HIDUPKATOLIK.COM – KATA “rakyat” kerap hadir dalam setiap pidato pejabat, perdebatan politik, hingga kampanye pemilu. Semua pihak mengaku berbicara atas nama rakyat. Namun, pertanyaan mendasarnya jarang diajukan: siapakah sebenarnya rakyat itu? Ketika kata rakyat disebut, yang terbayang sering kali hanyalah kumpulan orang banyak: massa yang turun ke jalan, antrean panjang penerima bantuan, atau angka dalam grafik statistik ekonomi. Namun, di balik kata itu tersembunyi martabat pribadi yang kerap terlupakan.
Rakyat bukan sekadar objek kebijakan. Mereka bukan angka dalam laporan pertumbuhan atau sekedar suara dalam kotak suara. Rakyat adalah manusia konkret dengan wajah, harapan, dan luka. Mereka adalah petani yang terus berkeringat meski harga hasil panen tak sebanding dengan kerja kerasnya. Mereka adalah buruh yang menahan lelah demi keluarga. Mereka juga mahasiswa yang bersuara lantang menuntut keadilan.
Yesus sendiri, dalam kehidupan-Nya, selalu hadir di tengah rakyat kecil. Ia menyapa nelayan, menyembuhkan orang sakit, dan duduk makan bersama pemungut cukai. Ia tidak melihat mereka sebagai massa, tetapi sebagai pribadi yang dikasihi Allah. Dalam Injil, kita belajar bahwa rakyat sejati adalah mereka yang tidak kehilangan martabatnya, betapapun miskin atau tersisih.
Pertanyaan “siapakah rakyat?” menjadi semakin relevan ketika Indonesia tengah diguncang gelombang protes yang berujung pada kerusuhan di berbagai kota. Kenaikan pajak bumi dan bangunan di sejumlah daerah, pemangkasan anggaran yang memukul layanan publik, hingga tunjangan anggota DPR yang fantastis memicu kemarahan. Rakyat turun ke jalan, bukan sekadar untuk melawan, melainkan untuk bersuara karena mereka merasa ruang formal untuk menyampaikan aspirasi telah tertutup.
Filsuf Jean-Jacques Rousseau menyebut rakyat sebagai volonté générale kehendak umum yang melampaui kepentingan pribadi dan mengarah pada kebaikan bersama. Namun dalam praktik kekuasaan, kata “rakyat” sering kali direduksi. Bagi politisi, rakyat adalah suara dalam kotak pemilu. Bagi birokrasi, rakyat adalah angka statistik dalam laporan pembangunan. Bagi pengusaha, rakyat adalah konsumen. Dalam reduksi semacam ini, rakyat kehilangan wajah kemanusiaannya, seakan menjadi abstraksi yang mudah dimanipulasi.
Kerusuhan dan protes yang kita saksikan hari-hari ini adalah penolakan terhadap reduksi tersebut. Rakyat bukan angka, melainkan manusia yang merasakan ketidakadilan secara langsung. Petani yang tercekik pajak, buruh yang sulit memenuhi kebutuhan sehari-hari, mahasiswa yang kritis terhadap privilese elite; mereka semua menghadirkan kembali wajah sejati rakyat. Kekerasan yang muncul dalam kerusuhan tentu menyisakan luka. Korban yang jatuh, baik dari pihak masyarakat maupun aparat, memperlihatkan rapuhnya ruang dialog. Namun di balik kegaduhan itu, tersimpan pesan moral yang tidak boleh diabaikan: rakyat menolak diperlakukan sekadar sebagai objek kekuasaan. Mereka menuntut diakui sebagai subjek moral, pelaku sejarah yang berhak menentukan arah bangsa.
Maka, setiap kali para pemimpin menyebut kata “rakyat”, kita patut bertanya: apakah yang dimaksud benar-benar rakyat dalam makna sejatinya, atau hanya bayangan semu yang dipakai untuk melanggengkan kuasa? Jawaban filosofisnya jelas: rakyat adalah kita semua sejauh kita sadar bahwa demokrasi bukan sekadar hak memilih, melainkan juga tanggung jawab menjaga kebaikan bersama. Rakyat sejati adalah mereka yang menolak diam, yang memperjuangkan martabat manusia, dan yang sadar bahwa suara kecilnya adalah bagian dari sejarah besar bangsa.
Kerusuhan boleh reda, tetapi pertanyaan “siapakah rakyat?” tidak boleh hilang. Selama kata itu hanya dijadikan retorika, kita akan terus hidup dalam siklus janji kosong dan kekecewaan. Namun bila kata itu kembali dimaknai sebagai martabat manusia yang konkret, maka “rakyat” akan kembali menjadi jiwa bangsa, bukan sekadar jargon politik.
Timotius Adi Priono, tinggal di Pematangsiantar, Sumut






