web page hit counter
Jumat, 5 Desember 2025
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

MENIMBA ENERGI SPRITUAL DARI LITURGI

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COMPengantar: Pada Perayaan Misa Krisma Keuskupan Agung Jakarta pada hari Kamis, 17/4/2025, Uskup Agung Jakarta, Kardinal Ignatius Suharyo mengapresiasi “Refleksi Umat” yang dimuat dalam buku Misa. Dalam khotbahnya di hadapan sekitar 300 imam di Gereja Katedral, Kardinal menyampaikan ada yang tidak biasa dalam refleksi tersebut. Selain karena ditulis sebagian besar umat awam, konten yang disampaikan juga menarik untuk disimak. Secara berseri, refleksi-refleksi tersebut, Redaksi muat secara lengkap. Refleksi pertama: Delfina Virensa dari Paroki Matraman, Jakarta Timur. 

“BERBICARA tentang liturgi tak terpisahkan dari Gereja. Konstitusi Dogmatik mengenai Gereja dari Konsili Vatikan II, Lumen Gentium mendefinisikan Gereja sebagai himpunan-ecclesia-dari semua yang percaya dalam Kristus, yang kepadanya semua manusia dipanggil oleh Allah yang Mahakuasa menjadi Keluarga Allah (Ef. 2:19-21) dan Umat Allah. Inti dari ecclesia ini adalah “Kurban Salib yang mana Kristus Anak Domba Paska kita dikurbankan… dirayakan di atas altar melalui perayaan Ekaristi Kudus.

Paus St. Yohanes Paulus II dalam Ensiklik Ecclesia de Eucharistia (17 April 2013) menegaskan, bahwa Gereja menimba kehidupannya dari Ekaristi yang merupakan inti misteri Gereja. Secara hakiki Gereja bersifat Ekaristis, yang berarti bahwa Gereja pada hakikatnya bersifat liturgis. Dalam versi lain, Konstitusi tentang Liturgi Konsili Vatikan II, Sacrosanctum Concilium menyebutkan, bahwa: “Liturgi merupakan puncak tujuan kegiatan Gereja dan sekaligus merupakan sumber segala kekuatannya” (SC 10).

Karena itu, Ekaristi Kudus dan Liturgi Suci bukanlah ‘tambahan’ yang disertakan dalam tradisi Gereja Katolik, bukan pula sebuah rutinitas ataupun kewajiban tanpa makna dan pesan iman. Keduanya adalah bagian dari struktur dan hakikat dari Ekaristi Kudus dan Liturgi Suci .

Baca Juga:  Maria Bunda Penasihat Baik Resmi Jadi Pelindung

Dalam tradisi Gereja Katolik hanya para imam yang dapat merayakan Ekaristi Kudus dan Liturgi Suci sebagaimana tertuang dalam Dekrit tentang Pelayanan dan Kehidupan Para Imam, Presbyterorum Ordinis (7 Desember 1965). Dekrit itu secara jelas menyatakan, bahwa: “Para imam adalah para pria yang berkat pengurapan Roh Kudus, ditandai dengan meterai istimewa, dan dengan demikian dijadikan serupa dengan Kristus Sang Imam, sehingga mereka mampu bertindak dalam pribadi Kristus Kepala” (PO 2). Melalui pelayanan para imam korban rohani kaum beriman mencapai kepenuhannya dalam persatuan dengan korban Kristus. Itulah arah-tujuan pelayanan para imam; disitulah pelayanan itu mencapai kepenuhannya.

Sebagai pelayan liturgi (homo liturgicus), Paus Fransiskus mengingatkan para imam, bahwa Gereja bukan Lembaga Swadaya Masyarakat. Bukan pula sebuah institusi publik atau lembaga sosial. Itu berarti, para imam bukanlah pejabat eksekutif atau pekerja sosial atau sukarelawan yang berusaha melakukan hal baik bagi masyarakat. Para imam adalah pelayan Sabda Kristus dan Sakramen serta Gembala (Pastor) bagi domba-domba (Umat Allah) yang digembalakannya.

Namun harus diakui , bahwa tidak mudah untuk menjadi pelayan Sabda Kristus dan Sakramen serta Gembala yang baik (Pastor bonus) di tengah dunia yang penuh kepalsuan, godaan duniawi, sikap tak peduli dan merosotnya penghayatan akan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai spiritual. Banyak kisah atau rumor yang tak sedap didengar di seputar kehidupan para imam pada zaman ini, baik yang berkaitan dengan perintah ke 6 (seks) maupun perintah ke 7 (korupsi). Pelayanan liturgi sering terasa hambar karena dianggap sebagai rutinitas (business as usual).

Baca Juga:  Kongregasi FCh Rayakan 34 Tahun Kemandirian dan Hidup Membiara di Palembang

Beruntungnya, tiap tahun Keuskupan Agung Jakarta menyelenggarakan misa Krisma bagi para Imam sebagai sarana pembaharuan janji imamat yang pernah diucapkan oleh para Imam pada saat mereka ditahbiskan. Ini merupakan momentum penuh rahmat bagi para imam untuk merenungkan, merefleksikan dan membaharui semangat sebagai abdi liturgi (homo liturgicus). Sebab, jika para imam bukan abdi liturgi dan tidak diresapi oleh semangat dan daya liturgi, maka rasanya berat untuk menjaga martabat imamat yang luhur itu.

Tahun Yubileum 2025 yang dicanangkan oleh Paus Fransiskus belum lama ini dengan tema “Peziarah Harapan” merupakan momen paling penting bagi para imam untuk membaharui kembali panggilan hidupnya. Sebagai abdi liturgi, para imam harus meneguhkan umat Allah yang sedang berziarah di tengah dunia yang tidak menentu ini dengan pewartaan dan perayaan liturgi yang baik. Sebab liturgi merupakan momen perjumpaan umat yang intens dengan Tuhan Yesus sebagai jalan, kebenaran dan hidup (Yoh. 14:6). Perjumpaan dengan Yesus Kristus melalui Tubuh dan Darah-Nya memberikan pengharapan yang pasti bagi umat Allah dalam perziarahan hidup di dunia ini.

Karena itu, pada momentum Yubileum yang penuh rahmat ini, para imam diharapkan menemukan kembali sukacita dan semangat baru sebagai orang yang dipanggil dan diurapi menjadi pelayan Sabda Kristus dan pelayan Liturgi Suci serta pelayan bagi mereka yang telah dibaptis, sebagai Kristus sendiri, – yang datang tidak untuk dilayani melainkan untuk melayani dan memberikan hidup-Nya sebagai tebusan bagi banyak orang” (Mat. 20:28). Cinta dan keteladanan para imam dalam menghayati liturgi akan menggugah umat untuk fokus mengarahkan hati, budi dan pikirannya ke dalam perayaan Ekaristi Kudus sebagai lambang kehadiran Allah Tri Tunggal Maha Kudus, bukannya fokus pada gadget dan sibuk memperhatikan gaya berpakaian, gerak-gerik umat lain atau keluar masuk toilet pada saat perayaan Ekaristi berlangsung.

Baca Juga:  Pesan Paus di Rumah Sakit di Lebanon: Kita Tidak Boleh Melupakan Mereka yang Paling Rapuh

Para imam harus juga menghadirkan Gereja Kristus secara nyata di tengah masyarakat melalui keperpihakan dengan aksi-aksi kemanusiaan dan belarasa terhadap sesama yang tidak beruntung: kaum miskin papa dan termarjinal, para penyandang cacat, para janda, para lansia, yatim piatu dan semua pihak yang membutuhkan bantuan (lihat: Ardas KAJ 2025). Dengan kata lain, para imam harus menjadikan “Altar Tuhan” menjadi “Altar Umat.” Dengan demikian, Gereja sungguh hadir dan menjadi terang bagi bangsa-bangsa di dunia dan memberikan pengharapan yang nyata, bahwa Tuhan selalu hadir dan menyapa umat-Nya.

Semoga penghayatan imamat para imam akan memotivasi dan menggairahkan umat beriman, khususnya di Keuskupan Agung Jakarta untuk sungguh-sungguh menjadi Katolik. Sebab, tidak seseorangpun bisa sungguh menjadi Katolik tanpa partisipasi dalam kehidupan ibadat liturgis Gereja, yang pada intinya ialah Kurban Ekaristi.

Secara pribadi saya mengakui, bahwa kehidupan rohani dan spiritualitas saya semakin berkembang dari waktu ke waktu. Saya merasakan perjumpaan yang intens dengan Tuhan Yesus dalam perayaan liturgi, terutama pada saat mendengar firman-Nya, saat konsekrasi dan komuni. Liturgi menjadi semacam “oase,” tempat saya dapat menimba energi spiritual sebagai bekal dalam menjalani kehidupan ini. Karena itu saya selalu optimis menatap masa depan, walaupun kesulitan, masalah dan tantangan datang silih berganti.

Saya percaya Yesus adalah juru mudi kapal hidupku.”

Delfina Virensa

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles