HIDUPKATOLIK.COM – Tertarik oleh berita tentang seorang aktor yang mendanai sendiri filmnya, penulis menyempatkan menonton film yang sedang tayang di salah satu layanan streaming. Dalam film yang berjudul Father Stu ini, di samping menampilkan akting kuat sang aktor, juga bertaburan pesan-pesan filosofis yang memancing perenungan. Sebuah renungan tentang bagaimana penderitaan dapat menjadi jalan menuju kedalaman spiritualitas.
Ringkasan Cerita
Father Stu adalah film berdasarkan kisah nyata perjalanan hidup Stuart Long (Mark Wahlberg), seorang mantan petinju yang berubah dari seorang lelaki keras pemberang menjadi seorang Romo Katolik.
Setelah mengalami kecelakaan motor yang hampir merenggut nyawanya, Stuart Long merasakan panggilan spiritual untuk menjadi imam. Begitu mendalamnya panggilan itu sampai digambarkan ia bertemu Bunda Maria. Namun niat itu ditentang oleh pacarnya, yang seorang guru agama Katolik, juga oleh keluarganya sendiri. Salah satu kelemahannya adalah gangguan degeneratif yang menyebabkan otot-ototnya perlahan lumpuh. Sebuah penyakit yang sangat langka, yang disebut Inclusion Body Myositis.
Kondisi kesehatan Stu memunculkan kekhawatiran dan keraguan di kalangan keuskupan bahwa ia tidak dapat melaksanakan sakramen dengan baik. Sehingga bisa mempermalukan gereja. Gereja cenderung menolak menahbiskan frater Stu, begitu Stuart Long dipanggil. Dalam momen emosional ini, Stu mengatakan:
“Saya jatuh tertelungkup dan bersusah payah bersujud. Apakah Bapak Monsinyur pikir, saya tidak memikirkan itu? Kita bukanlah manusia yang menjalani pengalaman spiritual, kita adalah makhluk spiritual yang menjalani pengalaman manusiawi. Tubuh ini tidak berarti apa-apa bagi Tuhan. Karena itu, tubuh ini juga tidak berarti apa-apa bagimu.”
Refleksi Spiritual
Kisah Stuart Long menghadapi penderitaan fisik dengan keberanian, menjadi gambaran nyata dari spiritualitas yang mendalam. Dialog ikoniknya, “Kita bukan manusia yang menjalani pengalaman spiritual, tetapi makhluk spiritual yang menjalani pengalaman manusiawi,” menjadi inti dari perjalanan hidupnya. Hal ini mengingatkan pada gagasan filsuf dan teolog Katolik terkenal, Pater Pierre Teilhard de Chardin SJ. PaterTeilhard yang juga seorang ilmuwan, paleontologis, dan guru, memandang manusia sebagai makhluk yang berakar pada dimensi spiritual.
Kalimat yang indah dan dalam itu memancing keingintahuan penulis untuk mencari penjabarannya lebih lanjut. Hasil googling dan ChatGPT-ing kesana kemari, kurang-lebih sebagai berikut:
- “Manusia yang menjalani pengalaman spiritual.”
Pernyataan ini menggambarkan pandangan bahwa kita adalah makhluk fisik yang sesekali mengalami hal-hal spiritual, misalnya doa, meditasi, atau pengalaman religius. Pandangan ini menempatkan spiritualitas sebagai sesuatu tambahan atau yang sekunder dalam kehidupan manusia.
- “Makhluk spiritual yang menjalani pengalaman manusiawi.”
Pater Teilhard membalik pandangan tadi dengan menegaskan bahwa esensi kita yang terdalam adalah spiritual, yakni jiwa atau roh yang diciptakan oleh Allah. Eksistensi kita yang utama bukan sebagai tubuh fisik semata, tetapi sebagai makhluk yang berasal dari Allah, dan diarahkan kepada Allah. Pengalaman manusiawi, seperti hidup di dunia, merasakan emosi, dan menghadapi tantangan, hanyalah manifestasi sementara dari perjalanan spiritual yang lebih besar.
- Apa Implikasinya?
Pandangan Pater Teilhard ini menunjukkan bahwa spiritualitas bukanlah sesuatu yang opsional atau tambahan dalam hidup manusia, melainkan inti dari “siapa kita sebenarnya”. Kehidupan manusia tidak hanya tentang hal-hal duniawi, tetapi juga tentang pertumbuhan dalam keintiman dengan Allah, menemukan makna yang lebih dalam. Pemahaman ini juga mendorong manusia, untuk melihat kehidupan duniawi sebagai peluang untuk memperdalam hubungan dengan Tuhan, sesama, dan ciptaan.
- Apa Relevansinya Bagi Kehidupan Sehari-Hari?
Pemahaman tadi mengajak kita untuk melihat hidup tidak hanya dari kacamata fisik belaka, tetapi juga dari perspektif spiritual yang mendalam. Hal ini bisa memengaruhi cara kita memandang penderitaan, kegembiraan, tujuan hidup, dan hubungan dengan orang lain, karena semuanya memiliki dimensi spiritual yang lebih besar.
- Pesan Pater Teilhard de Chardin.
Pater Teilhard mengingatkan kita, bahwa keberadaan manusia adalah bagian dari rencana ilahi yang lebih luas, di mana setiap pengalaman manusiawi adalah sarana untuk mengenal dan mengalami Tuhan lebih dalam.
Wow! Kelima kesimpulan yang mengernyitkan kening ini, mengingatkan penulis kepada junjungan kita, Yesus Kristus. Yesuslah contoh manusia spiritual yang mengalami pengalaman manusiawi, tepatnya penderitaan sebagai manusia.
Kaitan Teilhard de Chardin dengan Father Stu
Pemahaman Pater Teilhard tentang manusia sebagai makhluk spiritual terlihat dalam perjalanan hidup Stuart Long. Dalam Father Stu, penderitaan tidak hanya menjadi tantangan fisik, tetapi juga peluang untuk mendekatkan diri kepada Allah. Khotbah Stuart tentang penderitaan, sebagai sarana untuk memahami kasih Tuhan, sejalan dengan gagasan Pater Teilhard bahwa pengalaman manusiawi, termasuk rasa sakit, adalah bagian dari rencana spiritual yang lebih besar.
Penderitaan Sebagai Pengalaman Spiritual
Pater Teilhard berpesan bahwa kehidupan manusia tidak pernah terpisah dari dimensi ilahi. Pater Stu juga melihat penderitaan sebagai kesempatan untuk pertumbuhan spiritual. Ia tidak hanya menerima kelemahannya, tetapi juga mengubahnya menjadi kekuatan untuk melayani sesama. Pater Stu bahkan berkhotbah bahwa penderitaan juga membawa manfaat, begini bunyinya:
“Penderitaan ini merupakan pengalaman yang mendalam. Dan perjuangan melawan penyakit ini membantu saya, dan membantu orang lain, untuk mempelajari cara hidup yang seharusnya saya jalani selama ini. Penyakit ini mengajarkan saya sedikit kerendahan hati. Penyakit ini mengajarkan saya martabat, rasa hormat terhadap orang lain. Dan terkadang orang seperti saya, yang merupakan contoh ekstrem, membuat kita membutuhkan hal-hal seperti penderitaan ini, untuk dapat membuat perubahan, dan membantu membuat keputusan dalam hidup kita, untuk menjadi orang yang lebih baik, untuk menjadi manusia yang Tuhan ciptakan, sebagaimana ketika Dia mengirim kita ke planet ini.”
Kesimpulan
Melalui Father Stu, kita juga diingatkan bahwa spiritualitas bukanlah sesuatu yang terpisah dari kehidupan sehari-hari, melainkan esensi sejati keberadaan manusia. Dialog-dialog mendalam dalam film ini, membantu kita memahami bahwa setiap pengalaman manusiawi, baik suka maupun duka, adalah sarana untuk semakin dekat dengan Tuhan.
Jadi, refleksi apa yang dapat dibawa pulang? Tak lain tak bukan adalah kata-kata Romo Stu lagi: “Semua sifat lahiriah kita akan lenyap. Namun sifat batiniah kita akan diperbarui setiap hari.” Wow!
Henry C. Widjaja (Kontributor)