HIDUPKATOLIK.COM – Peristiwa budaya ini adalah bagian rangkaian “Jubilee is Culture.” Seperti keterangan pers elektroni yang diterima Redaksi malam ini dari Duta Besar RI untuk Takhta Suci, Trias Kuncahyono, pameran budaya ini yang diselenggarakan Dikasteri Evangelisasi ini digelar lengan kiri barisan tiang-tiang marmer karya seniman besar zaman Renaisans, Gian Lorenzo Bernini (1598 – 1680).
Dalam pemeran ini ditampilkan lebih dari 132 gua natal karya para seniman dari 23 negara, termasuk Indonesia. Negara lain yang ambil bagian antara lain Italia, Kroasia, Spanyol, San Marino, Ukraina, Irlandia, Slovenia, Hungaria, Polandia , Estonia, Jermam, Slovakia, Republik Cek, Austria, Rusia, AS, Kolombia, Taiwan, Venezuela, Filipina, Guatemala, dan Paraguay.

Sejak 2018, salah satu aspek perayaan Natal Vatikan adalah pameran “100 Presepi in Vaticano”. Pameran ini adalah tradisi Romawi yang ditampilkan mulai tahun 1976. Dan di masa kepausan Paus Fransiskus, tahun 2018 dipindahkan ke Vatikan dan menyatukan lebih dari 100 diorama Natal dari seluruh dunia.
Pameran ini menggarisbawahi apa yang dikatakan Fransiskus sebagai alasan perayaan Natal: untuk menolak “masyarakat yang begitu sering terbius oleh konsumerisme dan hedonisme, kekayaan dan kemewahan” dan untuk berfokus pada bayi Kristus, yang “memanggil kita untuk bertindak bijaksana, dengan kata lain, dengan cara yang sederhana, seimbang, konsisten, mampu melihat dan melakukan apa yang esensial.”
Papermoon
Partisipasi Indonesia lewat karya seniman Maria Tri Sulistyani dari Papermoon Puppet Theatre, Yogyakarta, menjadi momen bersejarah karena bertepatan dengan 75 tahun Hubungan Diplomatik antara Indonesia dan Takhta Suci. Depegasi Indonesia ke “The International Exhibition ‘100 Presepi in Vaticano’” ini, dipimpin oleh Nina Handoko.
Melalui kehadiran di pameran instalasi nativitas bergengsi ini, Indonesia tidak hanya menampilkan kekayaan seni dan budaya, tetapi juga menegaskan peran penting diplomasi budaya dalam mempererat persahabatan antarbangsa.

Papermoon menafsirkan kisah kelahiran Yesus dengan embal visual yang puitis dan menyentuh, menggabungkan estetika teater boneka, seni rupa, dan instalasi ruang.
Dengan pendekatan yang intim dan imajinatif, Papermoon menghadirkan narasi yang relevan
bagi penonton lintas usia dan lintas budaya, sekaligus membuka ruang dialog tentang kemanusiaan, harapan, dan solidaritas.
Partisipasi Indonesia dalam pameran ini juga melibatkan Program Studi Kajian Budaya, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, yang berperan dalam pendalaman konseptual, riset
budaya, serta kerangka teologis dan sosial dari karya instalasi. Melalui perspektif kajian budaya, tim Sanata Dharma membantu merumuskan bagaimana narasi Natal dapat “diterjemahkan” ke dalam konteks Indonesia—sebagai negara kepulauan yang majemuk, beragam budaya, dan berlandaskan semangat keadilan sosial.
Keterlibatan kampus ini—diwakili Romo Budi Subar SJ dan Stanislaus Sunardi—sekaligus menjadi wujud kolaborasi antara dunia akademik, seniman, dan diplomat dalam kerja diplomasi budaya yang berkelanjutan.
“Waving Hope”
Sebagaimana motto Jubileum 2025 ini, “Peregrini in Speranza” atau “Penziarah Pengharapan”, instalasi nativitas karya Maria Tri Sulistyani ini diberi judul “Waving Hope”, Menenun Pengharapan.

Karya instalasi nativitas berukuran 135 x 135 x 65 cm (tanpa stand), berbahan kayu, triplex, kertas, kain tenun, dan benang ini, mengangkat kisah perjuangan para ibu penenun di Mollo, Nusa Tenggara Timur. Mereka selama ini merawat alam dan identitas budaya melalui tradisi menenun.
Dalam instalasi ini, kelahiran Yesus dihadirkan bukan di embali di Betlehem, seperti embali besar instalasi lainnya. Tetapi, dimaknai ulang dalam lanskap pegunungan batu Mollo; di tengah embalin- embalin penenun yang
hidup sederhana, sering terpinggirkan secara ekonomi, namun kaya martabat dan kebijaksanaan.
Kata Romo Budi Subanar SJ, yang menggagas instalasi nativitas dari Indonesia dan juga Ketua “Steering Committee” delegasi Indonesia, narasi ini merefleksikan pesan inti Natal: Yesus yang lahir 2.000 tahun lalu di tengah kaum kecil dan marginal, hadir embali hari ini di tengah mereka yang terus berjuang mempertahankan tanah, air, hutan, dan warisan budaya demi generasi mendatang.
Tangan Terbuka
Dengan demikian, nativitas Indonesia bukan hanya dekorasi religius, melainkan kesaksian tentang bagaimana iman, keadilan sosial, dan keberlanjutan budaya saling bertaut.
Karya instalasi berupa tangan terbuka yang menopang Keluarga Kudus. Mengapa tangan?Tangan melambangkan aksi; tangan melambangkan sebuah gerakan, kehidupan.
Kata Maria, tangan yang menopang Keluarga Kudus ini, adalah tangan-tangan yang mendukung dan menemani, tangan para
penenun, petani, tangan para gembala, tangan para penjual sayur, tetapi juga tangan tiga orang majus yang datang dari jauh dan membawakan hadiah.
“Tangan ini juga melambangkan bahwa kebaikan datang jika kita mau memulainya,” jelas Maria.
Bukan Sekadar Dekorasi
“Dunia yang kita tinggali hari ini bukanlah dunia yang tengah dalam keadaan baik-baik saja. Hutan-hutan yang sedianya menjadi paru-paru dunia, pepohonan yang memampukan seluruh makhluk hidup untuk bernapas, ditebang habis, digantikan dengan kehadiran alat-alat berat yang membuat lubang ke dalam perut bumi,” kata Maria Tri Sulistyani, Pendiri dan Direktur Artistik Papermoon Puppet Theatre, Indonesia.
Lewat karya instalasinya, Maria ingin mengatakan, hutan yang sedianya menjadi tempat jutaan spesies makhluk hidup tinggal, dibabat habis, digantikan oleh tumbuhan satu jenis. Jangan tanya lagi ke mana jutaan spesies itu berpindah. Mereka mati, mereka punah.
“Bumi yang kita tinggali hari ini, bukanlah tempat hidup yang sedang dalam kondisi baik-baik saja. Ribuan tahun yang lalu, Yesus juga lahir di tempat yang tidak baik-baik saja, Ia lahir di sebuah kandang, dan dalam bayang-bayang teror Herodes yang ingin membunuhnya. Jika bisa memilih, tak akan ada seorang perempuanpun mau memilih kandang sebagai tempat melahirkan,” katanya.

Kitab Suci menjelaskan, Yesus lahir di antara orang-orang yang kesusahan. Ia hadir ditengah ketidakadilan. “Jika saya boleh menggambarkan peristiwa kelahiran Yesus, dan melihatnya dengan peristiwa hari ini, Keluarga Kudus hari ini ditemani oleh Mama-Mama penenun kain dari Mollo,” tutur Maria.
Dalam karya ini, Maria “meminjam” tenun dari Mollo untuk membalut Keluarga Kudus. Mollo adalah sebuah kota kecamatan yang terletak di NTT. Mollo sendiri artinya adalah perempuan dari gunung; orang-orang yang ditugaskan oleh leluhur untuk menjaga batu, mata air dan hutan.
Para perempuan Mollo maju ke garis depan, berjuang melawan tambang bukan tanpa alasan. Merusak alam berarti mengganggu keseimbangan mereka menjalankan tugas menjaga ruang hidup dan sumber pengetahuan yang sekaligus identitas diri.
Papermoon Show
Patung instalasi nativitas karya Maria juga dipentaskan dalam bentuk teater boneka oleh Papermoon Puppet Theatre. Pentas teater boneka dilakukan dua kali.
Pertama di KBRI Takhta Suci yang ditonton oleh sejumlah duta besar dan diplomat antara lain dari Korsel, Rusia, Iran, perwakilan United Nations Women’s Guild, para romo, dan umat paroki. Penampilan kedua di Colegio Verbo Divino (Kolegio SVD) yang dihadiri para romo dan suster anggota IRRIKA dan Rehat.
Pertunjukan teater boneka selama 20 menit dimainkan oleh Maria (yang memainkan boneka dan yang diberi nama Mama Tua) dan Kinanti Sekar Rahina (dari Sanggar Seni Kinanti Sekar) yang memeragakan tarian mama-mama yang berjuang melawan perusakan gunung oleh penambangan dan mama-mama Mollo yang menenun kain di Kaki Gunung Mutis.
Tarian itu menggambarkan perempuan Mollo menenun selama berbulan-bulan di bawah kaki Gunung Mutis, yang ditambang oleh perusahaan tambang batu marmer sejak tahun 1999. Warga Mollo melawan karena gunung batu yang hendak ditambang adalah gunung batu yang menjadi identitas masyarakat Mollo. Ketika gunung batu itu dihancurkan, maka asal muasal leluhur lenyap.
Menambang gunung batu akan menyebabkan hilangnya akses rakyat terhadap air dan lahan pertanian, serta lenyapnya gunung batu yang merupakan situs masyarakat adat.
“Bagi saya kain tenun ini menjadi lambang perlawanan, dan juga upaya manusia untuk melawan keserakahan manusia lain,” kata Maria.
Sumber: Siaran Pers KBRI Takhta Suci/fhs





