75 Tahun Keuskupan Bogor: Terbuka dan Berdialog

92
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – KEUSKUPAN BOGOR merayakan HUT Ke-75. Perayaan pembuka telah digelar di Katedral Bogor pada Desember 2023 lalu. Perayaan ini akan berlangsung selama setahun (Desember 2023 – Desember 2024). Pelbagai kegiatan telah/akan digelar untuk memberikan makna yang lebih dalam agar momentum emas ini tidak berlalu begitu saja tanpa suatu refleksi yang mendalam dengan mengikutsertakan umat untuk berjalan besama – besinode – untuk keberadaan dan kehadiran Gereja yang lebih berdampak luas dan bermanfaat bagi masyarakat di Tatar Sunda (Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten) ini.

Keuskupan Bogor berawal dari Prefektur Sukabumi. Menurut sejarawan A. Heuken, sejak pertengahan abad ke-19, sebulan sekali Bogor dikunjungi seorang imam dari Batavia. Tahun 1885, Pastor M.Y.D. Claessens menetap di Bogor. Ia membangun pastoran dari gedek. Ia juga membangun gereja sederhana di Sukabumi (1896) dan gereja yang sekarang menjadi Katedral Bogor.

Sukabumi kemudian menjadi Prefektur yang terpisah dari Batavia. Ketika Vatikan mendirikan Hierarki Gereja Katolik di Indonesia tahun 1961, Prefektur Sukabumi dijadikan menjadi Keuskup Bogor dengan katedral di Kota Bogor hingga saat ini. Adalah Mgr. P.N.J.C. Geise, OFM menjadi uskup pertama. Ia meletakkan pondasi Keuskupan. Tak hanya itu. Ia pun mendirikan lembaga pendidikan dasar hingga perguruan tinggi, termasuk seminari untuk calon-calon imam. Uskup ini mendapat julukan kehormatan sebagai “Juragan Nita Ganda” dari suku Badui di Banten karena ia pernah tinggal bersama mereka. Ia begitu menyatu dan dicintai oleh warga Badui.

Dengan jumlah yang terus bertumbuh, berakar, dan berbuah, Keuskupan Bogor menunjukkan jatidirinya di tengah masyarakat ‘megapolitan’ Jabodetabek (Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi).

Umat Keuskupan tidak sepenuhnya tinggal di perkotaan. Sebagian tinggal di kota kecil dan desa. Tantangan masing-masing paroki tentu saja berbeda-beda. Ada paroki yang tinggal di ‘lintasan’ mengapolitan dengan modernitasnya, ada yang di pusat wisata seperti di kawasan Puncak dan Sukabumi, da yang di desa dengan paradigma tradisional. Maka, sekali lagi, pendekatan pastoral tentu saja berbeda-beda kendati Dua Sinode Keuskupan Bogor telah menentukan arah dasar Keuskupan.

Jika melihat tantangan ke depan, Keuskupan Bogor tak bisa dilepaskan dari tantangan masyarakat di mana dia hadir. Dilihat dari sisi kuantitas, umat Katolik jauh dari sebanding dengan umat beragama lain. Maka, kehadiran Gereja yang diharapkan adalah Gereja (baca: umat) yang terbuka dan berdialog dengan masyarakat beragama lain sebagaimana selama ini berjalan dengan segala dinamikanya.

Forum-forum kerukunan antarumat beragama di wilayah Keuskupan Bogor terus hidup dan semakin berkualitas. Forum yang tak sekadar ‘seremoni’ tapi juga ada aksi-aksi konkret di ‘tengah pasar’ (masyarakat), termasuk melalui pendidikan. Hadirnya lembaga-lembaga pendidikan Katolik di Tatar Sunda menjadi gerbang besar untuk melahirkan anak-anak bangsa yang terbuka, moderat, dan menjunjung tinggi pluralitas dan kesetaraan.

Kita berharap, perayaan 75 tahun ini akan menjadi momentum bagi umat (domba dan gembala) Keuskupan Bogor untuk berefleksi sekaligus memancarkan cahaya kabaikan, persaudaraan, dan kepedulian kepada sesama tanpa batas.

Majalah HIDUP, Edisi No. 01, Tahun Ke-77, Minggu, 7 Januari 2024

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here