Kelompok yang Berhaluan Hizbullah Menuduh Para Uskup Katolik Lebanon Melakukan Pengkhianatan

82
Seorang pria berjalan melewati puing-puing bangunan yang hancur menyusul serangan di kota Naqura di Lebanon selatan dekat perbatasan dengan Israel utara pada 4 Januari 2024. Empat pejuang Hizbullah tewas semalam di Lebanon selatan, gerakan yang didukung Iran mengumumkan pada tanggal 4 Januari, yang menurut media pemerintah Lebanon adalah serangan Israel di kota perbatasan Naqura.
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – Sebuah kelompok yang bersekutu dengan Hizbullah Lebanon menyerukan penyelidikan terhadap dua uskup Katolik karena diduga melakukan makar dengan bertemu dengan presiden Israel.

Kedua uskup, yang membawahi keuskupan di Israel, dilaporkan menghadiri pertemuan dengan Presiden Israel Isaac Herzog yang diadakan setiap tahun oleh presiden untuk para pemimpin Kristen di Tanah Suci sebelum Natal.

Merupakan kejahatan di Lebanon bagi setiap warga negara Lebanon yang melakukan kontak dengan Israel, berdasarkan undang-undang anti-normalisasi negara tersebut tahun 1955. Namun, ada pengecualian bagi para pemimpin agama untuk melayani jemaat yang tinggal di Israel. Namun kebebasan tersebut telah ditentang dalam beberapa tahun terakhir.

Kejahatan pengkhianatan dapat dijatuhi hukuman berat mulai dari denda hingga penjara seumur hidup, dan kematian dalam kasus-kasus yang melibatkan konflik bersenjata, kata Walid Phares, seorang penulis keturunan Lebanon-Amerika dan pakar Timur Tengah, kepada CNA.

Uskup Agung Maronit Moussa El-Hage dari Haifa dan Tanah Suci, dan Uskup Suriah Mar Yacoub Ephrem Semaan, vikaris patriarki Yerusalem, Tanah Suci, dan Yordania, adalah dua wali gereja yang disebutkan dalam pengaduan tersebut.

Patriarkat Gereja kedua uskup tersebut berbasis di Lebanon. Kedua uskup tersebut telah menghadiri pertemuan dengan presiden Israel beberapa kali dalam beberapa tahun terakhir, menurut akun Twitter Arsip Lebanon.

Situs web L’Orient Today melaporkan bahwa sebuah kelompok bernama “Komite Perwakilan Mantan Tahanan Lebanon di Israel” mengajukan permintaan kepada pengadilan Lebanon, menyerukan penyelidikan terhadap kedua uskup tersebut karena dugaan “kontak dengan musuh Zionis (Israel).”

Phares mengatakan kepada CAN, Rabu (3/1), bahwa kelompok yang menyerukan penyelidikan tersebut “dibentuk, didanai, dan diberi nasihat oleh Hizbullah.”

Hizbullah adalah partai politik militan Muslim Syiah yang telah ditetapkan oleh Amerika Serikat dan beberapa negara lain sebagai kelompok teroris.

Israel dan Hizbullah saling melancarkan serangan roket di tengah perang di Gaza yang dimulai pada bulan Oktober. Hizbullah terlibat dalam konflik militer selama 34 hari dengan Israel pada tahun 2006, yang dipicu oleh penculikan dan pembunuhan dua tentara Israel oleh kelompok teroris tersebut.

Menteri Penerangan Lebanon Ziad Makari dilaporkan telah meminta dokumentasi terkait pertemuan dengan presiden Israel.

“Saya merasa terganggu dengan gambaran dua uskup bersama presiden Israel, dan saya jelas tidak menyetujuinya, dan saya menghubungi hakim pengadilan militer, yang memiliki teks terkait kontak dengan musuh Israel,” lapor LBCI Lebanon, menurut Komite Kristen Timur Tengah.

Sementara itu, Uskup Agung El-Hage membantah ikut serta dalam pertemuan tersebut, dan mengecam “informasi palsu yang melibatkan dirinya,” menurut situs berita This Is Beirut.

Dia mengatakan dalam sebuah wawancara dengan Nidaa al-Watan bahwa para pemimpin Kristen yang bertemu dengan presiden Israel “mengecam tindakan militer di Palestina,” menurut outlet tersebut.

Dalam wawancara tersebut, beliau menekankan “perlunya untuk tidak menyerah pada kampanye pengkhianatan dan intimidasi yang menjadi sasarannya, dan sebaliknya melanjutkan inisiatif yang melayani Gereja, keuskupan, dan umat Kristiani di Tanah Suci.”

Dia juga mengatakan bahwa Vatikan dan Takhta lokalnya “menyatakan pendapat mengenai apa yang boleh atau tidak boleh dia lakukan” dan mengatakan bahwa dia memiliki “kebebasan mutlak untuk bertindak selama dia bertindak sesuai dengan ajaran dan instruksi Paus Fransiskus dan Patriark Maronit. Bechara al-Rai.”

Uskup Semaan tidak menanggapi permintaan komentar mengenai apakah dia menghadiri pertemuan tersebut dan reaksinya terhadap pengaduan yang diajukan terhadap para uskup. Baik Uskup Agung El-Hage maupun kantor patriark Maronit tidak menanggapi permintaan komentar.

John Hajjar, direktur kelompok advokasi Komite Kristen Timur Tengah, mengatakan kepada CNA pada 29 Desember bahwa baik para uskup bertemu dengan presiden Israel atau tidak, mereka tidak boleh dihukum.

Para uskup mempunyai “hak” untuk bertemu dengan presiden Israel “untuk memastikan bahwa umat Kristen di Tanah Suci dilindungi dan menjaga kepentingan terbaik mereka,” katanya.

“Hizbullah mencoba mempolitisasi atau mengislamkan seluruh masyarakat Lebanon dan mencap siapa pun sebagai pengkhianat yang memiliki hubungan apa pun dengan Israel,” katanya.

Tanda-tanda tindakan keras 

Phares, pakar kebijakan luar negeri, mengatakan bahwa para pemimpin Kristen di Israel telah bertemu dengan presiden Israel setiap tahun selama beberapa dekade.

“Tidak seorang pun, termasuk Hizbullah, yang pernah mengeluh di masa lalu,” katanya.

Menyinggung dukungan Iran terhadap Hizbullah, Phares mengatakan bahwa “sepertinya perintah itu datang dari Teheran” dalam upaya untuk memisahkan umat Kristen Timur Tengah dari Israel.

“Jika hal ini mengindikasikan sesuatu, ancaman terhadap para uskup Maronit adalah awal dari kampanye Hizbullah untuk mengintimidasi dan meminggirkan umat Kristen di Lebanon, di tengah perang regional. Hizbullah ingin mengesampingkan masyarakat dengan menindak para pemimpinnya, termasuk patriark Maronit,” katanya.

Ketika ditanya apakah pemerintah akan menyelidiki kedua uskup tersebut, Phares mengatakan: “Ini adalah keputusan yang sulit bagi ‘peradilan Lebanon’ meskipun berada di bawah pengaruh Hizbullah.”

“Komunitas Kristen di Lebanon tetap merupakan komunitas yang besar, kuat, dan menentang, dan diwakili oleh dua jabatan penting, presiden dan panglima tentara. Namun para politisi tampaknya telah melunakkan penolakan mereka terhadap milisi Iran,” katanya.

Dia mengatakan bahwa setiap tindakan hukum yang diambil terhadap para uskup akan memicu “reaksi besar” dari komunitas Kristen, yang masih “besar, kuat, dan menentang.”

“Ini adalah perairan yang belum dipetakan,” kata Phares. “Secara hukum kelompok tersebut dapat meminta pihak berwenang untuk menyelidiki dan menangkap para uskup, namun apa yang mungkin terjadi setelahnya dapat mengisolasi Hizbullah di tengah perangnya dengan Israel. (Ini) situasi yang eksplosif,” katanya.

Joe Bukuras (Catholic News Agency)/Frans de Sales

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here