HIDUPKATOLIK.COM – Tepat pukul 10.15 pada 21 April 2025 Pummerin (lonceng utama di Stephansdom seberat 21 ton dengan diameter 3,14 meter) dibunyikan selama 7 menit, tanda meninggalnya seorang Paus. Sesaat setelah Konferensi Wali Gereja Austria menerima kabar dari Vatikan tentang kematian Paus Fransiskus. Semua bergerak cepat. Konferensi Wali Gereja Austria memerintahkan semua gereja di Austria untuk membunyikan lonceng selama 10 menit pada jam 17 waktu setempat untuk mengenang Paus Fransiskus dan jam 18 diadakan Perayaan Ekaristi untuk mendoakan Paus Fransiskus. Ekaristi ini dipimpin oleh Emeritus Christoph Kardinal Schönborn serta didampingi Administrator Apostolik, Joseph Grünwidl.

Berikut isi khotbah Emeritus Christoph Kardinal Schönborn dalam perayaan Ekaristi tersebut. Kardinal Schönborn adalah sahabat Paus Benediktus XVI.
“Inilah dasarnya,” kata Santo Paulus, “tempat iman kita berpijak: kematian dan kebangkitan Yesus.” Menyentuh rasanya, bahwa untuk kedua kalinya dalam 20 tahun terakhir, seorang Paus meninggal dalam misteri Paskah ini. Banyak yang masih ingat saat wafatnya Paus Yohanes Paulus II, bagaimana ia muncul dengan sisa tenaga di jendela pada Minggu Paskah, wajahnya sudah menunjukkan dampak penyakit Parkinson. Ia tak dapat berkata apa-apa lagi, hanya memberikan isyarat diam untuk berkat urbi et orbi.
Paus Fransiskus melalui masa sakit panjang dan berat selama berminggu-minggu. Kita semua khawatir apakah ia akan bertahan. Namun dengan seluruh energinya, ia ingin kembali ke Santa Marta, tempat ia tinggal selama masa kepausannya, di antara banyak orang.
Dan ia berhasil melakukan satu gestur penting pada Kamis Putih. Bukan membasuh kaki – secara fisik ia tak mampu lagi – tapi hadir di tengah para tahanan dan petugas di penjara besar Roma. Lewat tanda ini, ia ingin kembali menunjukkan apa yang penting baginya: bahwa mereka yang bersalah pun adalah manusia, saudara dan saudari kita. Todos, todos, todos! – “Semua, semua, semua!” katanya berulang kali. Semua manusia dikasihi Tuhan, semua adalah anak-anakNya.
Kemudian pada Minggu Paskah (20/4) kemarin, momen mengharukan saat ia masih bisa mengucapkan kata-kata berkat dan kemudian dibawa melewati kerumunan, nyaris tak bisa mengangkat tangan karena lemah. Dan pagi ini, kabar itu datang: ia telah kembali ke rumah Bapa.
Keduanya meninggal dalam misteri Paskah, Yohanes Paulus II dan Paus Fransiskus. Yohanes Paulus II masih hidup selama pekan Paskah hingga Sabtu menjelang Minggu Kerahiman Ilahi. Fransiskus berpulang di awal pekan Paskah. Saudari-saudara, itu saja sudah menjadi pesan kuat. Apa dasar iman kita? Salib, penderitaan, kematian – ya, semua itu nyata. Tapi itu bukan akhir. Itu bukan kata terakhir. Kata terakhir adalah kebangkitan.
Saudari-saudara, saya ingin mengajak Anda menelusuri kisah Emmaus dan melihatnya dalam terang misteri ini dan dalam kaitan dengan Paus Fransiskus. Karena Paus Fransiskus adalah seorang Yesuit, maka khotbah ini juga memiliki tiga poin, seperti yang disukai para Yesuit. Saya masih ingat khotbah pertamanya setelah konklaf, saat ia merayakan misa di Kapel Sistina bersama para Kardinal pemilih – ia juga menyampaikan tiga poin.
Pertama, Yesus berjalan bersama para murid yang bingung, terguncang dan kehilangan arah. Ia berjalan bersama mereka di jalan. Saya memikirkan Jorge Mario Bergoglio kecil, anak imigran Italia yang tumbuh di Argentina. Sejak kecil Yesus telah berjalan bersamanya, entah ia sadar atau tidak. Pendampingan Yesus inilah yang menopang dan menyertai hidup kita. Tapi mereka tidak mengenaliNya.
Pendampingan yang tidak dikenali ini adalah pesan penting Injil, yaitu bahwa Tuhan berjalan bersama kita, entah kita menyadarinya atau tidak. Dan dalam keyakinan ini, Fransiskus memiliki kepercayaan besar bahwa semua manusia adalah anak-anak Allah. Dari sikap dasar inilah ia berani berdialog dengan umat Muslim. Dalam Deklarasi Abu Dhabi bersama Sheikh al-Tayyeb, pemimpin tertinggi Sunni, mereka menyatakan persaudaraan universal umat manusia. Kita semua adalah satu keluarga manusia. Dalam pandangan ini – bahwa Allah menyertai setiap orang – Paus yakin bahwa dialog itu mungkin, bahkan di tengah segala perbedaan.
Kedua, dalam perjalanan itu, Yesus menjelaskan Kitab Suci. Kisah hidup kita seperti proses lambat untuk mengungkap dan memahami pendampingan Allah. Para murid tidak mengerti. Mereka bingung. Apa arti semua ini? Kita pun sering mengalami hal yang sama. Tapi Yesus menyertai kita dan dengan hati-hati membuka makna rencana Allah dalam hidup kita.
Ketiga, sebuah gestur penting bagi Paus Fransiskus. Sang penyerta adalah orang asing bagi para murid. “Apakah engkau satu-satunya di Yerusalem yang tidak tahu apa yang terjadi?” tanya mereka. Orang asing itu berpura-pura ingin melanjutkan perjalanan. Tapi para murid mengundangnya: “Tinggallah bersama kami, hari sudah malam.” Mereka bersikap ramah. Keramahtamahan terhadap orang asing ini bagi Fransiskus adalah kunci besar untuk menjumpai Kristus.
Berapa kali ia berkata: “Lihatlah para pengungsi, tunawisma, orang miskin. Mereka saudara dan saudari kita. Mereka bagian dari kemanusiaan yang sama. Pernahkah kalian membayangkan seperti apa rasanya menyeberangi lautan demi keselamatan sebagai pengungsi, dengan risiko tenggelam di tengah jalan?”
Apa yang Paus Fransiskus lakukan setelah terpilih? Perjalanan pertamanya di Italia bukan ke Assisi atau Loretto, tapi ke Lampedusa – tempat para pengungsi berusaha menginjakkan kaki di tanah Italia demi masa depan yang lebih baik. Ia sering dituduh naif. Bahwa ia kurang memahami drama imigrasi dan kehadiran orang asing. Tapi ia tetap teguh. Ia mengingatkan kita: “Tanpa keramahtamahan, tanpa hati terbuka bagi mereka yang datang dari kesesakan, kita tidak bisa menjumpai Yesus.”
Itu sangat menuntut. Ia banyak dikritik. Tapi ia hanya mengingatkan bahwa kita semua adalah anak manusia. Itu belum menjawab bagaimana integrasi dan sistem pengungsi harus diatur secara administratif. Itu semua penting. Tapi bagi Paus Fransiskus, hati selalu tertuju pada kaum miskin, mereka yang terpinggirkan – bahkan karena kesalahan mereka sendiri. Dan ia sering berkata: Gereja harus pergi ke pinggiran.
Selama pra-konklaf, sembilan hari menjelang pemilihan Paus, para Kardinal berkumpul setiap hari. Kardinal Bergoglio memberikan pidato singkat yang sangat menggugah. Ia berkata: “Yesus berkata: Aku berdiri di depan pintu dan mengetuk.” Lalu ia menambahkan: “Ya, Kristus mengetuk lagi – tapi dari dalam – dan berkata: ‘Bukalah pintu, keluarlah kepada manusia.’” Kata-kata itu mungkin membuat banyak Kardinal memilihnya sebagai Paus.
Pergilah kepada orang asing. Orang asing yang berjalan dengan dua murid Emmaus itu ternyata adalah Yesus, yang mereka kenali saat Ia memecahkan roti. Mata mereka terbuka dan mereka mengenali-Nya.
Saudari-saudara, sekarang kita merayakan Ekaristi. Roti akan dipecah bagi kita. Yesus yang bangkit hadir di tengah kita. Ia menyertai kita sejak kecil, membuka makna hidup kita, dan menjumpai kita dalam diri orang asing yang tidak boleh kita abaikan. Maka akan terjadi perjumpaan Paskah, dan kita akan merasakan apa yang dirasakan dua murid itu: “Bukankah hati kita berkobar-kobar saat Ia menjelaskan Kitab Suci di perjalanan?”
Hati yang berkobar itulah yang sangat diinginkan Paus Fransiskus untuk kita semua. Semoga kini, dari rumah sejatiNya, Paus Fransiskus menolong kita untuk berjalan bersama Yesus dengan hati yang berkobar.
Bene Xavier dari Wina, Austria