Kepala SMA Regina Pacis Surakarta, Rosalia Widiastuti: Tetap Teruji dan Terpuji

727
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – Bagi SMA Regina Pacis Surakarta, merawat anak adalah hal terutama dan utama selain menerapkan disiplin. Melalui sistem pembelajaran yang terpadu didukung dengan sentuhan spiritual dan moral serta semangat Serviam, sekolah ini mampu mencapai usia 70 tahun.

Perjalanan 70 tahun SMA Regina Pacis Surakarta banyak menemui tantangan dan juga berkat. Sejak didirikan pada 17 Juli 1951, sekolah yang juga dikenal dengan nama SMA Ursulin ini terus berkomitmen untuk setia merawat anak didik mereka. Semua murid dirangkulnya agar mampu bertumbuh dan berkembang baik dari sisi akademis, sosial, maupun spiritual. Bagaimana sekolah ini akan melangkah? Berikut nukilan wawancara dengan pendidik kelahiran Klaten, 15 Juli 1967 saat dihubungi HIDUP via zoom pada Jumat, 28/5/2021.

Sejak kapan Ibu memimpin SMA ini?

Sejak Juli 2019. Ini memang terasa berat karena perpindahan kepemimpinan dari seorang biarawati ke awam, walaupun saya awam yang kedua. Pemimpin pertama awam adalah Ibu Maria Budi Priyati. Tentu perasaan “pakewuh” ‘sungkan’ itu ada. Apalagi sekolah ini adalah sekolah besar dan favorit di Kota Solo. Namun dengan kepercayaan yang diberikan Suster Veronica Sri Andayani, OSU dan teman-teman dalam menjalankan tugas ini, saya berusaha semaksimal mungkin memberikan yang terbaik bagi sekolah.

Mengapa terjadi peralihan kepemimpinan dari biarawati ke awam?

Kebijakan ini terjadi karena sekarang panggilan memang sulit. Untuk memimpin SMA ini pun dibutuhkan seorang suster yang memenuhi kriteria tertentu. Nah, karena semakin sedikitnya panggilan, maka awam diserahkan untuk memimpin. Ini adalah kebijakan dari Ursulin sendiri.

Pengalaman berkesan apa yang Ibu dapatkan selama memimpin di sini?

Selalu didukung dan mendukung adalah yang paling berkesan. Misalkan, ketika kami harus mengubah metode mengajar menjadi virtual. Dalam waktu dua minggu kami mempersiapkannya di bulan Juni 2020. Kami bekerja sama dalam pelatihan dan memutuskan untuk menggunakan platform Office 365. Semua teman bergerak dan ini bisa terlaksana. Inilah kesan paling membekas saat pertama kali beralih metode di masa pandemi. Para anak murid juga bisa langsung menyesuaikan. Dari sini saya mengambil pesan bahwa segala sesuatu yang dilakukan bersama dengan sukarela akan membuahkan sesuatu yang baik. Jika melakukan bersama-sama semuanya akan menjadi ringan.

Karena Ibu mencecap pengalaman memimpin di dua situasi yang berbeda, apa tantangan yang dihadapi para pendidik saat ini?

Saat ini kita mendidik anak-anak digital. Ini tentunya berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Jika dahulu anak dilarang membawa handphone (hp) sekarang anak hidup dengan hp. Untuk itu, kami mencari terobosan bagaimana supaya anak memanfaatkan hp untuk belajar. Nah, pada saat ini yayasan memberikan peluang kepada kami untuk pelatihan bersama Indra Charismiadji, konsultan kami, bagaimana pembelajaran yang tidak membebani anak sebab di saat pandemi jika diberikan terlalu banyak tugas anak akan rentan stres. Maka dari itu, pembelajaran dijadikan satu menggunakan model “Integrated Learning” (IL) atau pembelajaran terpadu. Ini bertujuan agar beban belajar anak semakin berkurang tetapi komponen dasar yang ada di dalam materi itu tercapai.

Dalam metode IL pelajaran dibuatkan tema. Tema itu dipecah lagi dan menjadi indikator dari tiap mata pelajaran (mapel). Dari sini, anak akan menghasilkan suatu karya yang mencakup beberapa mapel yang dielaborasi. Kegiatan ini pun juga menanggapi tantangan abad 21 karena kami harus mengakarkan empat ketrampilan yang harus dikuasai anak, yakni: berkolaborasi, mereka tidak bertemu tetapi bisa bekerja sama; berkomunikasi satu sama lain untuk menelurkan karya yang baik; belajar kritis, melalui pemberian literasi. Ini penting karena literasi di Indonesia sangat kurang; kreatif, dari proses berliterasi mereka akan diberikan pertanyaan yang menyangkut pelajaran kemudian mereka berdiskusi untuk menelurkan suatu karya. Ini bisa dalam rupa komik, vlog, cerita pendek, atau karya tulis.

Guna mendukung ini, kami juga baru saja belajar bersama Prof. Eko Indrajit bagaimana belajar menjadi suatu keinginan anak sendiri. Kita diajarkan menggunakan “game”, kan anak senang dengan permainan. Nah, kita diajari bagaimana kita membuat “game” yang isinya adalah mapel yang harus diberikan ke anak.

Bagaimana dengan siswa, apa yang menjadi tantangan mereka?

Dari siswa tentunya sinyal. Ada satu anak dari Papua yang karena situasi tidak bisa ikut Penilaian Akhir Tahun (PAT) karena sinyal tidak ada. Maka, sekolah memberi kebijakan PAT akan benar-benar dilaksanakan ketika anak benar-benar ada sinyal. Kemudian, untuk keputusan kenaikan kelas, rapot akan berbeda dengan temannya karena situasi. Selain itu, kesusahan menangkap pelajaran juga kerap terjadi. Maka kami juga terbuka. Jika memang anak membutuhkan untuk bertemu dengan gurunya dan orangtua sudah kewalahan kita terbuka. Orangtua akan membuat surat permintaan untuk belajar di sekolah dan kami akan terima dan temani.

Bagaimana dengan Bimbingan Konseling (BK) apakah masih dijalankan di masa pandemi ini?

Pendampingan BK tetap ada jadwalnya. Sekolah punya web untuk pendampingan anak-anak khusus. Misalnya, ada murid yang malu untuk terbuka dengan temannya maka BK akan melayani melalui web. BK akan chat dan video call sendiri dan anak-anak itu suatu saat akan dipanggil untuk bertemu di sekolah. Jadi kita berbicara dari hati ke hati dengan orangtua maupun anak tentang permasalahan yang dihadapi. Jika memang dipanggil untuk datang, kita akan mengadakan “Home Visit” ke rumah. Walaupun di masa pandemi, “Home Visit” tetap dilakukan terlebih jika si anak sulit untuk di bimbing. “Home Visit” biasanya dilakukan wali kelas bersama BK. Kunjugan ini dalam lingkup Solo Raya saja. Jika ada masalah pribadi dan memang membutuhkan psikolog maka akan kita arahkan ke psikolog yang bekerjasama dengan sekolah.

Sekolah sangat peduli juga dengan kesehatan mental anak ya bu?

Ya, karena memang kita dididik dari dulu untuk merawat anak. Jadi anak-anak yang bermasalah itu kita rawat baik-baik supaya menjadi anak yang lebih baik.

Visi SMA Regina Pacis (Recis) adalah menjadikan murid pribadi yang humanis. Bagaimana cara mewujudkannya sementara interaksi langsung belum bisa dilakukan?

Untuk pendidikan moral kita tetap berikan secara virtual bekerja sama dengan Perguruan Tinggi. Misalnya bagaimana bergaul dengan benar. Di kelas X ada namanya edukasi seks  tentang bagaimana menghargai diri sendiri. Ini bekerja sama dengan universitas di Salatiga. Kemudian, kita juga bekerja sama dengan Petra dan Binus untuk memberikan materi tentang karakter. Selain itu, ada juga dengan romo untuk pendidikan karakter seperti retret dan acara live in walaupun tidak bisa, tetap diadakan secara virtual dalam kemasan lain.

Sebelum pandemi, untuk anak kelas X ada program untuk melatih mereka peduli dengan masyarakat sekitar. Caranya, dengan menyebar ke pasar dekat sekolah untuk membantu pedagang berjualan di siang hari. Setelah itu, mereka kembali ke sekolah untuk refleksi. Menuliskan apa yang mereka alami. Di situ mereka akan belajar menghargai bagaimana sulitnya mencari uang dan tidak menghambur-hamburkan uang.

Apa kekhasan SMA Recis?

Kekhasan pertama Recis nomor satu di Jawa itu disiplin karena bagi kami kedisplinan dijunjung tinggi. Jadi segala sesuatu kita ada aturannya. Namun yang terpenting adalah merawat anak. Pendampingan anak  merupakan kepercayaan yang diberikan orangtua kepada kami bahwa di sekolah ini anak-anak sungguh dirawat.

 Bagaimana pendidik dibekali ilmu merawat anak?

Ini dari pembekalan suster bahwa anak-anak itu adalah anak-anak Allah. Kami dititipi anak-anak Allah. Untuk itu, bagaimanapun juga kita tempatkan mereka seperti anak kita sendiri. Maka guru akan meluangkan waktu. Totalitas dalam mendidik juga karena didasari semangat “Serviam” (Saya Mengabdi). Ini menjadi kekuatan bagi kami untuk melangkah bersama bahwa kami semua di sini karena untuk mengabdi.

 Inovasi seperti apa yang akan dikembangkan?

Tahun ajaran ini akan mengembangkan “Learning Management System”. Kurikulum ini tidak akan lepas dari kurikulum nasional. Tujuannya adalah mengajak siswa belajar mandiri. Di situ akan ada materi, kuis, soal ulangan, pengayaan, dan macam-macam permainan. Jadi diharapkan mau ada pandemi atau tidak, anak bisa belajar secara mandiri dan peran guru hanya sebagai fasilitator, pembimbing, dan arsitek pembelajaran. Diharapkan pula program ini membuat anak semakin senang belajar.

 Apa harapan Ibu untuk SMA yangmenginjak usia 70 tahun?

Harapan saya, tetap menjadi kepercayaan di Kota Solo, khususnya dan di Indonesia pada umumnya. Kemudian tetap berkembang berinovasi sesuai dengan perkembangan zaman dan memberikan pelayanan yang terbaik dalam dunia pendidikan. Sesuai tema 70 tahun, tetap teruji dan terpuji.

Felicia Permata Hanggu

HIDUP, Edisi No. 28, Tahun ke-75, Minggu, 11 Juli 2021

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here