HIDUPKATOLIK.COM – Aula SMA Tarakanita Gading Serpong bergema dengan harmoni suara dari 39 kelompok paduan suara yang turut ambil bagian dalam Festival Paduan Suara Gerejani (FESPARANI) 2025 pada hari Sabtu, 22/3/2025. Bukan sekadar ajang kompetisi, festival ini menjadi perayaan iman melalui musik liturgi, yang menyatukan hati dalam kebersamaan dan persaudaraan.
Mengusung tema “Dalam Rangka Mempererat Hubungan Antar SMA-SMK MPK KAJ, Kita Tingkatkan Semangat Kebersamaan dan Persaudaraan melalui Lagu-lagu Gerejani”, FESPARANI 2025 menegaskan kembali makna musik sebagai ungkapan spiritualitas yang memperdalam iman.
Merayakan Iman dalam Musik
Sejak awal, FESPARANI telah menjadi tradisi tahunan yang dinantikan sekolah-sekolah swasta Katolik. Tahun ini, panitia awalnya menargetkan 35 peserta, namun antusiasme yang tinggi membuat jumlah peserta meningkat menjadi 39 tim.
“Festival ini bukan hanya ajang perlombaan, tetapi sarana pembinaan karakter dan pendalaman iman,” ujar Hubertus Nugroho, Ketua MKS MPK SMTA, dalam sambutannya. Ia mengutip Santo Agustinus, “Qui bene cantat, bis orat”—barangsiapa bernyanyi dengan baik, ia berdoa dua kali (Confessiones, IX, 6). Musik liturgi, menurutnya, adalah salah satu bentuk doa yang paling indah, karena menggerakkan hati dan menyatukan umat dalam kebersamaan.
Festival ini terdiri dari empat sesi, di mana setiap tim membawakan dua lagu: satu lagu wajib Tuhan, Kami Persembahkan (acapella) dan satu lagu pilihan yang diiringi musik. Pilihan lagu meliputi:
- Terangi Hatiku
- Alleluia! Kami Puji NamaMu Tuhan
- Datanglah, Roh Kudus (sejenis/laki-laki)
- Salve Regina (sejenis-perempuan)
- KasihMu Tuhan
Setiap tim dinilai berdasarkan teknik vokal, harmoni, ekspresi, dan kreativitas oleh dewan juri yang terdiri dari musisi dan praktisi paduan suara gerejani:
- Natalis Natalianto
- Fransiskus Amri Waluyo
- Maria Michelle Rosaria
Harmoni yang Menyatukan
Salah satu momen paling mengesankan dalam FESPARANI 2025 adalah sesi berbagi ilmu bersama para juri. Natalis Natalianto memberikan coaching teknik vokal, sementara Maria Michelle Rosaria mengiringi sesi latihan bersama dengan musik. Suasana penuh kebersamaan tercipta, menunjukkan bahwa festival ini bukan hanya tentang memenangkan perlombaan, tetapi juga berbagi ilmu dan pengalaman.
Para juri memberikan masukan dari berbagai perspektif. Maria Michelle Rosaria, yang akrab disapa Bu Ocha, menyoroti peran penting seorang dirigen, terutama dalam menentukan akhir lagu. Ia menekankan bahwa saat menutup lagu dengan kata vokal seperti “U”, “E”, atau “I”, tangan dirigen tidak boleh langsung menutup rapat. Jika tangan dirigen langsung memberikan tanda diam, mulut peserta otomatis tertutup, sehingga suara terakhir terdengar terpotong, seperti pada lagu wajib dengan kata terakhir “Putra-Mu” yang bisa terdengar “Putra-Mu(m)” jika tidak diperhatikan dengan baik. Oleh karena itu, tangan dirigen harus tetap terbuka beberapa detik sebelum benar-benar menutup lagu.
Setelah Bu Ocha, Fransiskus Amri Waluyo memberikan masukan tentang dinamika dan ekspresi dalam membawakan lagu. Ia menekankan bahwa setiap kata dan kalimat dalam lagu harus diinterpretasikan secara mendalam agar pesan yang ingin disampaikan dapat dirasakan oleh pendengar. Teknik vokal yang baik saja tidak cukup, karena tanpa penghayatan, lagu bisa kehilangan makna spiritualnya. Para peserta diajak untuk tidak sekadar menyanyikan nada, tetapi juga menjiwai setiap lirik yang mereka bawakan.
Kemudian, Natalis Natalianto memberikan pembelajaran mendalam tentang teknik vokal yang baik. Ia menjelaskan bahwa suara yang dihasilkan dalam bernyanyi tidak hanya berasal dari mulut, tetapi juga harus diproduksi secara benar dari diafragma agar suara lebih bulat dan penuh. Untuk memperjelas konsep ini, ia langsung memberikan contoh dengan menyanyikan lagu wajib yang diciptakannya sendiri. Sebagai kejutan yang menyenangkan, ia kemudian mengajak seluruh peserta berdiri dan bersama-sama menyanyikan lagu tersebut, diiringi oleh Bu Ocha. Momen ini menjadi pengalaman yang menggugah semangat, di mana semua peserta bisa merasakan esensi musik liturgi secara lebih mendalam.
Kesaksian yang Menginspirasi
FESPARANI 2025 juga menciptakan pengalaman unik bagi peserta lintas agama. Salah satu peserta, Candice Laksmi Putri Hasbullah dari SMA Regina Pacis, yang beragama Muslim, berbagi kesan mendalamnya:
“Tentunya, mengikuti FESPARANI adalah pengalaman yang sangat berkesan bagi saya. Sebagai seorang Muslim, menyanyikan lagu-lagu rohani adalah sesuatu yang baru, tetapi justru di situlah letak keistimewaannya. Saya merasa bahwa musik adalah bahasa universal yang bisa menyatukan kita semua. Saya pun ikut serta dalam FESPARANI bukan hanya untuk mencoba hal baru, tetapi juga untuk ikut serta dalam membantu mewakili dan membanggakan nama baik sekolah. Semoga di FESPARANI 2026 nanti, Vox Regina bisa mendapatkan juara yang terbaik dan semakin terasa semangat kebersamaan antar anggotanya.”
Testimoni ini menunjukkan bagaimana musik gerejani mampu menjembatani perbedaan dan menjadi sarana persatuan.
Pemenang yang Berprestasi: Mengukir Harmoni dalam Doa
Setelah persaingan yang ketat, berikut adalah para pemenang FESPARANI 2025:
- Juara 1: SMA Kanisius – dengan harmoni yang menggetarkan hati.
- Juara 2: SMA Santa Ursula – dengan interpretasi lagu yang penuh penghayatan.
- Juara 3: SMA Abdi Siswa – dengan penampilan yang solid dan ekspresif.
- Juara Harapan 1: SMA St. Kristoforus 1 – dengan keseimbangan suara yang apik.
- Juara Harapan 2: SMA Fons Vitae 1 – dengan energi dan dinamika vokal yang menarik.
- Dirigen Terbaik: Kolese Kanisius – dengan gestur ekspresif dan presisi tinggi.
Penghargaan ini menegaskan bahwa FESPARANI bukan hanya soal menang atau kalah, tetapi tentang bagaimana iman dapat diungkapkan melalui seni yang indah.
Menatap Masa Depan
FESPARANI 2025 telah membuktikan bahwa musik gerejani bukan hanya ekspresi seni, tetapi juga jalan evangelisasi yang mempererat persaudaraan dan memperdalam spiritualitas. Sebagaimana tertulis dalam Sacrosanctum Concilium, dokumen Konsili Vatikan II: “Musik liturgi mempunyai fungsi yang lebih luhur daripada seni lainnya karena merupakan bagian hakiki dari perayaan liturgi yang khidmat” (SC, 112). Dengan partisipasi yang semakin luas dan antusiasme yang tak surut, festival ini diharapkan terus berkembang sebagai ajang inspirasi bagi generasi muda dalam menghayati iman melalui musik.
Harmoni dalam nyanyian bukan hanya ekspresi seni, tetapi juga cerminan persatuan dan doa yang dipanjatkan dalam kebersamaan. Seperti kata Santo Yohanes Paulus II: “Musik sakral menyatukan kita dalam pujian kepada Tuhan dan memperdalam pengalaman rohani kita.” Semoga FESPARANI terus menjadi ruang bagi generasi muda untuk bertumbuh dalam iman dan kebersamaan.
Laporan Yulius Maran, Praktisi Musik & Kepala SMA Regina Pacis