Gereja yang Proaktif dan Menyinari Dunia

32
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – (Catatan tambahan untuk Pastor Dony Kleden, Yanuar Nugroho, Pastor Ferry Sutrisna Wijaya, dan Raphael Udik Yunianto)

PERDEBATAN yang terjadi antara tokoh Gereja pasca pilpres menunjukkan kesadaran Gereja terhadap isu-isu politik sangat tinggi. Dimulai tulisan Pastor Dony Kleden, CSsR dengan tulisan di Majalah HIDUP, 3 Maret 2024 yang berjudul: Gereja Pascapilpres, dengan Yanuar Nugroho dengan tulisan: Gereja yang Harus Berpihak (HIDUP, 10 Maret 2024). Kemudian kedua tulisan tersebut ditanggapi oleh Pastor Ferry Sutrisna dengan tulisan: Belajar Menghargai Perbedaan Pilihan Politik (HIDUP, 14 Maret 2024). Ketiga tulisan masih mendapat tanggapan Raphael Udik Yunianto dalam Majalah HIDUP, Edisi No. 12 dengan judul: Antara Isi dan Bingkai.

Silang pendapat yang terjadi menunjukkan besarnya perhatian komunitas Gereja terhadap peran ideal yang mesti ditempuh Gereja dalam bidang politik. Satu harapan bahwa keterlibatan komunitas Gereja dalam  politik dapat mendorong terwujudnya bonum commune, yaitu kesejahteraan masyarakat. Bonum commune hanya dapat tercapai apabila memunculkan pemimpin yang bermoral, berintergritas, pekerja keras, dan merakyat.

Perspektif Ideal

Dalam permenungan penulis, silang pendapat yang terjadi pascapilpres di kalangan komunitas Gereja seperti diungkap di Majalah Hidup ini menunjukkan dua hal.

Pertama, perspektif peran ideal Gereja dalam politik masih beragam. Itu berarti komunitas gereja belum memiliki kesamaan perspektif perihal keterlibatan ideal gereja dalam politik.

Kedua, sikap pasif. Komunitas Gereja masih terlihat pasif untuk terlibat secara aktif dan memberikan pencerahan baru terkait politik. Pada level tertentu abai atau masa bodoh terkait isu-isu politik, sehingga apa yang diserukan hierarki gereja berbanding terbalik dengan yang terjadi di tingkat grassroots.

Di masa Paskah ini, kita mesti merefleksikan ulang peran ideal apa yang ditempuh Gereja dalam politik. Refleksi ulang perlu agar komunitas gereja yang terdiri dari tiga pilar yaitu hirarki, kaum religius, dan umat menyadari perannya dengan baik sehingga lebih maksimal dalam menunjukkan identitas diri sebagai warga gereja sekaligus sebagai warga negara.

Peran tiga pilar Gereja dalam politik ditegaskan dalam beberapa dokumen gereja. Tentang peran hirarki Gereja dan kaum relijius, Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium, Konsili Vatikan II No. 31 menjelaskan bahwa para pemimpin Gereja harus berperan sebagai gembala rohani dan tidak terlibat dalam kegiatan politik. Para  pemimpin Gereja diharapkan memberikan pandangan dan nasihat moral dan etika pada isu-isu politik dan sosial. Keterlibatan dalam politik harus memperhatikan prinsip-prinsip moral dan etika.

Kemudian Hukum Kanonik No. 287, tidak memperbolehkan Gereja sebagai institusi dan pemimpin hierarkis maupun kaum religiusnya untuk terlibat dalam dunia politik, kecuali jika menurut penilaian otoritas gerejawi yang berwenang hal itu perlu untuk melindungi hak-hak Gereja atau memajukan kesejahteraan umum. Adapun keterlibatan kaum awam dalam politik, Konsili Vatikan II menjelaskan bahwa tanggung jawab politik merupakan bagian dari perutusan. Setiap orang dituntut sumbangannya bagi terselenggaranya kesejahteraan umum (GS 30).

Keterlibatan di dalam dunia politik disadari Gereja sebagai panggilan yang khas kaum awam di dalam kehidupan bernegara (GS 42). Kemudian dokumen Apostolicam Actusitatum, dekrit Konsili Vatikan II tentang kerasulan awam dikatakan bahwa Gereja menghendaki agar orang-orang Katolik yang mahir  dalam bidang politik dan sebagaimana wajarnya  berdiri teguh dalam iman serta ajaran kristiani, jangan menolak untuk menjalankan urusan-urusan umum.

Tiga Pilar

Dari beberapa dokumen tersebut, hierarki Gereja sudah dengan tegas memberikan batas-batas tententu tentang peran setiap pilar Gereja dalam politik. Ada yang berfungsi sebagai penjaga moral dan etika (tidak ambil bagian dalam politik praktis). Ada pula yang terlibat dalam politik praksis yaitu kaum awam.

Dalam konteks Gereja Katolik di Indonesia, pilar hirarkis atau para pemimpin Gereja telah menjalankan fungsinya dengan tepat sebagai garda terdepan menyuarakan pesan-pesan profetis. Kriteria calon pemimpin Indonesia yang sempat disinggung oleh Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) sebagai bagian tanggung jawab moral untuk memberikan penyadaran kepada umat agar memilih pemimpin yang berkualitas demi terwujudnya bonum commune.

Jadi, perdebatan yang terjadi pascapilpres di kalangan komunitas Gereja menunjukkan perbedaan yang mendalam dalam memaknai peran ketiga pilar gereja dalam politik. Perdebatan tersebut hanyalah gambaran kecil suasana kebatinan di kalangan grassroots umat Katolik.

Refleksi Ulang

Maka dalam hemat penulis perlu refleksi ulang perihal peran Gereja dalam politik di Indonesia. Problematika dalam kehidupan politik semakin kompleks seperti masalah money politic, hilangnya etika dan moral, dan korupsi. Peran Gereja perlu disesuaikan dengan perkembangan permasalahan yang kian kompleks. Beberapa hal yang dapat menjadi bahan permenungan bersama.

Pertama, gereja perlu membangun sikap proaktif dalam politik. Proaktif berarti lebih aktif menyuarakan pesan-pesan moral, etik dan mendorong kesadaran politik umat. Sikap proaktif dilakukan secara eksternal dan internal.

Di pihak eksternal, Gereja harus selalu hadir dalam setiap perjuangan mewujudkan kebenaran dan keadilan sosial. Gereja menjadi partner pemerintah untuk mengingatkan dan menyelesaikan masalah bangsa seperti money politic, etika dan moral, dan korupsi.

Secara internal, Gereja perlu memberikan pencerahan kepada umat terkait isu-isu politik melalui seminar atau program yang relevan di tingkat lingkungan, wilayah maupun paroki. Sikap proaktif bukan semata tanggungjawab hierarki tertinggi Gereja, melainkan tanggung jawab bersama seluruh komunitas gereja.

Terkesan pesan moral dan etik Gereja, hanya berkumandang di media sosial dan umat yang tinggal di daerah perkotaan. Padahal umat Katolik mayoritas berada di daerah pedesaan yang membutuhkan pemahaman Pesan-pesan profetis hierarki gereja perlu disosialisasikan secara masif dan menjadi gerakan bersama sampai ke level strukural paling bawah yaitu lingkungan, wilayah dan paroki.

Kedua, politisi Katolik perlu menunjukkan identitas kekatolikannya melalui pemikiran, kepemimpinan yang melayani, dan keteladanan hidup. Kaum awam Katolik banyak yang menjadi politisi dan menduduki jabatan penting di DPR/DPD, DPRD provinsi/kabupaten/kota, kepala daerah dan pengurus partai politik. Namun peran dan kontribusi mereka belum terlalu terlihat. Kita merindukan sosok-sosok politisi hebat dan inspiratif beragama katolik pada masa lampau seperti I. J. Kasimo dan Frans Seda.

Mereka dikenang karena pemikiran-pemikiran hebatnya untuk Indonesia. Mereka adalah politisi yang telah selesai dengan dirinya sehingga memiliki totalitas untuk melayani rakyat melalui program-program bagus di bidang ekonomi, pendidikan dan telekomunikasi. Mereka pun dikenang karena pemikiran, kepemimpinan dan kesederhanaan hidup. Kedua sosok ini mampu menunjukkan jati diri sebagai politisi Katolik yang menyinari dunia sekitarnya. Mungkinkah sosok-sosok tersebut hadir di masa kini?

Kedua peran tersebut merupakan peran ideal yang mesti dilakukan baik sebagai hierarki Gereja maupun sebagai awam katolik. Tiga pilar Gereja mesti memiliki sikap proaktif baik secara internal maupun eksternal. Awam katolik yang terpanggil di bidang politik harus berani menyatakan diri sebagai politisi yang memiliki cara berpikir progresif dan berbeda, melayani, jujur dan sederhana demi tercapainya bonum commune.

Problematika dalam kehidupan politik semakin kompleks seperti masalah money politic, hilangnya etika dan moral, dan masalah korupsi.

Marinus Waruwu, Dosen dan awam Katolik

 Majalah HIDUP, Edisi No. 14, Tahun Ke-78, Minggu, 7 Arpil 2024

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here