Sejak Awal Paus Yohanes XXIII Berjuang demi Perdamaian Dunia

191
Paus Yohanes XXIII
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – Ketika Gereja berbicara tentang perang dan konflik di tingkatan internasional, kita tidak bisa melupakan warisan yang ditinggalkan oleh Paus Yohanes XXIII.      

Angelo Guiseppe Roncalli pernah menjadi Duta Besar Vatikan di Bulgaria, Turki dan Perancis, di saat pergolakan dan perang. Penugasan itu memberi pengaruh besar baginya. Dia menyaksikan sendiri akibat dari perang serta pertikaian, dan ikut mencari jalan serta upaya untuk memulihkan keadilan, membantu para kurban serta mengupayakan perdamaian.

Ketika ditahbiskan sebagai uskup, dia memilih moto, Oboedientia et Pax, yang sudah menyiratkan program visionernya akan perdamaian. Tentu sebagai anak zaman yang mengalami dua perang dunia, bahkan saat imam muda pernah menjadi imam tentara, yang mendampingi para prajurit di medan laga, dan menyaksikan sendiri dampak dari perang, Roncalli tahu persis apa dampak dari pertikaian serta perang tersebut.

Ketika menjadi imam muda yang mendampingi para korban perang, Roncalli menyaksikan sendiri luka parah, yang tidak saja fisik namun juga psikis bahkan juga jiwa. Perang itu menghancurkan segalanya. Perang adalah kekalahan kemanusiaan, penodaan keji akan umat manusia. Kenangan yang menakutkan itulah yang dihasilkan dari perang.

Pengalaman saat perang dunia I tersebut sangat membekas dalam dirinya, sehingga diperlihatkannya saat menulis Ensiklik Pacem in Terris (1963). Apalagi kemudian saat menjadi duta besar di Turki dan Perancis, dan dia terlibat dalam berbagai pelayanan di tengah suasana perang, menguatkan kehendaknya untuk berefleksi tentang perdamaian. Bahkan dikatakannya bahwa penegakan perdamaian digambarkannya sebagai ringkasan pergumulan hidupnya.

Sejauh bisa ditelusuri bisa dikatakan Paus Yohanes XXIII adalah Paus pertama yang berbicara tentang pengungsi. Konteksnya tentu pengalaman perang. Di Turki Angelo Roncalli  menyelamatkan sekitar 24.000 orang Yahudi dengan memberi mereka identitas palsu, untuk menyelamatkan mereka dari ancaman penguasa Nazi.

Seorang tentara Ukraina menyelamatkan seorang bayi.

Saat berkarya sebagai duta besar di Perancis dia pun terlibat dalam berbagai pelayanan sosial membantu para   kurban perang. Pada 28 Juni 1959, Yohanes XXIII menyampaikan pesan radio berbicara tentang pengungsi. Dalam pesan tersebut selain mengakui bahwa seringkali Gereja kurang memberi penampungan bagi para pengungsi, terlebih di tengah situasi perang, dia mengajak seluruh jejaring Gereja untuk membuka hati dan kepeduliaannya untuk melayani mereka masih berada dalam status sebagai pengungsi. Yesus sendiri mengajarkan agar kita menerima mereka yang asing dan dalam penjara, sebagai Dia sendiri yang membutuhkan uluran tangan pelayanan (Lih. Mat. 25:35-36), demikian diingatkannya.

Terlibat bagi Kedamaian

Di tahun 1959, Yohanes XXIII menyampaikan pesan Natal yang mengingatkan bahwa jalan menuju Bethlehem merupakan tapak jalan perdamaian. Kata perdamaian merupakan kata yang sakral, namun telah berulangkali dinodai oleh umat manusia. Berbagai upaya untuk mewujudkannya dipatahkan. Perdamaian masih jauh. Lalu diingatkannya akan tiga lapisan kedamaian yang musti dibangun: kedamaian hati, kedamaian sosial serta perdamaian internasional.

Di dalam semua itu tercakup rasa hormat akan pribadi manusia sebagai ciptaan Allah, rasa saling menghargai satu sama lain, sehingga orang lain tidak bisa diperlakukan seakan sebagai barang, direndahkan. Kehidupan bersama, karenanya perlu dilandaskan pada fondasi moralitas, agar tidak sekedar bersama-sama hidup namun sungguh hidup bersama.

Kedamaian sungguh adalah anugerah (Lih. Yoh. 14:27) namun pula dambaan terdalam hati manusia, karena itu perlu sungguh diupayakan. Untuk itu perlu senantiasa ditanamkan kehendak baik dalam diri pribadi manusia. Peran Gereja baginya bukan saja berdoa bagi perdamaian, namun pula hadir sebagai pejuang bagi kedamaian di mana saja. Pangeran perdamaian lahir di Bethlehem, maka Gereja pun menapaki jalan Bethlehem tersebut. Sabda Allah yang disampaikan adalah sabda damai sejahtera (Lih. Kis. 10:36).

Paus mengulangi pesan yang sama dalam pesan radio 10 September 1961. Di dalamnya diingatkan akan tradisi sejak para rasul, bahwa Gereja senantiasa menyuarakan harapan akan terwujudnya kedamaian. Injil yang diwartakan Gereja adalah kabar gembira perdamaian. Gereja karenanya perlu semakin mengukuhkan senjata rohani untuk menghadapi horornya perang, apalagi menghadapi kenyataan bahwa dunia makin berlomba meningkatkan perlombaan senjata,  bahkan senjata-senjata non-konvensional, seakan semua siap untuk berperang.

Ensiklik pertama Yohanes XXIII, Ad Petri Cathedram (29 Juni 1959) menyinggung pula soal perdamaian. Takhta Petrus memiliki tiga ruang pengajaran, kebenaran, kesatuan serta perdamaian, dan ketiganya diwujudkan pertama-tama dengan semangat cintakasih.

Di dalamnya Paus mengingatkan akan panggilan membangun persaudaraan umat manusia, semua yang diciptakan Allah. Kedamaian umat manusia tidak akan dapat dicapai dengan perang, pertikaian dan kebencian yang mengorbankan darah sesama. Perdamaian dibangun bukan dengan perang melainkan dengan persaudaraan antar pribadi dan antar bangsa. Untuk pertama-tama yang perlu ditanamkan adalah hati yang damai, di mana semua hak-hak asasi serta kebebasan di tengah keberagaman yang ada dijamin di segala tingkat sosial masyarakat.

Pacem in Terris

Pada tahun 1962 terjadi krisis Kuba, saat Uni Sovyet menaruh peluru kendali nuklir di Kuba, dan itu segera mengundang reaksi dari Amerika Serikat, Yohanes XXIII tidak hanya muncul dengan himbauan untuk saling menahan diri, mengutamakan pendekatan diplomasi bukannya konflik senjata, namun juga segera mengeluarkan ensiklik Pacem in Terris (damai di bumi).

Dokumen tersebut dikeluarkan Paus pada tanggal 11 April 1963. Perlu dicatat pula bahwa dua tahun sebelumnya, dibangunlah tembok Berlin, yang memisahkan dua  saudara, Jerman Barat dan Jerman Timur. Paus senantiasa menempatkan diri sebagai juru damai, sebagaimana jabatan sebagai pontifex, memang merupakan jembatan bagi segala perbedaan dan pertikaian.

Di tengah munculnya perang dingin, terutama antara blok barat dengan blok timur, mengundang Gereja untuk hadir sebagai jembatan penghubung, membangun perjumpaan agar terwujudlah perdamaian dan harmoni kehidupan bersama umat manusia.

Arsip gambar Paus Yohanes XXIII (kanan) berbicara kepada dunia melalui mikrofon Radio Vatikan.

Perlu dicatat bahwa Pacem in terris ini adalah warisan terakhir yang ditinggalkan oleh Yohanes XXIII, karena tidak lama setelah itu, beliau meninggal dunia, pada 3 Juni 1963, di usia 81 tahun, setelah cukup lama menderita kanker.

Dokumen ini menjadi dokumen penting dalam ajaran sosial Gereja. Berulangkali dokumen ini dijadikan acuan dan bahan studi, bahkan dikatakan dokumen tersebut bagai surat terbuka pada dunia. Alasan ini pulalah yang mendasari Majalah Time mengukuhkan Yohanes XXIII sebagai man of the year 1963.  Paus Benediktus XVI menyebut Pacem in terris sebagai seruan kuat bagi dialog kreatif antara Gereja dan dunia, antara umat beriman dan yang tak beriman, berlandaskan pada pemahaman akan antropologi kristiani.

Di dalamnya Paus mengeluhkan kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi yang seharusnya berguna bagi kemajuan  bersama umat manusia, faktanya malahan sering berkembang ke arah yang sebaliknya. Semua itu berjalan bersama dengan semangat dominasi.

Padahal dunia tidak akan mungkin menjadi tempat aman bagi perdamaian, kalau kedamaian tidak tidak menemukan rumahnya dalam hati dan pribadi setiap manusia, sehingga respek pada pribadi manusia menjadi sesuatu yang mendasar bagi tata kehidupan bersama.

Hukum kodrat, yang dilandaskan pada misteri penciptaan, mendapatkan perhatian besar dari Yohanes XXIII landasan penataan hidup bersama, sebagai dikehendaki Allah, kehidupan bersama tanpa kesenjangan dan penghargaan akan semua, terlebih mereka yang lemah dan terabaikan. Pendasaran akan hukum kodrat ini memungkinkan dokumen ini diterima di kalangan yang bukan Kristiani, sehingga disimak pula oleh berbagai kalangan.

Dapat dikatakan bahwa Pacem in terris merupakan dokumen resmi Gereja yang pertama kali memberi fokus perhatian akan persoalan perdamaian. Sebelumnya ajaran sosial Gereja lebih banyak bicara soal persoalan sosial ataupun keadilan sosial. Di sini Yohanes XXIII membahas tentang tata kehidupan bersama, bahkan juga tata relasi internasional, maupun peran negara. Di dalam semuanya itu perhatian besar ditempatkan pada penghargaan akan martabat pribadi manusia.

Yohanes XXIII dapat dikatakan sebagai pejuang perdamaian, atau Paus perdamaian. Ketika Gereja berbicara tentang perang dan konflik di tingkatan internasional, kita tidak bisa melupakan warisan yang ditinggalkan oleh Paus Yohanes XXIII.

T. Krispurwana Cahyadi

HIDUP, Edisi No. 4, Tahun ke-77, Minggu, 22 Januari 2022

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here