter belum selesai mendiagnosa penyakit kankernya. Kami hanya tahu bahwa ada kanker di hati. Tetapi bukan di hati sumber kankernya. Sehingga dokter masih berusaha mencari tahu di manakah sumbernya. Sementara itu kankernya berkembang cepat.

Sebulan terakhir istri saya gelisah. Tidak bisa tidur, tidak bisa duduk. Tidak ada posisi yang pas. Perutnya nyeri. Pindah-pindah. Punggungnya juga nyeri. Hampir 24 jam dalam sehari. Staminanya drop. Awalnya masih bisa makan di meja makan. Lama kelamaan tidak kuat lagi keluar kamar. Untuk berangkat ke rumah sakit untuk berobat jalan dan selama di rumah sakit harus menggunakan kursi roda. Pernah satu hari dia bilang matanya rabun. Untungnya hanya berlangsung setengah hari saja. Sepuluh hari terakhir perutnya buncit. Dan tiga hari terakhir nafasnya megap-megap.

Kami bersyukur bahwa selama istri saya sakit sampai meninggalnya, Tuhan kirimkan malaikat-malaikat-Nya bagi keluarga kami. Kakak perempuan istri saya dan suaminya adalah yang paling banyak mendukung dalam proses medis. Beberapa orang saudara dan teman membawakan pengobatan alternatif karena dokter belum berani memberikan obat untuk kanker istri saya. Teman-teman mendukung dalam doa dan mencarikan pastor. Tiga hari sebelum meninggal, istri saya menerima Sakramen Perminyakan. Di siang hari sebelum istri saya meninggal, Pastor Lukas Sulaeman, OSC dan pengurus KPKS Tangerang menyempatkan diri untuk datang ke rumah untuk mendoakan istri saya. Semua kakak dari istri saya datang ke IGD di rumah sakit beberapa jam sebelum istri saya meninggal.

Kematian Pasangan

Menurut standar Holmes-Rahe Stress Scale penyebab stres yang paling tinggi adalah kematian pasangan. Di tahun 1967 Thomas Holmes dan Richard Rahe meneliti rekam medis dari 5000 pasien medis sebagai cara untuk menentukan apakah peristiwa stres dapat menyebabkan penyakit. Sekarang saya berada di masa itu. Istri saya meninggal baru dua minggu yang lalu. Apakah saya akan mengalami stres juga?

Sebenarnya saya belum sampai kepada tahap ‘new normal’. Dua minggu ini anak bungsu saya masih libur kuliah. Saya dan anak sulung belum bekerja penuh karena ada libur Natal dan Tahun Baru. Kami sekeluarga masih beres-beres rumah. Hampir setiap hari kami punya kegiatan bersama. Baik di dalam rumah, maupun di luar rumah.

Hanya kadang-kadang saya menelan air mata sendiri. Teringat bahwa tidak ada lagi yang mencereweti saya untuk makan makanan yang sehat. Sekarang malah saya yang harus mengingatkan anak-anak untuk makan yang seimbang untuk kesehatan.

Tidak ada lagi istri yang mengajak bercanda ketika saya lagi bete. Tidak ada lagi istri yang bisa saya ajak guyon dengan ‘jokes bapak-bapak’. Tidak ada lagi istri yang memperhatikan pakaian, makanan, olahraga dan istirahat saya.

Segala hal yang tadinya biasa, sekarang tidak ada lagi. Hal-hal yang dulu kurang saya hargai, ternyata berarti. Ternyata saya merasa kehilangan itu.

Pasangan Seumur Hidup

Sebagai suami saya sudah mengalami kehidupan yang lengkap bersama istri saya. Sesuai janji perkawinan, maka kami sudah bersama sepanjang hidup. Bukan hal yang mudah, tetapi berkat anugerah Tuhan, kami sudah menjalaninya selama 28 tahun.

Ada resep yang saya ajarkan ke istri saya sejak sebelum kami menikah. Di dalam pernikahan jangan menyebut kata ‘cerai’ atau ‘pisah’ atau sejenisnya. Tentu tidak mudah. Karena kami masing-masing bukan orang yang sempurna. Kami pernah mengecewakan satu sama lain. Puji Tuhan, kami terhindar dari kata-kata itu.

Di dalam menjaga keharmonisan, saya juga punya resep, yaitu bercanda. Kalau istri memulai obrolan negatif dan saya timpali secara negatif, maka ujungnya adalah kepahitan. Tetapi jika obrolan negatif saya timpali dengan candaan, maka ujungnya menjadi netral. Suasana di rumah juga lebih hangat jika diisi dengan candaan. Banyak senyum dan tawa di dalam rumah kami.

Pasangan saya sudah tiada. Saya berharap semua suami-istri yang membaca tulisan ini untuk lebih mencintai pasangannya. Selagi dia ada. Nikmatilah kebersamaan dengannya. Harus sama-sama mengusahakan keharmonisannya. Semoga keluarga Anda bahagia selama-lamanya. Amin.

Julius Saviordi
Alumni KPKS Santo Paulus Tangerang

 

2 COMMENTS

  1. Tuhan yg memberi , Tuhan yg mengambil.
    Semua sdh menjadi takdir bagi kita, krn hidup mati kita hanya Tuhan yg tahu. Tuhan pasti punya rencana yg indah dibalik semua itu. Tuhan bersamamu.

  2. Turut berduka cita ya Julius Saviordi. Saya Anita, teman barumu di JK. Kamu suami yg sangat baik, selalu mendampingi alm istrimu. Kamu sosok ayah teladan bagi anak-anakmu.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here