HIDUPKATOLIK.COM – Dunia berduka atas wafatnya Paus Fransiskus. Ia bukan hanya pemimpin tertinggi umat Katolik, tetapi juga suara nurani global di tengah dunia yang kerap kehilangan empati. Dalam lebih dari satu dekade pelayanannya sebagai Paus, ia menjelma sebagai gembala yang berjalan bersama umat manusia, terutama mereka yang tersingkir, tertindas, dan dilupakan.
Paus Fransiskus dikenal sebagai pemimpin yang rendah hati, sederhana, dan dekat dengan kehidupan nyata. Ia memilih tinggal di wisma tamu Vatikan daripada menempati Istana Kepausan. Ia menyapa umat tanpa jarak, mencium kaki para tahanan, menemui tunawisma, dan berbicara langsung pada mereka yang selama ini tak bersuara. Tapi lebih dari itu, ia berani. Ia lantang menyoroti ketidakadilan global, menjadi pembela kaum miskin, dan mengingatkan dunia akan urgensi menghadapi krisis iklim, jauh sebelum hal itu menjadi arus utama pembicaraan politik.
Dalam konflik yang berkepanjangan di Timur Tengah, Paus Fransiskus secara konsisten menunjukkan keberpihakan pada martabat manusia, termasuk dalam membela hak-hak rakyat Palestina. Ia tak ragu menyebut Palestina sebagai “negara”, dan menyerukan solusi damai yang adil bagi kedua pihak. Ia juga mengecam segala bentuk kekerasan yang menimpa warga sipil tak berdosa, baik di Gaza maupun wilayah lainnya. Dalam berbagai kesempatan, ia menyerukan penghentian perang, gencatan senjata kemanusiaan, dan mendorong dunia internasional agar lebih aktif menyuarakan keadilan bagi Palestina. Suaranya menjadi gema harapan bagi banyak orang yang merasa dilupakan oleh dunia.

Paus Fransiskus juga dikenal memiliki hubungan yang sangat hangat dengan umat Islam. Ia adalah Paus pertama yang mengunjungi Jazirah Arab, dan dalam kunjungannya ke Uni Emirat Arab pada 2019, ia menandatangani Dokumen Persaudaraan Manusia bersama Imam Besar Al-Azhar, Ahmed el-Tayeb, sebuah piagam bersejarah tentang perdamaian, toleransi, dan hidup berdampingan antarumat beragama. Piagam itu menjadi dasar dari Hari Persaudaraan Manusia Internasional yang kini diperingati setiap 4 Februari.
Di Indonesia, kenangan akan Paus Fransiskus akan selalu tertinggal dalam kunjungannya pada 2024. Ia bertemu Presiden Joko Widodo dan tokoh-tokoh lintas agama, mengunjungi Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral Jakarta, dua rumah ibadah yang kini dihubungkan oleh Terowongan Silaturahim. Kunjungan itu menjadi simbol kuat tentang pentingnya membangun jembatan, bukan tembok; membangun dialog, bukan kecurigaan. Dengan hasil Deklarasi Istiqlal sebagai bentuk ketulusan beliau untuk lintas iman dan pekerjaan rumah yang besar bagi negara ini untuk mengimplementasikannya.
Namun warisan terbesar Paus Fransiskus justru terletak pada keberaniannya menghadapi kerapuhan Gereja sendiri. Di bawah kepemimpinannya, berbagai skandal pelecehan seksual yang selama ini ditutup-tutupi mulai diungkap ke publik. Ia meminta para uskup dan imam bertanggung jawab, serta mengarahkan Gereja untuk berpihak pada korban, bukan pada institusi. Ia membuka luka demi penyembuhan. Ia mengajarkan bahwa iman sejati tidak takut mengakui kegagalan.

Motto kepausannya, “Miserando atque eligendo”, dilihat dengan belas kasih dan dipilih” merangkum semangat pelayanannya. Ia menghidupi kasih sebagai jalan, bukan sekadar ajaran. Ia menulis Laudato Si’ tentang keutuhan ciptaan, Amoris Laetitia tentang cinta dalam keluarga, Christus Vivit untuk kaum muda, dan tak pernah lelah mengingatkan bahwa kerahiman Allah lebih besar dari kesalahan manusia.
Kini, setelah membuka Tahun Yubileum 2025 juga merayakan Paskah sebagai manusia, Paus Fransiskus telah menyelesaikan peziarahan hidupnya. Ia membuka “Pintu Suci” di dunia dan melangkah menuju Sang Pintu Suci sejati, Kristus sendiri.
Terima kasih, Paus Fransiskus. Untuk teladan iman yang hidup, untuk keberanianmu bersuara, dan untuk kasihmu yang melintasi batas agama dan negara. Dunia kehilangan sosok besar hari ini, namun warisanmu akan terus mengalir: di antara kaum tertindas, di antara suara-suara yang selama ini dibungkam, dan di hati siapa pun yang terus percaya pada kemanusiaan.
Ad vitam aeternam, Paus Fransiskus. Terangmu tak akan padam.
Alexander Philiph Sitinjak
Penulis merupakan Aparatur Sipil Negara di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan sebagai Auditor, sekarang aktif di Departemen Politik dan Hubungan Antar Lembaga Presidium Pusat Ikatan Sarjana Katolik, Ketua Bidang Lintas Iman Perkumpulan Alumni Margasiswa Republik Indonesia, Dewan Pertimbangan PMKRI Cabang Bogor dan pernah menjadi Wakil Sekretaris Lembaga Pengkajian Kebijakan Publik Pengurus Pusat Pemuda Katolik 2018-2021.