Beato Juan Elias Medina (1902-1936): Dua Senjata Ampuh Mempertahankan Iman

188
5/5 - (2 votes)

HIDUPKATLIK.COM – “JIKA dunia membencimu, ingatlah mereka terlebih dahulu membenci Kristus.” Kata-kata ini disampaikan Kardinal Marcello Semeraro, Prefek Kongregasi Penggelaran Kudus Vatikan dalam Misa beatifikasi Pastor Juan Elias Medina, pada tanggal 16 Oktober 2021.

Kata-kata dari Yoh. 15:18 ini disampaikan Kardinal Semeraro di hadapan seribuan umat yang hadir di Katedral Cordoba, Spanyol.

“Dunia selamanya akan mengagumi kebencian dan kekerasan, tetapi ingatlah Tuhan akan selalu menghadirkan cinta di tengah dunia,” ujarnya sambil mengenang kekudusan Pastor Elias.

“Elias Medina seorang yang hadir dengan cinta yang tulus. Kematian dan kehidupan menghantuinya di tengah perjuangan panggilannya, tetapi ia berhasil merangkul Cinta Tuhan,” katanya.

Sambungnya lagi, “Elias pantas mendapatkan makhota kemartiran ini. Ia wafat dalam kebanggan bersama Tuhan sambil menyeruhkan kidung kemartiran: viva Christo rey (Hidup Kristus Raja),” sebut Kardinal Semeraro di akhir khotbahnya. Pastor Elias bersama 126 rekannya wafat sebagai martir di Spanyol tahun 1936.

Memberi Kesejukan

Elias lahir di Castro del Río, dekat Cordoba, Spanyol, pada 16 November 1902 dari pasutri Rafael Elías Pérez dan María Medina Villatoro. Elias berasal dari keluarga petani yang sangat religius dan bermoral baik. Dia dibaptis sehari setelah kelahirannya dan menerima Sakramen Krisma pada 18 April 1915 dari Mgr. Ramón Guillamet di Paroki Santa Perawan Maria Tak Bernoda Castro del Río.

Di bangku pendidikan, Elias dikenal sebagai pribadi yang rendah hati dan gemar menolong teman-teman yang kesulitan dalam pelajaran. Di usia 12 tahun dia belajar Bahasa Latin dan Ilmu Humaniora di Institut Preceptory, salah satu sekolah non-formal bagi remaja Cordoba yang ingin menjadi imam. Lembaga ini didirikan Mgr. Guillamet bagi remaja yang karena situasi khusus tidak bisa menjadi seminaris. Selama tiga tahun, Elias tekun dalam pelajaran kedisiplinan dan pendidikan karakter. Berkat keuletan Mgr. Guillamet, Elias bertumbuh menjadi remaja yang berkharisma. Pembawaannya kalem dengan kehadirannya selalu membawa kesejukan bagi orang lain.

Atas dispensasi khusus terhadap biaya seminari dari Mgr. Guillamet, Elias bergabung di Seminari Corodoba. Tidak sulit baginya untuk menjadi seminaris karena disiplin hidup yang sudah dijalaninya selama di Preceptory. Dia selalu mendapat pujian dari para formator. Kesetiaan menjalani panggilan membawanya ditahbiskan menjadi imam pada 29 Mei 1926, bersama 25 imam lainnya. Di antara mereka ada enam orang pada akhirnya mati syahid bersamanya.

Sejak ditahbiskan, Pastor Elias menjadi pastor rekan di Paroki St. Petrus Cordoba sejak tanggal 1 Juli 1926. Tiga tahun setelahnya, dengan teladan kesalehan yang dimilikinya, ia diangkat sebagai pastor paroki, dengan perilaku yang tidak bercela. Dengan karakter yang kuat, ia terlibat dalam kehidupan umat beriman. Ia melayani dalam sukacita dan menceburkan diri dalam pelayanan dengan umat.

Tahun 1929, ia ditugaskan ke Moriles sampai tahun 1932. Di Moriles, ia menghadapi lingkungan sosial dan politik Spanyol yang mulai menunjukkan tanda-tanda anti agama. Pastor Elias seorang devosian yang kuat kepada Bunda Maria. Dia membuat salah satu bentuk doa yaitu Rosario Fajar. Banyak sekali umat yang mengikuti ibadah ini. Dengan cara yang sederhana, ia hadir menghibur hati umat yang gundah gulana.

 Konferensi St. Vincentius

Tanggal 26 Juni 1933 dia diangkat menjadi kepala paroki di kota asalnya Paroki Bunda Maria dari Gunung Karmel. Dengan berat hati dia harus meninggalkan Moriles dan kembali ke keluarga. Dalam pelukan hangat keluarga, pecah Perang Spanyol tahun 1936-1939. Perang antara pasukan Nasionalis yang dipimpin Francisco Franco dengan Partai Republik mengakibatkan kehidupan menggereja menjadi berantakan. Selama perang itu, Partai Republik membunuh ribuan imam, tokoh awam, dan biarawan-biarawati di Spanyol. Saat ini sudah ada 11 orang yang dikanonisasi dan lebih dari 2.000 yang sudah dibeatifikasi.

Di tengah ancaman terhadap Gereja Spanyol, Pastor Elias tetap setia melayani. Dia mendorong agar Keuskupan Corodoba segera membuat Konferensi St. Vincentius a Paulo sebagai kesempatan untuk mengikuti teladan St. Vincentius. Menurutnya St. Vincentius seorang beriman yang selain dekat dengan orang-orang kecil, ia juga tidak pernah ragu akan imannya. Ketakutan terbesar Santo Vincentius adalah melupakan imannya, demikian harapan Pastor Elias agar umat di Cordoba tidak putus asa mencintai Tuhan.

Dengan segera konferensi tingkat keuskupan itu dibuat dan mendapatkan program konkret yaitu kegiatan amal dan pelayanan kepada orang-orang sakit di Rumah Sakit Yesus Corodoba. Pastor Elias mewanti-wanti perang yang sedang berkecamuk ini akan melahirkan penderitaan fisik dan psikis di tengah umat. Maka ia merias wajah rumah sakit dengan memberi pendekatan pastoral healing kepada orang-orang miskin yang sulit mendapatkan akses kesehatan. Ia dibantu para Suster Yesus dari Nazaret yang melayani di rumah sakit.

Dua Senjata

Suatu ketika saat memimpin Misa di rumah sakit, ia meminta kepada para suster untuk harus mengkonsekrir semua stok hosti untuk dihabiskan dalam Misa pagi itu. Para suster begitu heran, membuat Pastor Elias berkata, “Besok pagi akan ada awan besar mengelilingi seluruh Spanyol. Awan gelap itu akan mendatangkan kesedihan mendalam bagi Gereja. Maka tubuh Kristus jangan sampai diterlantarkan dan dipermainkan orang lain.” Akhirnya, Misa pagi itu menjadi kesempatan mereka menghabiskan sisa hosti rumah sakit.

Keesokan harinya, Perang Spanyol benar-benar pecah dan lebih besar dampaknya kepada Gereja. Ternyata konferensi Vincentius yang diprakarsai Pastor Elias mendapat perhatian dari Partai Republik. Tidak butuh waktu lama untuk menangkap para imam teristimewa Pastor Elias.

Meski didesak untuk melarikan diri, sebagai gembala utama ia rela ditahan. Tanggal 21 Juli 1936, ia ditahan dan dijebloskan ke penjara. Ia diminta menunjukkan senjatanya, sebagai ganti ia menunjukkan skapulir dan buku brevir yang dibawahnya. Ia ditahan di ruang bawah tanah yang pengap, dan ditemani tikus-tikus got. Bersama para pastor dan umat Katolik di tahanan bawa tanah, Pastor Elias menghibur mereka dan mengajak mereka mendaraskan Rosario. Setiap kali ada tawanan yang ditahan, mereka akan merayakan Ekaristi.

Di penjara, dia berbagi sedikit makanan yang diterimanya dan menghibur umat di penjara. Di dalam penderitaan itu, ada dua senjata utamanya adalah rosario dan buku brevir. Tak lupa ia bagikan salib kepada rekan-rekan imamnya dan menguatkan mereka agar tetap teguh dalam iman. Tanggal 25 September 1936, ia diminta untuk melepaskan imannya sebagai jaminan kebebasannya, tetapi dia menolak. Penolakan itu membuat ia digiring ke pemakaman Castro del Río, di mana dia ditembak.

Ketika dirinya wafat, beberapa umat di penjara mengumpulkan barang-barangnya dan menemukan sebuah surat yang terselip di buku brevirnya. Dalam surat itu, Pastor Elias menuliskan sesuatu kepada ibunya. “Ibu, saat saya menulis ini, saya sudah hukum mati. Namun saya menuliskannya dengan kata-kata tegas bahwa saya tidak akan meninggalkan iman sedikitpun. Terima kasih telah mempersembahkan saya kepada Penyelenggaraan Ilahi. Saya tidak takut mati, karena berharap kita bisa bertemu lagi di surga.”

Beatifikasi para martir Spanyol dilakukan beberapa kali. Dalam kelompok Pastor Elias, ada 79 imam, 39 awam, dan 5 seminaris, serta 4 orang religius. Hampir semua mati di waktu yang sama dan ditahan di penjara yang sama pula. Misa beatifikasi dilaksanakan tanggal 16 Oktober 2021 di Katedral Cordoba, Spanyol.

Yustinus Hendro Wuarmanuk

HIDUP, Edisi No. 13, Tahun ke-77, Minggu, 26 Maret 2023

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here