web page hit counter
Jumat, 5 Desember 2025
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Sabda Allah Bukan Teks Mati

5/5 - (3 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – “Kalau Kitab Suci hanya dianggap dokumen kuno, iman akan kehilangan napasnya. Sabda Allah bukan teks mati, melainkan sumber yang memperbarui relasi manusia dengan Allah dan sesama.”

Pakar Kitab Suci, Pastor Paulus Toni Tantiono, OFM Cap menegaskan hal ini dalam seminar yang diadakan oleh STAKat Negeri Pontianak, Kalimantan Barat dalam rangka Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN) 2025. Seminar diselenggarkan di Gedung Praktik Liturgi STAKat Negeri Pontianak, Jumat, 5/9/2025.

Pastor Paulus Toni Tantiono, OFM Cap (tengah) menyampaikan materi seminar.

Hadir sekitar 400 peserta yang terdiri dari para mahasiswa, dosen, pegawai, umat paroki, serta tamu undangan. Seminar bertema “Allah Sumber Pembaharuan Relasi dalam Hidup” ini dipandu Silvanius Jehaman dengan narasumber Paulus Toni Tantiono, OFM Cap.

“Kalau Kitab Suci hanya dianggap dokumen kuno, iman akan kehilangan napasnya. Sabda Allah bukan teks mati, melainkan sumber yang memperbarui relasi manusia dengan Allah dan sesama,” kata Pastor Toni.

Ia mengaitkan sejarah kanon, liturgi, dan pastoral dalam jalinan yang padu. Kitab Suci tidak berhenti pada pengetahuan tapi menuntut pertobatan dan pembaruan hidup.

Fakta yang Jarang Disadari

Pastor Toni menyingkap lapisan-lapisan sejarah yang kerap terabaikan. Salah satunya: September sebagai Bulan Kitab Suci adalah kekhasan pastoral Gereja Indonesia. Gereja universal hanya menetapkan Hari Minggu Sabda Allah (Kitab Suci) pada Januari. Tetapi di tanah air, September dipilih sebagai BKSN karena ada kemungkinan bertepatan dengan pesta Santo Hieronimus (30 September) seorang Santo yang ditetapkan sebagai doktor Kitab Suci pertama, dan penerjemah Kitab Suci dari Bahasa Ibrani dan Yunani ke Vulgata (Latin) yang berabad-abad menjadi teks resmi Gereja. Jejak Vulgata itu masih nyata: Mazmur dalam Ibadat Harian tetap mengacu padanya, meski sering berbeda kata dari terjemahan modern.

Baca Juga:  Maria Bunda Penasihat Baik Resmi Jadi Pelindung
Penyerahan sertifikat oleh Mikael Dou Lodo kepada Pastor Paulus Toni Tamtiono, OFM Cap.

Lebih jauh, Kitab Suci yang kini kita kenal ternyata lahir dari perjalanan panjang. Awalnya tidak ada bab dan ayat. Baru pada abad ke-13, Uskup Stephen Langton membagi kitab-kitab ke dalam bab; lalu pada abad ke-16, Robert Estienne memberi penomoran ayat. “Struktur yang akrab hari ini, sebenarnya lahir dari kebutuhan pastoral, bukan bagian asli dari teks Kitab Suci,” kata Pastor Toni.

Tidak kalah memikat adalah asal-usul istilah. Kata ta biblia (Yunani) berarti “kitab-kitab,” berakar dari kota Biblos, pusat papirus kuno. Dari sinilah lahir kata Bible. Istilah “Alkitab” datang dari bahasa Arab: al berarti mulia, kitab berarti buku, sehingga bermakna “buku yang Agung.” Gereja Katolik lebih memilih istilah Kitab Suci, menekankan kesakralan isinya. “Bahasa menyimpan sejarah iman,” ujar  Pastor Toni. “Dari Yunani, ke Arab, hingga ke bahasa kita, Sabda Allah bergerak melintasi budaya. Ia sungguh hidup.”

Kekayaan yang Dijaga

Bagian ini menjadi fokus utama. Pertanyaan klasik “Apakah Katolik menambah kitab?” dijawab lugas oleh  Pastor Toni: “Katolik tidak menambah kitab. Justru kita mempertahankan tradisi asli Gereja mula-mula.” Dasarnya adalah Septuaginta, terjemahan Yunani atas Kitab Ibrani yang dipakai luas oleh umat Yahudi diaspora serta para penulis Perjanjian Baru. Banyak kutipan Injil dan surat Paulus justru bersumber dari Septuaginta, bukan dari teks Ibrani.

Namun, Reformasi abad ke-16 menolak tujuh kitab Deuterokanonika: Tobit, Yudit, Kebijaksanaan Salomo, Yesus bin Sirakh, Barukh, serta 1–2 Makabe, berikut tambahan pada kitab Ester dan Daniel. Alasan yang diajukan kala itu ialah karena kitab-kitab tersebut tidak ditemukan dalam kanon Ibrani. Kehilangan itu bukan sekadar soal jumlah, melainkan mengubah wajah iman: tanpa 2 Makabe, hilang dasar doa bagi arwah; tanpa Sirakh, sirna warisan kebijaksanaan etis bagi hati nurani; tanpa Tobit, lenyap kisah penghiburan bagi keluarga yang setia dalam penderitaan; tanpa Yudit, pudar figur perempuan beriman yang berani melawan tirani.

Baca Juga:  Penyuluh Katolik Berkolaborasi dengan Komunitas Doa Santa Faustina Melaksankan Pembinaan Iman di Rutan Wirogunan

“Kehilangan tujuh kitab itu berarti kehilangan kekayaan rohani yang diwariskan Gereja mula-mula,” tegas  Pastor Toni. Dengan demikian, perbedaan jumlah kitab bukan sekadar hitungan soal angka, melainkan menyentuh dimensi spiritual dan pastoral kehidupan umat. Kanon Perjanjian Baru sendiri ditetapkan dengan tiga kriteria: Apostolis (bersumber dari zaman rasul atau murid dekatnya), universal (diterima luas di berbagai Gereja), dan liturgis (dipakai dalam doa dan perayaan resmi).

Pastor Toni menambahkan fakta-fakta menarik: Perjanjian Lama mula-mula dihitung hanya 22 kitab karena beberapa digabung; surat-surat Paulus diurut bukan menurut kronologi, melainkan panjangnya; tujuh surat disebut “surat Katolik” karena ditujukan kepada Gereja secara umum. Semua itu menegaskan: kanon lahir dari proses iman dan sejarah yang panjang, bukan keputusan instan.

Pastor Toni menghubungkan tema BKSN dengan nubuat Zakharia dan Maleakhi, dua nabi pascapembuangan. Zakharia menghadirkan Allah yang setia pada janji-Nya. Namun, kesetiaan Allah menuntut jawaban nyata: pertobatan yang bukan sekadar ritual, melainkan etis-sosial. Zakharia bersuara tegas: lindungilah janda, yatim, orang miskin, dan pendatang. Firman ini menyingkapkan bahwa iman tidak pernah lepas dari praksis keadilan sosial, pesan yang tetap relevan di era modern ketika ketidakadilan struktural masih melukai banyak orang.

Maleakhi berbicara dengan nada profetis yang keras. Ia menolak persembahan yang cacat, menegur ibadat yang asal-asalan, dan mengecam ketidaksetiaan umat dalam keluarga. Pesannya jelas: ibadat tanpa hati adalah ibadat kosong.

Baca Juga:  Dalam Misa di Beirut, Paus Leo: Bebaskan Hati Kita untuk Membawa Perdamaian dan Keadilan ke Lebanon

Pastor Toni menegaskan, “Dosa bukan hanya melukai pribadi, tetapi juga melukai tubuh Gereja.”

Ia menggambarkan dosa seperti racun ular: luka kecil tampak sepele, tetapi racunnya menjalar dan mematikan seluruh tubuh. Karena itu, pertobatan sejati tidak cukup personal. Ia harus dipulihkan dalam tubuh Gereja melalui sakramen tobat yang bukan hanya rekonsiliasi dengan Allah, tetapi juga restorasi relasional dalam persekutuan Gereja.

Kitab Suci di Era Digital

Pada sesi tanya jawab, Lara Tripika, mahasiswa Teologi semester III menanyakan secara menarik: “masih relevankah Kitab Suci di era sains dan teknologi?”

Pastor Toni menjawab: “Sabda Allah tidak pernah kusam. Huruf bisa mati, tetapi Roh selalu hidup.” Ia mengibaratkan Kitab Suci sebagai batu besar: setiap kali dipukul, keluar pecahan baru dengan makna segar. Sabda Allah tidak pernah habis digali, melainkan semakin kaya ketika dibaca dalam konteks zaman.

Penutupan seminar Bulan Kitab Suci Nasional 2025 dengan Perayaan Ekaristi Jumat Pertama yang dilanjutkan adorasi Sakramen Mahakudus di Gedung Praktik Liturgi. (Dok. Panitia BKSN STAKat Negeri Pontianak.

Karena itu, Kitab Suci bukan hanya berdialog dengan masa lalu, tetapi juga dengan dunia modern: ilmu pengetahuan, budaya, bahkan ruang digital. Di sinilah Sabda menjadi pelita yang menuntun manusia agar tidak tersesat dalam derasnya arus informasi. “Barangsiapa tidak mengenal Kitab Suci, ia tidak mengenal Kristus,” merupakan pernyataan St Hieronimus yang harus dihayati oleh setiap umat Katolik.

Namun, di zaman digital, muncul teladan baru: Santo Carlo Acutis, seorang remaja yang menggunakan internet sebagai sarana evangelisasi. Carlo mengingatkan bahwa Sabda Allah dapat hadir dalam ruang virtual, jika dihidupi dengan iman yang nyata.

Laporan Eugenio Agung Bimandaru (Mahasiswa STAKatN Pontianak Prodi Teologi Semester 3)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles