HIDUPKATOLIK.COM – Kita hidup di zaman ketika ponsel tidak lagi sekadar alat komunikasi, tetapi sudah menjadi “sahabat setia” yang kita bawa bahkan sampai ke altar doa pribadi. Media sosial—Instagram, TikTok, WhatsApp, dan YouTube—mendominasi waktu luang remaja Katolik. Tidak jarang, bahkan waktu untuk berdoa, membaca Kitab Suci, atau hadir di Misa menjadi tergeser oleh notifikasi yang terus berbunyi.
Fenomena ini mengingatkan kita akan pesan Rasul Paulus, “Segala sesuatu halal bagiku, tetapi aku tidak membiarkan diriku diperhamba oleh suatu apa pun” (1 Kor 6:12). Media sosial bukan musuh, tetapi jika tidak dikelola, ia dapat memperbudak dan membuat hati remaja semakin jauh dari Tuhan.
Media Sosial: Jembatan atau Jurang?
Media sosial memiliki dua sisi. Di satu sisi, ia bisa menjadi jembatan yang menolong remaja bertumbuh dalam iman. Banyak akun rohani, siaran live Misa, renungan harian, dan komunitas online yang membangkitkan semangat doa. Namun di sisi lain, ia juga bisa menjadi jurang yang menjerumuskan ke dalam arus konsumerisme, kesombongan diri, perbandingan sosial, dan bahkan konten yang bertentangan dengan nilai iman Katolik.
Yesus sendiri mengingatkan kita, “Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada” (Mat 6:21). Jika hati remaja lebih terpaut pada “likes” dan “followers” daripada kasih Allah, maka media sosial sudah menjadi altar baru yang menggantikan Tuhan.
Pengaruh terhadap Pola Doa dan Kehidupan Rohani
Remaja Katolik yang terlalu sering terpapar media sosial cenderung mengalami distraksi rohani. Doa menjadi terburu-buru, Misa terasa membosankan, dan Kitab Suci jarang dibaca. Pikiran mereka dipenuhi tren, musik viral, atau gosip online.
Namun, media sosial juga bisa dimanfaatkan untuk menghidupkan pola doa yang kreatif. Misalnya, mengikuti akun yang membagikan ayat harian, mendengarkan podcast rohani, atau bergabung dalam tantangan doa daring. Yang penting adalah kesadaran: media sosial hanyalah alat, bukan tujuan. Ketika remaja dilatih untuk “menguduskan” media sosial—misalnya dengan membagikan kutipan Kitab Suci atau kesaksian iman—maka platform itu bisa menjadi ladang misi yang luar biasa.
Tantangan Moral dan Pertumbuhan Karakter
Media sosial tidak hanya memengaruhi iman, tetapi juga moral dan karakter. Arus informasi yang cepat dapat membuat remaja mudah terprovokasi, mudah percaya hoaks, atau terbawa arus ujaran kebencian. Selain itu, budaya pamer dan validasi instan bisa mengikis kerendahan hati dan kesederhanaan yang diajarkan Yesus.
Gereja mengajarkan bahwa perkembangan rohani selalu berjalan seiring dengan pembentukan karakter. Remaja Katolik dipanggil untuk bersikap kritis, memilah informasi, dan tidak mengikuti tren yang bertentangan dengan ajaran iman. Orang tua, pendidik, dan pembina OMK memiliki peran penting untuk menjadi “filter rohani” bagi mereka.
Menguduskan Jejak Digital: Ajakan Bertindak
Saudara-saudari muda yang terkasih, media sosial adalah bagian dari hidup kita. Tidak mungkin kita menghindarinya sepenuhnya, tetapi kita bisa menggunakannya untuk kemuliaan Tuhan. Mulailah dari hal sederhana: atur waktu penggunaan, beri ruang untuk hening tanpa gawai, dan pilih konten yang membangun iman. Jadikan akun kita sebagai terang yang menyinari dunia digital—bukan sebagai sumber kegelapan atau batu sandungan.
Sebagai remaja Katolik, mari kita bersatu dengan sabda Yesus yang memanggil kita menjadi garam dan terang dunia, juga di dunia maya. Mari kita jadikan setiap postingan sebagai kesaksian iman, setiap komentar sebagai ungkapan kasih, dan setiap “share” sebagai sarana pewartaan Injil. Dunia sedang menanti remaja Katolik yang berani menguduskan ruang digital. Saatnya kita bergerak, bukan hanya sebagai pengguna, tetapi sebagai pewarta Kristus di era media sosial.

Pastor Yudel Neno, Wakil Sekretaris Komisi Kepemudaan Keuskuapan Atambua, NTT






