Siapakah Iblis?

1916
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Dalam Kitab Suci Yesus pernah dicobai Iblis, apakah iblis itu nyata atau mitos? Bagaimana pandangan Gereja mengenai iblis?

Leony Fitria, Jakarta

Kitab Suci tidak kekurangan kisah tentang kehadiran iblis atau roh jahat. Bahkan sejak awal Kitab Suci sudah menunjukkan hal itu, dalam kisah jatuhnya manusia pertama ke dalam dosa (lih Kej 3:1-24). Bahkan kita bisa pula membaca kisah Yesus digoda oleh iblis di padang gurun (lih Mat 4:1-11; Mrk 1:12-13; Luk 4:1-13).

Berbagai peristiwa pengusiran setan oleh Yesus terdapat pula dalam Kitab Suci. Bahkan Yesus pun pernah dituduh mengusir setan dengan kuasa penghulu setan (lih Mat 12:22-37; Mrk 3:20-30; Luk 11:14-23). Saat mengajarkan doa Bapa Kami, Yesus mengajari kita untuk memohon agar tidak dibiarkan jatuh ke dalam godaan setan, dari segala yang jahat (lih Mat 6:13).

Demikian pula saat berdoa di Taman Getsemani, Yesus pun berdoa agar para murid jangan jatuh ke dalam godaan (lih Mat 26:41; Mrk 14:38; Luk 22:40). Pada saat Yudas mengkhianati Yesus, dikatakan bahwa iblis merasukinya (lih Luk 22:3; Yoh 13:2.27).

Dari paparan Kitab Suci kita bisa menyimpulkan bahwa keberadaan iblis adalah sesuatu yang nyata, malahan dikatakan Petrus, bagaikan singa yang berkeliling dan mengaum mencari mangsa (lih 1 Ptr 5:8), senantiasa mau menggoda kita (lih 1 Kor7:5).

Oleh karenanya, setan harus kita lawan, jangan dibiarkan menguasai (lih Yak 4:7), bertahan untuk melawan tipu muslihatnya (lih Ef 6:11), sebab dia bisa menyamar sebagai malaikat terang (lih 2 Kor 11;14). Setan dan godaan darinya itu nyata, bukan mitos, maka kita harus senantiasa mewaspadai dan teguh kukuh melawannya.

Sejauh bisa ditelusuri, dalam dokumen Gereja salah satu yang pertama adalah surat Paus Leo Agung Quam Laudabiliter (447) yang menyebut bahwa Allah tidak mungkin menciptakan yang jahat, namun ada ciptaan yang memilih menyangkal Allah, maka kemudian tidak memilih hidup dalam kebenaran, malahan memilih keadaan dalam keterhukuman akibat menolak Allah.

Mereka menjadi jahat karena kesalahannya sendiri, karena menolak dan menyangkal kebaikan yang berasal dari Allah, demikian dikatakan dalam Konsili Lateran IV (1215). Dari sinilah kemudian akar dari kejahatan tumbuh, sebab dia adalah bapa segala dusta (lih Yoh 8:44). Dia hendak menjadikan manusia mendahulukan dirinya sendiri, bukan Allah, sehingga mengabaikan Allah, menjadi seperti Allah (lih Kej 3:23).

Paus Fransiskus dikenal sering berbicara tentang roh jahat, tentang iblis. Dikatakan bahwa dia sering menyebut itu untuk menyangkal atau mengingatkan mereka yang mengkhotbahkan gagasan cenderung melunturkan atau memudarkan keberadaan setan. Iblis ada dan nyata, maka jangan memandang kejahatan sekadar sebagai sakit mental belaka, demikian dikatakan dalam khotbahnya pada tanggal 14 Oktober 2013.

Keberadaan setan sudah diperlihatkan sejak awal Kitab Suci, demikian diingatkannya. Malahan dalam misa pertamanya sebagai Paus di hadapan para kardinal, 14 Maret 2013, Fransiskus mengingatkan kalau orang tidak mengimani Allah, dia membiarkan diri dikuasai oleh semangat duniawi roh jahat.

Iblis adalah musuh umat manusia, malahan musuh yang licik, demikian diingatkan Paus dalam homili tanggal 29 September 2014. Dia penggoda dan menggoda dengan licik, penuh tipu muslihat yang menyesatkan, dikatakannya pada tanggal 3 Oktober 2015 di depan mereka yang bekerja di Vatikan. Maka saat diwawancarai oleh TV2000, Fransiskus mengingatkan agar kita jangan mencoba-coba bernegoisasi dengan roh jahat, karena kita bisa akan jatuh dan kalah, sebab dia itu cerdik, lebih cerdik daripada kita manusia.

Dengan mengatakan demikian, Gereja menyakini akan keberadaan iblis, ciptaan yang membangkang. Bahwa dia itu ada dan nyata. Kecenderungan untuk merelatifkan keberadaannya, apalagi memandangnya sekedar sebagai mitos belaka, bisa jadi merupakan suatu godaan tersendiri, sehingga kita lalu mudah memandang enteng dosa dan meremehkan kesalahan, ketidakmampuan kita untuk menjawab panggilan kasih Allah.

Kalau kemudian kita terjebak bahwa kesalahan itu sesuatu yang manusiawi, bukan dosa, maka akibatnya kita tidak akan membutuhkan penyelamatan. Karenanya, kesadaran akan penebusan dan kebutuhan akan Penebus tidak lagi akan sangat kita rasakan dan alami.

 

T. Krispurwana Cahyadi SJ

HIDUP NO.43 2018, 28 Oktober 2018

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here