HIDUPKATOLIK.COM – Caritas et Sanitas (Kasih dan Kesehatan) adalah dua paham penting dalam peradaban Kristiani sepanjang zaman. Lalu bagaimana keduanya berhubungan? Kiranya bisa dikatakan begini: Insan pengasih suka membangun lingkungan dan persahabatan yang sehat secara lahir-batin. Ia tidak akan membuat keadaan menjadi buruk atau toxic. Adapun insan yang sehat, terutama jiwanya, kelihatan dari kemampuannya dalam mengasihi. Begitulah kasih dan kesehatan sebagai hasil proses penyembuhan berkelindan mewujudkan eksistensi manusia yang utuh baik secara jasmani maupun rohani.
Tentang sanitas (kesehatan) sudah ada banyak tulisan berisi nasihat dan tips dari banyak ahli dan spesialis di sekitar kita. Begitu juga renungan tentang caritas (kasih). Namun menyangkut relasi keduanya mungkin kali ini baik kita berpaling pada ajaran tentang hubungan manusiawi dari Martin Buber (1878-1965). Ia adalah seorang filsuf Austria keturunan Yahudi yang banyak menulis tentang hubungan intersubjektif manusia, kongkritnya hubungan sehat antar sesama manusia berdasarkan respek atau pengakuan penuh kasih pada sesama.
Menurut Buber, relasi manusia yang sehat perlu bersifat mutual atau timbal balik berdasarkan skema “Saya-Engkau” (I-Thou), bukan berdasarkan skema asimetris “Saya-Itu” (I-It), dimana orang lain dilihat sebagai “itu” (It, barang, objek), bukan sebagai “pribadi” (Engkau) yang dihargai. Relasi timbal balik ini, dalam pandangan Buber, terjadi dan terjalin dalam perjumpaan, di mana “saya” dan “engkau” saling menghargai satu sama lain, dan karena itu saling memberikan makna satu sama lain sebab di sana disadari dan dialami betapa berharganya sesama dalam peristiwa perjumpaan itu. Kita bisa katakan, dalam pandangan Buber, setiap perjumpaan dengan orang lain adalah rahmat dan amanat.
Disebut “rahmat” karena hal pengayaan itu merupakan sesuatu yang terberi dan perlu disyukuri. Adapun “amanat” menunjukkan bahwa masing-masing merasa bertanggungjawab agar pengayaan itu tidak rusak dan jatuh ke dalam sikap pengobjekan, melainkan saling memberikan kasih dan perhatian satu sama lain. Buber juga menekankan bahwa manusia tidak dapat diperlakukan seperti benda, dan hubungan yang manusiawi harus didasarkan pada rasa tanggung jawab, kasih, dan perhatian, sehingga “saya” dan “engkau” adalah makhluk yang meskipun berbeda, namun tetap sama pada hakikat kemanusiaannya dalam kesatuan tak terpisahkan.
Dewasa ini gejala sosial dan kemasyarakatan tampak kuat ditandai dengan sikap mengobjekkan sesama manusia sebagai komoditas, instrumen bahkan mangsa bagi demi tujuan subjektivku (Hobbes: homo homini lupus, – manusia adalah serigala bagi sesamanya), ajaran Buber ini amat relevan. Sebab ia mengembalikan manusia dan sesamanya kepada fitrahnya, yakni sebagai pribadi yang bermartabat.
Dalam istilah teologis, Buber mau mengembalikan keyakinan kita bahwa manusia adalah citra Allah yang harus diperlakukan dengan penuh hormat. Tujuannya adalah terciptanya harmoni dan damai dalam relasi manusia serta yang sehat berdasarkan peradaban respek dan kasih (Caritas et Sanitas) serta bermuara pada keutuhan hidupnya lahir-batin. Sehingga sesama manusia tidak saja mengalami kesehatan fisik tetapi mengalami penyembuhan rohani dengan relasi dalam diri sesamanya.
Dengan gagasan ini, sesama manusia tidak saja mengalami kesehatan fisik tetapi mengalami penyembuhan rohani, dengan relasi dalam diri sesamanya. Berkaitan dengan ini, Caritas dan Sanitas merupakan tema yang menjadi inti refleksi dari Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth (FSE, berdiri 1 Agustus 1880 di Breda, Belanda). Tepatnya pada tanggal 29 September 2025 yang akan datang, kongregasi yang didirikan oleh Sr. Mathilda Leenders, ini akan merayakan 100 tahun kehadiran dan masa baktinya di Indonesia.
Pada waktu itu (1925), suster-suster pertama dari Kongerasi ini telah datang ke Indonesia, utamanya di Keuskupan Agung Medan sekarang, sebagai jawaban atas kebutuhan Gereja dan Masyarakat di sana, utamanya dalam pelayanan kesehatan. Di kota inilah mereka telah mendirikan Rumah Sakit St. Elisabeth. Sejak itu kepercayaan mereka pada penyelenggaraan kasih Allah, menggerakkan mereka melayani Gereja dan manusia sebagai sesama dalam mewujudkan Caritas Et Sanitas tanpa mengenal lelah
Semoga gagasan filosofis Mathin Bubber dapat menjadi salah satu inspirasi dalam memahami dan mewujudkan Caritas Et Sanitas di tengah dunia yang semakin individualis dan ego-sentris. Semoga melalui karya-karya Kongregasi FSE berjalan dengan baik dalam model relasi “Saya-Engkau” (I-Thou), bukan “Saya-itu” (I-it).
Sr. M. Elisa Silaban, FSE, Mahasiswi STF Driyarkara, Program Study: Filsafat Teologi, Semester IV