Uskup Agung Jakarta, Kardinal Ignatius Suharyo: Mengalami Transformasi dalam Diri

199
Kardinal Ignatius Suharyo
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – Minggu, 07 April 2024, Minggu Paskah II (Minggu Kerahiman Ilahi). Kis.4:32-35; Mzm.118:2-4, 16ab-18, 22-24; 1Yoh.5:1-6; Yoh.20:19-31. 

KETIKA saya mulai menulis renungan ini – Hari Minggu II Paskah, yang adalah Hari Minggu Kerahiman Ilahi – saya langsung teringat akan Tahun Suci Luar Biasa Kerahiman Ilahi yang diumumkan oleh Paus Fransiskus pada tahun 2016. Saya yakin, Tahun Suci Luar Biasa ini diumumkan karena Paus Fransiskus mempunyai devosi besar kepada Kerahiman Ilahi, atau bahkan seluruh hidup beliau sejak usia muda sampai hari ini sangat ditentukan oleh pengalaman pribadi beliau akan Allah Yang Maha Rahim.

Ketika saya membaca riwayat hidup Paus Fransiskus, saya sampai pada kesimpulan bahwa dalam pribadi beliau berlangsung dinamika ini: pengalaman akan Allah Yang Maharahim, transformasi pribadi dan transformasi institusi Gereja Katolik.

Ketika beliau berusia sekitar 17 tahun — waktu itu namanya Jorge Borgoglio —  ia mendengar khotbah Santo Beda mengenai panggilan Matius sebagaimana kita baca dalam  Mat. 9:9. Khotbah ini dibacakan dalam Ibadat Bacaan pada Pesta Santo Matius, tanggal 21 September. Yang menyentuh hatinya adalah kata-kata ini: “Yesus memandangnya dengan mata penuh kerahiman, dan memanggil dia.”

Pengalaman akan Allah Yang Maharahim inilah yang menjadi semboyan pelayanannya sejak beliau diangkat menjadi Uskup sampai sekarang sebagai Paus. Semboyan itu tertulis dalam bahasa Latin miserando atque eligendo. Jorge Borgoglio muda mengidentifikasikan diri dengan Matius yang mengikuti Yesus karena mengalami pancaran kerahiman ilahi. Pada waktu itu pula ia memutuskan untuk menjadi imam dalam Serikat Yesus.

Pengalaman akan Allah yang sejati selalu berbuah pada transiformasi pribadi. Transformasi pribadi ini sangat jelas dalam pilihan-pilihan yang diambil oleh Paus Fransiskus. Misalnya, ketika bersyukur pada hari ulang tahun, Paus Fransiskus mengundang para tuna wisma yang sehari-hari tidur di lapangan Santo Petrus.

Ketika untuk pertama kali sebagai Paus keluar dari Vatikan, yang beliau tuju adalah Pulau Lampedusa, di bagian Italia Selatan. Pulau itu adalah tempat penampungan para pengungsi yang menyeberang dari Afrika menuju Eropa untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Tidak semua pengungsi berhasil mencapai pulau itu, karena kapal mereka karam. Pada waktu itu, beliau merayakan Ekaristi dengan altar perahu pengungsi yang sudah rusak yang teronggok di pulau itu.

Mengapa beliau melakukan semua ini? Karena beliau ingin agar semua orang merasakan tatapan wajah Allah yang penuh kerahiman, khususnya saudari dan saudara kita yang paling membutuhkan, lebih khusus lagi pribadi-pribadi yang terpinggirkan.

Transformasi pribadi ini berbuah pada transformasi Gereja Katolik. Transformasi itu terungkap misalnya dalam gambaran Gereja yang dicita-citakan yang dirumuskan dengan bahasa yang mudah dimengerti yaitu “Gereja yang seperti rumah sakit di medan perang”. Yang sekarang sedang berjalan adalah cita-cita sinodalitas: dari Gereja yang mengajar menjadi Gereja yang berjalan bersama-sama – tentu tidak mengabaikan tugas mengajar Gereja.

Kisah penampakan Yesus yang dibacakan pada hari ini pun dapat dibaca dengan kaca mata transformasi ini: dari murid-murid yang berkumpul di suatu tempat dengan pintu-pintu terkunci karena takut, menjadi murid-murid yang bersukacita (Yoh. 20:19-20). Dengan demikian perutusan yang dipercayakan oleh Tuhan kepada mereka dapat dijalankan dengan sukacita, bukan dengan wajah muram seperti orang kembali dari upacara pemakaman (Paus Fransiskus, Sukacita Injil No. 10).

Transformasi dalam lingkungan Gereja Awal amat jelas dalam pembaruan paham mengenai milik: semula yang ada pada seseorang dimengerti sebagai milik sendiri, untuk kepentingan sendiri. Berkat kesaksian para Rasul tentang kebangkitan Tuhan, paham itu berubah menjadi kesadaran baru: bahwa yang ada pada diri seseorang adalah adalah anugerah Tuhan yang mesti digunakan untuk kebaikan bersama. Buahnya adalah kebaikan bersama, artinya tidak ada seorang pun dalam komunitas itu yang berkekurangan (Kis. 4:32-34).

Dengan merayakan Paskah serta Minggu Kerahiman Ilahi kita berharap mengalami transformasi dalam diri kita, sesederhana seperti apa pun itu. Baru kalau dalam diri kita terjadi transormasi – itulah makna Paskah yang utama – hidup kita akan menjadi berkah bagi kehidupan bersama seperti terjadi dalam Gereja Awal. Semoga dalam diri kita dan komunitas kita terjadi pula dinamika transformasi ini: semakin beriman, semakin bersaudara semakin berbela rasa.

“Transformasi pribadi ini berbuah pada transformasi Gereja Katolik.”

Majalah HIDUP, Edisi No. 14, Tahun Ke-78, Minggu, 7 April 2024

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here