Pastor, saya sebagai umat awam kalau berjumpa dengan seorang uskup, apakah perlu mencium tangan (baca: cincin) uskup saat berjabatan tangan? Saya lihat ada beberapa umat yang melakukan hal ini. Mohon penjelasannya.
Nindy, Surabaya
MENCIUM cincin uskup merupakan tanda penghormatan dan kepatuhan. Namun juga di dalamnya ada ungkapan kerendahan hati, berhadapan dengan pimpinan Gereja. Memang cincin merupakan simbol otoritas. Maka bukan orangnya, namun terutama jabatan yang melekat pada pribadi tersebut yang kita hormati. Apalagi kita akui bahwa seorang uskup merupakan penerus para rasul, maka kita menghormatinya sebagai tanda pengakuan akan panggilan rasuli yang diembannya. Kalau kita mengingat bahwa cincin Paus disebut sebagai annulus piscatoris, cincin nelayan, tentu nama ini tidak bisa dilepaskan dari pribadi St. Petrus, yang adalah seorang nelayan, dan Paus adalah pengganti Petrus.
Tradisi ini sebenarnya sudah berlangsung lama, walau menjadi agak lazim sejak abad pertengahan. Bahkan tidak jarang sambil mencium cincin, umat juga sambil menundukkan kepala dan setengah berlutut. Ada pula yang lalu uskup yang dicium cincinnya lalu meletakkan tangannya di kepala mereka yang mencium cincin tersebut dan memberkati. Malahan ada pula kebiasaan lama, umat mencium tangan imam baru, yang belum lama ditahbiskan sebagai tanda penghormatan atas meterai imamat yang di tangan imam tersebut, sehingga dia bisa memberi berkat. Di kalangan politisi dalam sopan santun diplomatis, malahan mencium tangan dilakukan pada pemimpin perempuan atau istri pemimpin. Muatannya sama: tanda hormat dan pengakuan akan status orang tersebut.
Pada zaman Perjanjian Lama, cincin merupakan pula meterai, sebagaimana pernah pula Yusuf mengenakan cincin meterai yang dikenakan oleh Firaun kepadanya (lih. Kej. 41:42). Demikian pula beberapa kisah menyebutkan itu (lih. Est. 8:1-17; Yer. 22;4; Dan. 6:18; 1 Mak. 6;15). Ketika anak yang hilang kembali ke rumahnya, bapak segera mengenakan cincin pada jari anaknya sebagai tanda pemulihan status anaknya (lih. Luk. 15;22). Cincin di sini adalah simbol dan tanda kuasa, maka mereka mengenakan sebagai tanda otoritas yang dipegangnya. Walau kini cincin tersebut bukan lagi sebagai cincin meterai, namun kekuasaan masih ditandakan dengan cincin yang dikenakan saat pentahbisan. Dahulu cincin Paus juga merupakan meterai sehingga dokumen atau surat darinya distempel dengan cincin tersebut. Maka ada tradisi lama bahwa ketika seorang Paus meninggal, cincinnya dilepas lalu dihancurkan, tanda bahwa otoritasnya telah selesai.
Pernah ada perbincangan ketika Paus Fransiskus berkunjung ke Loreto, Italia, tiba-tiba dia menarik tangannya ketika ada orang yang hendak mencium cincin Paus. Sikap ini mendatangkan kecaman, terlebih dari kalangan konservatif yang anti-Paus. Juru bicara Vatikan menjelaskan bahwa Paus menarik tangannya menghindar untuk dicium setelah beberapa saat dia membiarkan orang-orang mencium cincinnya. Dua alasan menyertai: alasan waktu yang menjadi terlalu lama sementara dia mengalami keterbatasan waktu dan alasan higienis, setelah sekian orang mencium cincinnya maka bisa jadi bisa kurang sehat bagi yang berikutnya. Paus sendiri pernah diketahui mencium tangan mereka yang selamat dari holocaust, bahkan seorang imam yang pernah berpuluh tahun di tahan di masa komunis di Albania. Hal ini merupakan tanda respek dan penghargaan atas kesetiaan dan daya tahan dalam menghadapi penderitaan.
Dari sini kita bisa menyimak bahwa mencium cincin uskup ataupun Paus bukanlah sesuatu yang harus, apalagi wajib. Menghormati dan menghargai otoritas yang melekat pada seorang uskup tidak harus ditandai dengan mencium cincin pada jarinya. Apalagi ketika kesadaran akan kesehatan semakin meluas, tidak jarang orang merasa tidak perlu lagi harus mencium cincin tersebut demi menghindari sesuatu yang bisa menjangkiti. Beberapa uskup malahan mengatakan cenderung untuk menghindari itu apalagi kalau umat tidak tahu apa arti maupun maksudnya. Saya lebih suka menyalami mereka, demikian seorang uskup di Italia mengatakan. Kesetaraan lebih mau ditunjukkannya, dengan hal itu.
Hal ini menunjukkan bahwa suatu kebiasaan ataupun tradisi jika dilakukan tanpa mengetahui makna dan maksudnya, maka hal itu sekadar suatu kebiasaan yang malahan kurang bermakna. Ikut-ikutan saja dengan kebiasaan orang lain, tanpa tahu artinya, hanya akan sekadar latah, tidak tahu untuk apa dan mengapa.
Pengasuh: Pastor T. Krispurwana Cahyadi, SJ – Teolog
Sumber: Majalah HIDUP, Edisi 36, Tahun Ke-78, Minggu, 8 September 2024